Ada peribahasa ikan seekor rusakkan ikan setajau. Sebab yang sedikit, rusak habis yang banyak. Kasus mobilisasi pemilih di Pesantren Modern Al-Zaytun, Indramayu, moga-moga tidak merusakkan kepercayaan orang pada hasil pemilihan umum presiden 5 Juli. Harapan ini bisa diwujudkan asalkan kejanggalan kasus Al-Zaytun segera dikuliti, dibuat terang-benderang bagi publik.
Usaha mengungkap kejanggalan itu bisa dimulai dari mencari tahu soal jumlah pemilih. Pemilih yang terdaftar menjelang pemilu presiden berjumlah 13 ribu, tapi pada hari pencoblosan terdaftar 24 ribu orang. Ada tambahan 11 ribu orang di Al-Zaytun yang berbondong-bondong datang dengan 181 bus besar, 35 minibus, dan 300 mobil pribadi. Ini bukan piknik massal yang spontan. Ada yang mengorganisasikan, membiayai perjalanan, dan menjemput peserta rombongan besar itu dari tiga lokasi di Jakarta.
Siapa organisator itu, belum bisa ditemukan. Yang sudah jelas barulah sikap Panglima TNI yang segera mencopot Komandan Satuan Angkutan Markas Besar TNI yang membiarkan 17 bus dinas TNI dipakai rombongan "misterius" tersebut. Si komandan dianggap melanggar garis kebijakan TNI yang netral. Tindakan cepat yang perlu dipuji. Jika mau, dari komandan itu bisa dikorek: siapa yang mempunyai inisiatif, untuk tujuan apa, dan lain sebagainya.
Pihak penyelenggara pemilu di Al-Zaytun sangat penting ditanya. Misalnya soal jumlah tempat pemungutan suara (TPS) di sana, yang jauh melampaui jumlah pemilih yang terdaftar sebelumnya.
Publik perlu tahu apa dasar pertimbangan untuk memberikan kemudahan bagi Zaytun sampai lebih dari 24 ribu orang bisa mencoblos di sana.
Kemudian soal pemilih yang pindah tempat mencoblos. Undang-Undang Pemilu Nomor 23/2003 memang membolehkan pemilih yang sudah terdaftar pindah lokasi mencoblos. Namun, pasal itu juga menyebutkan "karena sesuatu hal terpaksa" sebagai tambahan ketentuan pindah lokasi itu. Sejauh ini belum diketahui apa "hal terpaksa" yang membuat ribuan orang itu harus mencoblos di Al-Zaytun. Di sana, hari itu, tak ada musabaqah, tak ada kejuaraan olahraga. Yang diketahui: banyak orang dikumpulkan, hampir semuanya mencoblos satu pasangan calon presiden saja, dan kemudian meninggalkan lokasi itu dengan bus dan minibus yang siap menjemput.
Kalau ribuan orang itu diakui sebagai keluarga santri, apa benar jumlahnya sebanyak itu, dan apa benar menjenguk santri termasuk "hal terpaksa" yang dimaksudkan undang-undang untuk memenuhi ketentuan pindah tempat mencoblos? Lagi pula undang-undang mensyaratkan lokasi TPS di tempat yang "mudah dijangkau, termasuk oleh penyandang cacat..." (Pasal 51). Maksudnya jelas, agar pemilih bisa memilih di sekitar rumahnya, di lingkungan RT, dan bukan di Indramayu yang bagi orang Jakarta perlu waktu sekitar lima jam berkendaraan.
Anggota KPU Indramayu, Najib Bunyamin, menyatakan tak ada prosedur yang dilanggar. Pemimpin pesantren, Panji Gumilang, mengatakan tak ada penggalangan massa. Sayangnya, KPU dan Panitia Pengawas Pemilu Pusat seperti "hilang selera" untuk mengusut lebih jauh. Padahal pengusutan itu perlu, setidak-tidaknya untuk pelajaran agar hal itu tidak berulang di ronde kedua nanti, walaupun kasus Zaytun tidak bersangkut-paut dengan pemenang pertama atau kedua. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini