Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Toriq Hadad
@thhadad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah lama menghilang, kawan saya Abdul Simo tiba-tiba muncul di rumah persis pada malam tahun baru. Setelan bajunya rapi, dia terlihat siap mau pergi. Saya bertanya mau ke mana dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tahun-tahun lalu saya ikut teman pesta kembang api dan petasan. Meriah, gembira ria semalam suntuk, dan tak ada yang ribut. Tapi tahun ini lain. Ada yang ngajak pesta, sementara teman yang lain mengajak zikir ke masjid, dengar ceramah agama. Pesta tahun baru menurut mereka haram, tidak islami. Bakar jagung, bakar ikan pada malam tahun baru, katanya tidak diajarkan dalam Islam."
Saya tak punya komentar untuk Dul Simo. Di tempat saya tinggal di Tangerang Selatan, di pinggiran Jakarta, selepas isya pada malam pergantian tahun itu, saya juga mendengar suara zikir dari loudspeaker masjid yang dipasang keras-keras. Ini pertama kali terjadi sejak 15 tahun saya tinggal di sana. Tapi zikir hanya berlangsung kurang-lebih satu jam. Setelah itu, pada tengah malam, kembang api dan petasan menguasai langit di sana. Saya dengar cerita teman, di beberapa tempat di Jakarta, suara petasan seperti bersahut-sahutan dengan suara zikir dari masjid.
"Yah, Dul, orang bebas merayakan tahun baru dengan cara masing-masing, yang penting tidak melanggar hukum. Yang penting tidak bermaksud menandingi yang merayakan tahun baru. Soal halal atau haram, kamu tanya ahlinya," kata saya.
Ternyata Dul Simo sudah melakukan riset. Dia mengutip tulisan seseorang yang bergiat di organisasi Islam. "Tulisan itu bilang urusan tahun baru hanya soal perhitungan peredaran bulan dan matahari. Mereka yang menghitung tahun atas dasar peredaran bumi mengelilingi matahari memakai kalender matahari. Kelompok lain memakai kalender bulan karena menghitung peredaran bulan mengelilingi bumi. Kalender matahari dikenal sebagai tahun Masehi. Kalender bulan dikenal dengan tahun Hijriah."
Meskipun pengetahuan ini sudah lama dibahas orang, saya diam-diam memuji kesungguhan Dul mencari informasi. Saya pun nyeletuk, "Jadi, ini hanya soal hitungan perputaran matahari dan bulan, Dul?"
"Betul, Mas. Kalender matahari dan bulan itu bukan milik satu agama saja. Ini milik semua agama, yang menjadi standar kalender seluruh dunia, termasuk penanggalan Tionghoa, saka, dan kalender apa pun. Era Masehi memang dihitung sejak kelahiran Yesus dari Nazaret. Tapi bukan berarti tahun Masehi menjadi milik satu agama. Ini sama saja dengan pohon cemara yang disamakan dengan pohon Natal. Pohon cemara, ya, tetap cemara, meskipun selalu dipakai sebagai pohon terang pada waktu Natal."
"Jadi, Dul, kamu tetap akan merayakan malam tahun baru?"
Dul terdiam sebentar. "Saya punya cara sendiri, Mas. Saya akan tetap menghadiri undangan teman yang bermalam tahun baru. Mereka membakar jagung, juga memanggang ikan, menyalakan kembang api. Pasti meriah seperti tahun-tahun sebelumnya."
"Bagaimana dengan undangan zikir temanmu yang lain?" tanya saya.
"Nanti setelah pesta tahun baru selesai, setelah petasan dan kembang api reda, saya akan ajak mereka zikir bersama sampai subuh. Dengan begitu, kegiatan zikir tak bisa dibilang menandingi suara petasan. Tidak perlu memanggil Gusti Allah dengan loudspeaker segala karena kami sedang memuliakan dan bercakap-cakap dengan Dia yang tidak pernah tidur dan tidak tuli," ujar Dul, penuh semangat.
"Lha, Mas sendiri ikut pesta atau zikir?" tanya Dul. Saya cuma meringis, sambil memijati mata kaki. "Saya tidak ikut dua-duanya, Dul. Asam urat saya kambuh."