Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Latihan Mental atau Penyiksaan?

Ospek kembali menelan satu korban jiwa. Alasan penyelenggara ospek di berbagai perguruan tinggi, ini proses latihan mental. Bakat fasisme?

29 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahasiswa Indonesia yang dianggap sebagai ujung tombak reformasi, ternyata sebagian memiliki bakat untuk menjadi sewenang-wenang. Ospek (orientasi studi dan pengenalan kampus) tahun ini di Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) Jakarta, diduga telah menyebabkan tewasnya Suryowati Hagus Daryanto, mahasiswa D-3 Teknik Mesin ISTN, yang tumbang pada hari kedua ospek, 24 Agustus 1999.

Hasil autopsi mahasiswa baru berbadan tegap setinggi sekitar 170 sentimeter itu menunjukkan, ada bagian yang memar di dada dan di belakang telinga. Berdasarkan bukti ini, tampaknya pihak keluarga Hagus berniat menuntut. Tapi pihak panitia ospek menyatakan tidak bersalah karena memang tidak ada kekerasan dalam ospek.

Terlepas dari ada-tidaknya yang bersalah dalam kematian Hagus, yang jelas, ospek tahun ini kembali menelan korban. Ini memang bukan pertama kali ospek di perguruan tinggi Indonesia berbuah korban: dari yang pingsan karena terlalu lama dijemur, luka ringan, patah tulang, hingga meninggal dunia. Tetapi, karena Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tak memberi sanksi keras terhadap panitia ospek—yang dikeluarkan sekadar larangan—setiap tahun, ospek menjadi kontroversi. Yang ironis, kesewenang-wenangan macam ini terjadi di tempat yang disebut sebagai center of excellence, perguruan tinggi. Dan yang lebih menggelikan, mungkin Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang universitasnya—baik swasta maupun negeri—masih menyelenggarakan acara penyiksaan mahasiswa baru dengan "kemasan" latihan mental.

Sejak masih bernama mapram (lihat Perploncoan dari Masa ke Masa ), program pengenalan kampus itu sudah menjadi cerita hitam tersendiri. Sebelum 1980-an, kampus-kampus besar seperti UI, ITB, UGM, ITS masih menerapkan acara perploncoan yang keras. Mewajibkan mahasiswa mengenakan cawat, menyuruh untuk berguling-guling di aspal panas, menetesi dengan lilin panas, memasukkan dalam tong yang dipukul-pukul, adalah tindakan dehumanisasi—menyaingi gaya kolonialisme—yang dianggap standar inisiasi. Adapun push-up dan jalan jongkok beratus-ratus meter adalah "sekadar" pemanasan menuju tahap dehumanisasi berikutnya. Dijemur di bawah terik matahari, disuruh mengukur lapangan dengan menggunakan sebatang korek api, atau dilontari kata-kata kasar hanya untuk kesalahan yang tak ada artinya adalah hal yang sangat "biasa", dan sungguh dinikmati oleh para penyelenggara. Jangan heran jika para pemimpin Indonesia masa kini (dan nanti) memang memiliki bakat untuk jadi fasis. Buktinya, banyak betul mahasiswa Indonesia yang mengalami proses dehumanisasi semacam ini.

Memang ada fase ketika kekerasan ospek dianggap makin kurang. Tapi, jika korban tetap jatuh, apakah "sekadar' pingsan atau patah kaki dan jatuhnya korban itu tidak disebabkan oleh kekerasan yang terjadi dalam ospek, dan bukan karena mahasiswa itu lemah fisik saja. Kasus meninggalnya Zaki Tiffany Lazuardian, mahasiswa Jurusan Fisika ITB, pada 1992, adalah salah satu contohnya. Para mahasiswa baru itu harus ikut long march lima hari dan berendam di dalam air setinggi pinggang. Kasus Zaki itu berbuntut pemecatan panitia ospek dan tuntutan ikatan orang tua ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Sesungguhnya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan sudah mengeluarkan peraturan tentang bentuk program orientasi kampus. Surat edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan No. 1539/D/I/1999 dengan tegas melarang praktek perploncoan. Dalam surat yang distempel 17 Juni 1999 tersebut, tiap perguruan tinggi diberi kebebasan untuk melaksanakan program pengenalan kampus sesuai dengan kemampuan masing-masing. Tapi, di pihak lain, juga ditegaskan bahwa dosen dan mahasiswa harus menghindari terjadinya kekerasan. "Kalau sampai terjadi kekerasan, itu sudah menyalahi ketentuan," tutur Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Satryo Soemantri Brojonegoro.

Sebetulnya, apa kepuasan atau keinginan para senior untuk mengadakan acara perploncoan ini? Lucu-lucuan? Balas dendam? Arena pamer ego? Tunggu dulu, deh.

Mari kita dengar suara mereka. Menurut bekas Ketua Senat Mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI), Doni Kusindarto, teror psikologis berupa bentakan-bentakan dan makian-makian bukannya tidak berguna bagi mahasiswa baru. "Buktinya, ada sejumlah mahasiswa tari yang tadinya takut bicara, setelah ikut ospek jadi berani bicara," kata Doni. Menurut Edison, Ketua Himpunan Mahasiswa Teknik Elektro ITB, ospek bisa sangat berguna. "Dunia SMU dengan perguruan tinggi jelas berbeda, dan ospek membantu mahasiswa untuk lebih siap dengan tantangan zaman," kata mahasiswa angkatan 1997 itu. Lalu, Edison menjelaskan soal tema OSKM (orientasi studi keluarga mahasiswa)—ospek ITB—yang disesuaikan dengan kebutuhan kondisi sekarang. Untuk tahun ini, misalnya, ITB memberi tema "OSKM Akhir Abad untuk Solidaritas dan Kerakyatan".

Alhamdulillah, ternyata ada juga program ospek yang sama sekali jauh dari kekerasan. Seperti Universitas Katolik Widya Mandala (UKWM), Surabaya, misalnya, yang mengisi ospek tahun ini dengan kampanye antikekerasan. Sekitar 2.000 mahasiwa baru membagi-bagikan gambar tempel dan bunga di Jalan Dinoyo, Surabaya, sambil menyerukan slogan-slogan antikekerasan. "Kami senang dengan ospek yang seperti ini. Tidak ada rasa takut, tidak ada bentak-bentakan. Kami justru bergairah," kata Nugrahanto, salah satu mahasiswa baru UKWM.

Mungkin harus diadakan penelitian psikologi yang sangat mendalam, apa betul mahasiswa yang sudah melalui ospek versi teror mental dan fisik itu menjadi manusia yang lebih siap dengan tantangan zaman dibandingkan dengan mahasiswa yang sama sekali tak pernah mengalami proses dehumanisasi seperti itu.

Bahkan, menurut ahli jiwa dari UGM, Prof. Dr. K.R.T. Soejono Prawirohadikusumo, ospek biasanya mengakibatkan gangguan jiwa ringan seperti rasa takut dan rasa curiga yang berlebihan. "Makanya saya beri nama psikosis perploncoan," katanya.

Jika sudah ada penelitian semacam ini, dan benar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Juwono Sudarsono menyadari bahwa selembar surat edaran tak ada artinya—karena ospek dengan kekerasan tetap saja berlangsung—tampaknya departemen yang dipimpinnya itu harus segera bertindak tegas. Menurut dia, semua penyimpangan itu karena ada kesalahan persepsi tentang ospek. "Seharusnya ospek bertujuan untuk mengenalkan kampus, sejarah kampus, dan menumbuhkan kebangsaan kampus," kata Menteri Juwono. "Bukan kekerasan seperti pemukulan yang biasa dilakukan saat perploncoan pada zaman saya," kata Juwono. Menurut Pembantu Rektor III Universitas Indonesia, Umar Mansyur, ospek sebaiknya dihapuskan saja. "Pemerintah harus tegas melarang ospek. Jangan 'boleh, tapi jangan ini, jangan itu'," katanya. Menurut Umar, ospek itu ibarat kanker. Jadi, harus diamputasi bagian yang kena kanker itu.

Bina Bektiati, Edy Budiyarso, Andari Karina A., R. Fadjri, L.N. Idayanie (Yogyakarta), Adi Sutarwijoyo (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus