Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Identitas pada mulanya netral karena melekat pada setiap orang.
Identitas bisa menjadi kebencian ketika berpadu dengan kepentingan politik yang manipulatif.
Politik identitas yang menyebarkan kebencian dan kekerasan mengancam pemilihan umum.
Amiruddin al Rahab
Anggota Komnas HAM Periode 2017-2022
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Politik identitas adalah leksikon politik paling populer di Indonesia dalam 10 tahun terakhir. Bingkai “politik identitas” dipakai untuk menyulut pertengkaran politik saban hari. Akibatnya, makna identitas menjadi buruk. Orang-orang yang menampakkan identitasnya serta-merta dipandang berperilaku buruk dan intoleran. Identitas seakan-akan menjadi beban. Orang-orang pun tergiring untuk menjadi khawatir akan identitasnya sendiri. Keadaan akan berbahaya bila hal ini kembali mencuat dalam Pemilu 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Identitas pada dasarnya netral. Kita tidak bisa mengenali seseorang tanpa identitas yang melekat padanya, entah suku, etnis, ras, agama, atau bahkan aliran politik. “Anda aslinya orang mana?” Begitulah kesukaan orang Indonesia bertanya jika baru berkenalan. Kini, bagi kebanyakan orang, identitas sebagai warga negara Indonesia tidak cukup sekadar suku, etnis, agama, atau bahkan aliran politik yang bersifat privat, tapi juga dikaitkan dengan hubungan sosial-politik.
Identitas, yang pada awalnya netral, bisa menjadi bara kebencian ketika berpadu dengan kepentingan politik yang manipulatif. Karena itu, sedari awal perlu disadari bahwa identitas pada diri seseorang tidak pernah tunggal. Identitas lebih banyak bermakna sosial. Artinya, makna identitas dibentuk dalam relasi sosial, antar-individu, dan/atau antar-komunitas.
Dalam relasi sosial itulah identitas bisa berubah-ubah maknanya. Karena itu, identitas tidak dibentuk secara alami, melainkan dikonstruksi oleh banyak kepentingan.
Realitas Bentukan
Manuel Castells dalam bukunya, The Power of Identity, menulis, “Semua identitas itu dibangun. Konstruksi identitas menggunakan bahan bangunan dari sejarah, dari geografi, dari biologi, dari institusi produktif dan reproduktif, dari ingatan kolektif dan dari fantasi pribadi, dari aparatus kekuasaan, serta wahyu agama.” Dari begitu banyak bahan bangunan yang bisa dipakai untuk mengkonstruksi identitas, konstruksi sosial selalu menggunakan konteks relasi kuasa (power relationships).
Castells menawarkan tiga proses terbentuknya identitas. Pertama, identitas yang dilegitimasi (legitimizing identity), yang diintroduksi oleh lembaga-lembaga dominan kepada masyarakat untuk memperpanjang dan merasionalkan dominasinya kepada aktor-aktor lain. Kedua, identitas perlawanan (resistance identity), yang dibentuk oleh aktor yang dalam posisi ditekan atau distigma oleh kelompok dominan untuk menciptakan pembeda dari yang mendominasi. Identitas pembeda dikemukakan untuk menghidupkan perlawanan dan agar bisa bertahan.
Ketiga, identitas proyek (project identity). Ini adalah identitas yang hendak dikembangkan oleh aktor-aktor sosial untuk membangun identitas baru yang meredefinisikan posisinya dalam struktur masyarakat, seperti gerakan feminisme atau gerakan masyarakat adat.
Berdasarkan proses tersebut, identitas politik lebih merupakan upaya aktor-aktor sosial-politik untuk menciptakan identitas tandingan atau pembeda agar bisa keluar dari dominasi atau tekanan. Dalam setiap identitas politik selalu ada aktor yang membentuknya karena identitas bukan saja bisa menghimpun orang, tapi juga dapat menyingkirkan orang. Karena itu, identitas dalam politik selalu bersifat kontestasi. Artinya, setiap identitas menjadi politis ketika ruang kontestasi terbentuk.
Dalam bahasa Amy Chua, dalam bukunya Political Tribes, identitas politik laksana ekspresi naluri kesukuan (tribal instinct). Menurut Chua, “Naluri kesukuan bukan hanya naluri untuk memiliki, tapi juga naluri untuk mengecualikan.” Suatu kelompok dengan identitasnya bisa diikuti orang secara sukarela, bisa pula tidak. Namun kelompok tribal politik merupakan produk mengerikan dari penyebaran kebencian oleh para pencari kekuasaan yang oportunistis.
Bisa dikatakan bahwa politik identitas menjadi berbahaya ketika ia menjelma menjadi politik tribal (political tribes) karena ada yang mengembuskan kebencian di dalamnya. Semangatnya ialah segala hal yang berbeda dengan dirinya adalah asing dan patut dibenci. Yang berbeda selalu dianggap ancaman.
Pemilihan Umum
Dalam Pemilihan Umum 2019 dan pemilihan kepala daerah DKI Jakarta pada 2017, kita menyaksikan bagaimana aktor-aktor politik berlaga dengan nada politik kebencian itu. Selubung untuk mengembuskan kebencian itu bukan saja identitas keagamaan dan ras, tapi juga atas nama ideologi negara.
Sejarah politik Indonesia mencatat bahwa menjelang Pemilihan Umum 1955 juga menjadi ajang politik identitas yang sengit. Herbert Feith dan Lance Castles (1970) menyebut kompetisi politik identitas itu sebagai politik aliran. Paling tidak terdapat lima aliran, yaitu komunis, nasionalis, Islam, tradisionalisme Jawa, dan sosial demokrat.
Pada masa menjelang Pemilu 1955 itu, politisasi massa menjangkau area yang luas sampai ke desa-desa. Ideologisasi terjadi. Feith mengekspresikannya dengan kalimat, “Masa ini merupakan masa pertentangan sosial yang sangat sengit.”
Setiap identitas tersebut mewujud dalam partai-partai politik saat itu. Hasil Pemilu 1955 menunjukkan wajah identitas itu melalui empat partai besar, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Masyumi. Yang mewakili identitas sosial demokrat dan tradisionalisme Jawa tidak mendapatkan suara signifikan, yaitu Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Setelah 1955, identitas politik itu menjadi lelatu konflik politik.
Orde Baru memaksa identitas politik itu menjadi dua kutub (fusi), yaitu nasionalis dan Islam, dengan dua partai politik, yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP). PPP menampilkan simbol Islam yang sangat kental, yaitu Ka'bah. PDI membawa simbol PNI, yaitu banteng. Pada 2023, Megawati Soekarnoputri menegaskan bahwa roh PDI, yang kini dikenal sebagai PDI Perjuangan, adalah PNI. Orde Baru menjalankan politik kekuasaan tanpa identitas, tapi sangat kuat dalam mengendalikan DNA politik melalui tiga jalur, yaitu ABRI, birokrasi, dan Golkar. Segala yang berbau identitas dicurigai dan massa dibuat mengambang terus-menerus.
Mencegah Kebencian
Tahun depan, kontestasi politik akan kembali terjadi. Arena kontestasi begitu luas, dari pemilihan presiden dan anggota legislatif hingga pemilihan kepala daerah secara serentak. Aktor utama dalam kontestasi ini adalah partai politik.
Secara langsung atau tidak, politik identitas adalah resonansi dari kepentingan partai politik karena semua kontestan berasal dari partai politik. Massa dalam konteks ini hanyalah sosok yang terbawa arus.
Pemilu dan pilkada serentak itu tentu akan menjadi ruang kontestasi identitas dalam segala manifestasinya. Misalnya, dalam pilkada, identitas yang paling kerap dipakai adalah “putra daerah”. Istilah putra daerah adalah bentuk halus untuk menegaskan dominasi serta kesamaan etnis dan agama di suatu provinsi atau kabupaten dan kota. Maknanya, yang bukan “putra daerah” silakan minggir.
Laga identitas lain dalam arena politik pemilihan umum ini adalah identitas partai. Tiap partai akan berusaha mendominasi massa dengan identitasnya, bahkan akan memakai selubung agama, ras, atau etnis. Sekarang saja sudah terang-terangan ada hasrat mereka untuk mendaku sebagai partai paling nasionalis atau paling agamis.
Lantaran laga identitas tidak akan terhindarkan, pendiri bangsa ini merumuskan bingkainya dalam Bhinneka Tunggal Ika. Semua identitas diakui dan silakan berkembang. Memiliki dan mengenalkan identitas adalah hak setiap warga negara.
Yang perlu dicegah adalah politik kebencian dan politik kekerasan. Karena itu, mulai hari ini kita harus menuntut semua partai politik dan kontestan politik tidak mengembuskan politik kebencian dan kekerasan, apa pun selubungnya.
Jika politik kebencian dan kekerasan merasuki pemilu, semua akan rusak sekaligus akan menyedot energi bangsa ini. Akibatnya, kita akan berkubang dalam kekerasan yang berdarah. Tentu itu tidak kita inginkan bersama.
Mari kita lawan para penyebar politik kebencian dan kekerasan, apalagi yang menggunakan selubung identitas, dari mana pun datangnya. Jangan salah sasaran.
PENGUMUMAN
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo