Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Nammyohorengekyo yang diribuntukan...

Dpp walubi mengimbau pemerintah agar ajaran nichiren syosyu indonesia dilarang & dibubarkan. aliran ini menganggap ajaran budha sudah usang & hanya cocok untuk zaman dahulu. pengikutnya 1 juta orang.

1 Agustus 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AJARAN Nichiren Syosyu Indonesia (NSI) memang gampang disebut: "Agama Jepang". Setidaknya, ini tercermin dalam 15 fatwa DPP Walubi -- Perwalian Umat Budha Indonesia -- yang dua pekan silam menuding aliran ini "sesat". Bahkan Walubi mengimbau pemerintah agar NSI dilarang dan dibubarkan. Berbuntut, rupanya. Di Jawa Timur, kegiatan Nichiren sejak pekan lalu di-status quo-kan oleh Ditsospol Pemda sana. "Aliran ini menganggap ajaran Budha sudah usang dan hanya cocok untuk zaman dahulu," kata Aggi Tjetje, S.H., Wakil Ketua DPP Walubi. Soal sungsang dari ajaran Budha: NSI disebut satu-satunya sekte yang menganggap, setelah Sidharta Gautama, ada lagi nabi baru, yaitu Nichiren Daisyonin. Ia disebut "nabi akhir zaman yang bertugas meluruskan ajaran Budha yang sudah bengkong". Dan sekte ini emoh meletakkan patung Budha di wihara persembahyangannya, tetapi menggantinya dengan Gohonzon atau kertas putih bertuliskan Nammyohorengekyo. Itulah inti addharma Pundarika Sutra alias "Sutra Teratai Doktrin Sejati" hingga para saingan menyebut mereka adalah "penyembah tulisan Jepang". Sedangkan menurut ajaran Nichiren itu, para pendetanya boleh kawin. Dalam pada itu, menurut Nichiren lagi, Budha Gautama adalah perampas istri orang dan Pratyeka Budha, "lebih rendah dari penghuni neraka dan binatang". Karena itulah Walubi menyebut Nichiren "sesat dan merusakkan citra umat Budha". Apalagi mereka, mengubah Waisak jadi "Hari Balas Budi" padahal Waisak diperingati" karena tiga hal penting: kelahiran, pencapaian kesempurnaan, dan meninggalnya Budha. Ketika Kongres Umat Budha Indonesia Februari 1979, di Yogya, Nichiren belum tampak sebagai ajaran agama. Dan waktu itu lahir pula konsensus bahwa tak ada perbedaan yang prinsipiil antara sesama pemeluk ajaran Budha. Terutama, dalam hal ketuhanan, perbedaan kitab suci, dan pengakuan terhadap Sidharta Gautama sebagai nabi. NSI, ketika itu, katanya, sengaja menyembunyikan akidah yang sebenarnya. Inilah yang, oleh Walubi, disebut "tipu muslihat" Nichiren. "Mereka unjuk gigi setelah merasa kuat," kata Tjetje. Sedang Tedja Moechtar Rasyid, Sekretaris DPP Walubi, menilai, Nichiren itu perpaduan ajaran Budha dengan Sinto. "Itu ajaran yang tak bisa membedakan mana yang ritual dan profan," tambah Hamdhani Wiryana K.S., Sekjen Pembudi (Pemuda Budhis Indonesia). Lain dengan pengurus NSI. Mereka memilih diam. "Percuma banyak bicara. Kami dan mereka memang beda. Ini masalah keyakinan, maka kami kembalikan saja pada pemerintah," ujar Djohan Nataprawira, 50 tahun, dari Departemen Dharma NSI Pusat, Jakarta. Tun Dwi Putra, 45 tahun, Ketua DPP NSI Ja-Tim, menganggap fatwa Walubi itu sepihak. Sebab, beberapa hari sebelumnya, Nichiren diminta menduduki salah satu jabatan di Walubi Ja-Tim. "Heran" datang juga dari Suprapto Suryowinoto, 49 tahun. "Kami mematuhi peraturan. Anggota kami sering aktif sebagai donor darah. Ada yang ikut menghijaukan bukit gundul di Wonogiri. Lalu apanya yang salah?" tanya tokoh NSI Ja-Teng itu. Kini, Walubi dan NSI sama-sama menunggu putusan pemerintah. "Kalau ada masalah, kami hanya menyelesaikan ekstern atau organisasinya saja. Sedang yang intern, pemerintah tak bisa berbuat apa-apa. Ini menyangkut keyakinan," ujar Menteri Agama Munawir Sjadzali, pekan lalu pada TEMPO. "Nabi Jepang" -- yang ajarannya sedang diramaikan itu -- ketika kanak, bernama Zennicimaro, lahir di kampung nelayan Kominato, Provinsi Awa, pada 16 Februari 1222. Ayahnya, Nukina Sigetada, keturunan Samurai -- diasingkan ke tempat itu karena terlibat politik. Sejak kecil Zennicimaro rajin mempelajari ajaran Budha pada Biksu Dozenbo, di Kuil Seico. Setelah belajar di beberapa kuil terkenal, lalu ia kembali lagi ke Kominato -- kini di Kabupaten Ciba, tenggara Tokyo. Syahdan, di tahun 1253, Renco (nama lain Nichiren) bermeditasi selama seminggu dalam sebuah kamar. Sebelum fajar menyingsing, seminggu kemudian, di puncak Bukit Kasagamori, pandangan matanya dipusatkan ke matahari yang berwarna merah. Ketika matahari mulai bulat sempurna, dengan perlahan-lahan ia menggosok tasbihnya, sembari mengucap keras, "Nammyohorengekyo." Pengikutnya menyebut bahwa itulah suara pertama yang digemakan ke dunia, dan mulainya "fajar masa mutakhir dharma". Atau, "nabi baru di zaman ini" berwujud sebagai Nichiren alias Bunga Teratai Matahari. Kemudian ia bersabda, "Di tempat ini akulah sebagai pelaksana Saddharma Pundarika Sutra, yang pertama akan membeberkan inti kehadiranku di dunia ini." Wiridan yang disebut di atas, intinya dalam bahasa Nipon, ya Nammyohorengekyo yang itu. Selain yang tersebut tadi, kata Nichiren, sesat -- kendati sejak itu lahirlah pertentangan antara Nichiren dan ajaran Budha lain. Bahkan tak jarang saling menyerang -- sampai ada pengikut Nichiren aktif dalam gerakan bawah tanah, menentang pemerintah. Ajaran Nichiren, kini, pecah jadi delapan induk, yang masing-masing pecah lagi hingga 36 sekte, dan tersebar di seantero dunia. Sedangkan di Indonesia, muncul 10 tahun ini. Penyebarnya: Senosoenoto, pengusaha ekspor-impor yang lama bermukim di Negeri Matahari Terbit itu -- sembari belajar ajaran Nichiren. Setelah diimpor ke Indonesia, ajaran ini berlindung dalam Yayasan Nichiren Syosyu Indonesia, dan kini di mana-mana. Di Ja-Tim, misalnya, pengikutnya 20 ribu lebih. Menurut sebuah sumber, anggota NSl di Indonesia hampir satu juta. "Kami bergerak di antara sesama keluarga," kata sumber itu. Kuil pusatnya berdiri megah di lingkungan peristirahatan Megamendung, Bogor. Berkembangnya NSI mengkhawatirkan pihak Walubi, karena tak ada keterangan yang jelas, dalam Tripitaka -- Kitab Suci Budha -- mengenai cara pelaksanaan Saddharma Pundanka Sutra yang dipraktekkan NSI itu. Masduki Baidlawi, Laporan Djalil Hakim (Surabaya) & Kastoyo Ramelan (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus