Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertumbuhan ekonomi utama global cukup variatif di pertengahan tahun ini. Pertumbuhan di Amerika Serikat (AS) dan Jepang terlihat kuat. Sementara di sisi lain, Eropa berpotensi jatuh ke dalam jurang resesi dan pembukaan kembali ekonomi China pascapandemi sejauh ini di bawah ekspektasi. AS sendiri berhasil mencatatkan pertumbuhan yang melebihi ekspektasi di 2,4 persen pada kuartal dua lalu dan diproyeksi masih akan mencatatkan pertumbuhan yang memuaskan kuartal ini di tengah suku bunga acuan yang berada di level tertingginya sejak 2001. Sentimen suku bunga acuan untuk berada di level yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama yang sebelumnya sangat membebani pasar, kini terlihat mulai memudar seiring dengan rilisan data ketenagakerjaan yang mulai melunak, seperti contohnya kenaikan tingkat pengangguran yang signifikan dari 3,5 persen ke 3,8 persen. Kini, semakin banyak investor dan analis yang percaya bahwa the Fed akan memulai pemangkasan suku bunga acuan di kuartal kedua tahun depan. Pada pertemuan Jackson Hole bulan lalu, Jerome Powell mengatakan bahwa suku bunga masih dapat bergerak naik, namun bank sentral harus lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan. Pernyataan tersebut dinilai pasar lebih dovish dibandingkan beberapa pernyataan Powell sebelumnya. Dari segi aset risiko, pasar saham global mengalami pelemahan di bulan Agustus akibat aksi profit taking investor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun, situasi di Eropa terlihat cukup berbeda. Bank sentral Eropa (ECB) tidak mengadakan pertemuan bulan lalu, sementara bank sentral Inggris (BOE) melanjutkan kenaikan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps), setelah kenaikan 25 bps di bulan sebelumnya. Suku bunga acuan ECB dan BOE saat ini berada di level 4,25 persen dan 5,25 persen, level tertingginya sejak krisis finansial global 2008. Selain perkembangan kebijakan moneter, investor juga terus memonitor perkembangan seputar pasar komoditas, terutama kenaikan harga minyak yang signifikan pada pekan terakhir bulan lalu seiring dengan rencana pemangkasan produksi Arab Saudi dan Rusia. Harga minyak mentah WTI melonjak 6 persen dari level terendahnya ke kisaran level $83 - $84 di akhir bulan Agustus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Asia, indeks MSCI Asia ex-Jepang mencatatkan penurunan yang signifikan sebesar 6.6%, dipimpin oleh pelemahan saham-saham A-shares dan H-shares akibat prospek pemulihan ekonomi China yang memburuk. Masalah di sektor properti dan real estate yang berkontribusi sekitar 30 persen dari total PDB China saat ini masih menjadi hambatan terbesar pertumbuhan ekonomi. Namun demikian, pemerintah dan bank sentral China (PBOC) sudah berulang kali mengutarakan komitmennya untuk menopang ekonomi dan pasar modal yang terpuruk. Sejumlah upaya telah dilakukan seperti penurunan suku bunga acuan hingga pemangkasan pajak transaksi pasar saham. Di sisi lain, pertumbuhan ekonomi Jepang berhasil mengejutkan pasar, tercatat sebesar 4,8 persen (annualized) setelah direvisi turun dari sebelumnya 6,0 persen.
Beralih ke Indonesia, data ekonomi di bulan Agustus masih terlihat kuat. PMI Manufaktur terus meningkat, saat ini di level 53,9 dan merupakan level tertingginya sejak November 2021. Dari segi inflasi, CPI YoY mencatatkan kenaikan dari 3,08 persen ke 3,27 persen; masih lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar. Positifnya, inflasi inti turun melebihi perkiraan, sehingga memberikan fleksibilitas bagi Bank Indonesia dari sisi kebijakan moneter kedepannya. Fokus para pelaku pasar saat ini semakin tertuju pada pemilu 2024 menjelang kuartal terakhir tahun ini, dimana ketidakpastian politik masih cukup tinggi. Namun demikian, optimisme dari sudut pandang rumah tangga dan dunia usaha sejauh ini semakin membaik, tercermin dari kenaikan indeks keyakinan konsumen dari 123,5 ke 125,2.
Di bulan Agustus, IHSG terlihat cukup resilient di tengah pelemahan mayoritas aset global, indeks berhasil naik 0,32 persen dan ditutup di level 6.965,25. Penguatan indeks dipimpin oleh sektor Bahan Baku dan Infrastruktur yang naik masing-masing 9,81 persen dan 6,24 persen. Namun, level psikologis 7.000 masih menjadi resistance kuat di tengah diperlukannya dukungan eksternal untuk mendorong indeks diperdagangkan di atas level tersebut dengan nyaman. Dari segi valuasi, IHSG saat ini diperdagangkan di kisaran rasio P/E 14,4x dan pertumbuhan EPS di 20 persen menurut Bloomberg Estimates. Investor asing mencatatkan penjualan bersih senilai $1,4 miliar di bulan Agustus, sehingga penguatan indeks sepenuhnya dikontribusi oleh investor domestik yang memang masih optimis dan mengakumulasi aset risiko.
Semakin mendekati pemilu, para pelaku pasar cenderung mengadopsi strategi yang lebih taktikal dengan jangka waktu investasi yang lebih pendek. Memasuki kuartal empat ini, perkembangan seputar dunia politik dan pemilu secara keseluruhan berpotensi memiliki dampak yang lebih besar terhadap pasar modal domestik, di tengah ketidakpastian yang masih tinggi. Namun demikian, kami tetap optimis di kuartal empat mendatang dan memasuki tahun 2024 seiring dengan tingginya resiliency pasar saham domestik sejak awal tahun ini.
Berlawanan dengan aset risiko, pasar obligasi mengalami pelemahan di bulan Agustus walaupun tidak signifikan. Imbal hasil obligasi 10 tahun pemerintah naik dari 6,25 persen ke 6,38 persen pada akhir bulan lalu. Imbal hasil aset pendapatan tetap domestik bergerak sejalan dengan imbal hasil US Treasury di AS, yang dimana juga naik di atas batas level psikologis 4 persen. Antisipasi atas suku bunga yang akan bertahan di level tinggi untuk waktu yang lebih lama masih menjadi pendorong utama kenaikan imbal hasil. Tidak hanya itu, investor asing juga melakukan penjualan bersih di pasar obligasi, walaupun tidak sebanyak di pasar saham dengan nominal $540 juta bulan lalu. Pelemahan rupiah terhadap dolar AS juga turut berkontribusi pada pelemahan aset pendapatan tetap. Namun dengan imbal hasil acuan yang saat ini berada di kisaran 6,6 persen pada pekan kedua September ini, potensi pelemahan lebih jauh seharusnya akan cukup terbatas. Dengan Real-Yield yang saat ini berada di kisaran 3,3 persen dan target penerbitan surat hutang yang lebih rendah oleh Kementrian Keuangan, seharusnya dapat menjadi penopang pasar obligasi ke depannya.
Rupiah melemah terhadap dolar AS di bulan Agustus, seiring dengan kenaikan indeks dollar (DXY) ke level 104, level tertingginya sejak awal Juni lalu. Mata uang USDIDR diperdagangkan di kisaran Rp 15.080 di awal bulan, namun di akhir bulan terlihat berada di kisaran Rp 15.230. Namun sama halnya dengan aset pendapatan tetap, kami pun melihat potensi pelemahan Rupiah sudah cukup terbatas. Dari sisi data, cadangan devisa dirilis stabil di $137,7 miliar. Pencapaian tersebut setidaknya sama dengan 6 bulan impor Indonesia, jauh di atas standar kecukupan internasional yang hanya 3 bulan impor.
Melihat penjabaran kondisi perekonomian baik dalam maupun luar negeri, tentunya akan mempengaruhi volatilitas pada pasar keuangan. Sehingga, bagi Anda yang sedang merencanakan investasi, pastikan untuk mengetahui profil risiko Anda sebelum berinvestasi. Anda dapat mengoptimalkan imbal hasil dan mengendalikan risiko dengan melakukan strategi investasi seperti alokasi aset dalam portfolio keuangan, diversifikasi hingga dollar cost averaging.
Tak hanya menentukan strategi investasi, kita pun perlu mengeksekusi strategi tersebut. Mulai berinvestasi saat ini tidak hanya dilakukan dengan cara tradisional, dimana kita perlu datang mengunjungi bank terdekat atau membutuhkan proses tatap muka secara langsung. Berkat kemajuan teknologi, semua dapat dilakukan dimana saja secara online. Tentunya, investor juga perlu memilih bank dengan reputasi dan kredibilitas yang baik, yang juga diatur dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pertimbangkan untuk berinvestasi melalui bank yang dapat menyediakan layanan investasi terintegrasi dengan transaksi keuangan harian untuk memudahkan transaksi pembelian investasi yang dipilih.