Achjar Iljas *)
*) Deputi Gubernur Bank Indonesia
DI tengah tingginya dinamika politik dalam negeri, proses pemulihan ekonomi terus berlangsung sejak tahun 2000. Tanda-tanda membaiknya perekonomian antara lain tecermin pada laju pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari yang diperkirakan, kinerja ekspor yang membaik, dan kegiatan investasi yang sedikit meningkat. Namun, proses peningkatan kegiatan ekonomi tersebut masih dibayangi berbagai permasalahan dan ketidakpastian, baik di bidang ekonomi maupun politik dan keamanan, seperti meningkatnya laju inflasi, melemahnya nilai tukar rupiah, dan meningkatnya kekhawatiran terhadap situasi politik dan keamanan. Karena itu, prospek pemulihan ekonomi pada tahun 2001 bakal menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Kinerja Ekonomi Tahun 2000
Berdasarkan perhitungan sementara, ekonomi tumbuh sekitar 4,8 persen pada tahun 2000, melampaui dugaan semula, yang berkisar 3-4 persen. Dibandingkan dengan tahun 1999, sumber pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut lebih luas. Pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata didorong oleh peningkatan konsumsi masyarakat dan pemerintah, tapi juga oleh kegiatan ekspor dan investasi. Sumber utama pertumbuhan ekonomi telah bergeser kepada kegiatan ekspor, yang bila berlanjut akan lebih mendukung kesinambungan pemulihan ekonomi.
Sepanjang tahun 2000, kegiatan ekspor berhasil meraih devisa sekitar US$ 62,5 miliar. Peningkatan ekspor sebesar 17,5 persen ini antara lain dipacu oleh perekonomian dunia yang tetap kuat dan nilai tukar rupiah yang kompetitif. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, menyebabkan permintaan migas dunia meningkat pesat sehingga harganya pun melonjak tajam. Hal ini menyebabkan nilai ekspor migas meningkat tajam, yaitu sekitar 50 persen. Selain itu, perekonomian dunia yang kuat tersebut telah mendorong pertumbuhan ekspor nonmigas. Melemahnya nilai tukar rupiah juga ikut membantu mendorong pertumbuhan ekspor nonmigas, yang hampir mencapai 15 persen.
Seiring dengan peningkatan ekspor tersebut, kegiatan investasi juga mulai menggeliat dan memberikan sumbangan positif bagi pertumbuhan ekonomi. Peningkatan kegiatan investasi ini antara lain terkait dengan meningkatnya kegiatan ekspor dan konsumsi dalam negeri. Pembiayaan peningkatan investasi tersebut ditengarai terutama bersumber dari modal sendiri karena fungsi intermediasi bank belum berjalan normal. Rekapitalisasi dan konsolidasi yang sedang dilakukan oleh perbankan, restrukturisasi utang perusahaan yang masih terus berlanjut, dan situasi dunia usaha yang belum kondusif menyebabkan dana masyarakat yang berada di perbankan belum dapat disalurkan sepenuhnya untuk mendukung kegiatan sektor riil.
Namun, bersamaan dengan peningkatan kegiatan ekonomi, permasalahan dan tantangan yang dihadapi juga semakin berat. Kestabilan ekonomi, yang tecermin pada nilai tukar rupiah dan laju inflasi, ternyata masih belum kukuh. Nilai tukar rupiah menurun cukup drastis dan laju inflasi meningkat tajam pada tahun 2000. Sementara itu, situasi politik dan keamanan juga belum membaik.
Rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika pada tahun 2000 melemah dari sekitar Rp 7.850 pada tahun sebelumnya menjadi Rp 8.400. Kondisi politik dan keamanan yang belum membaik menyebabkan pemilik modal asing masih enggan membawa dana mereka masuk ke Indonesia, sehingga pasokan valuta asing masih terbatas. Sementara itu, permintaan valuta asing, yang berasal dari permintaan devisa untuk impor, pembayaran kewajiban luar negeri sektor swasta, dan penyelamatan portofolio (flight to quality) yang berkaitan dengan situasi di dalam negeri, memberikan tekanan cukup besar terhadap nilai tukar rupiah. Di samping itu, melemahnya nilai tukar rupiah disebabkan oleh faktor eksternal. Meningkatnya suku bunga Fed Fund dan menguatnya dolar Amerika terhadap mata uang dunia lainnya dan gejolak nilai tukar regional juga turut melemahkan nilai tukar rupiah. Selain itu, tindakan para spekulan yang menciptakan fluktuasi nilai rupiah yang relatif tajam berperan dalam melemahnya nilai tukar rupiah.
Sementara itu, laju inflasi meningkat tajam menjadi 9,35 persen, lebih tinggi dari sasaran yang ditentukan, yaitu antara 5 dan 7 persen. Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari perkiraan, nilai tukar rupiah yang turun tajam, dan kebijakan pemerintah di bidang pendapatan dan harga berperan penting dalam pembentukan inflasi tersebut. Peningkatan laju inflasi tersebut juga menandakan masih rendahnya fleksibilitas perekonomian. Dengan perkataan lain, sisi penawaran tidak mampu dengan cepat menyesuaikan diri dengan kenaikan permintaan.
Selain menghadapi risiko yang timbul dari ketidakpastian yang bersumber dari belum mantapnya kestabilan ekonomi, para pelaku ekonomi menghadapi risiko ketidakpastian di bidang politik dan keamanan. Situasi yang semula diharapkan mulai sejuk setelah terbentuknya pemerintah baru, nyatanya, cenderung menghangat. Berbagai konflik, seperti di Ambon dan di Aceh, belum terselesaikan dengan baik. Perseteruan antara elite politik masih terus berlangsung, bahkan semakin tajam dan terbuka. Tingkat kriminalitas tetap tinggi. Berbagai perkembangan tersebut telah mengurangi rasa aman dan menimbulkan ketidakpastian bagi pelaku ekonomi, khususnya kalangan investor.
Ketidakpastian yang bersumber dari belum mantapnya kestabilan ekonomi serta politik dan keamanan akan menyulitkan para pelaku bisnis untuk merencanakan ekspansi kegiatan usahanya. Bahkan, bila ketidakpastian tersebut terus meningkat, itu akan mendorong para produsen menunda rencana ekspansinya, atau bahkan memindahkan usahanya keluar negeri, seperti yang mulai banyak dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan ekonomi yang terjadi belum berjalan dengan mantap.
Prospek Ekonomi 2001
Momentum peningkatan kegiatan ekonomi pada tahun 2000 diperkirakan akan berlanjut pada tahun 2001. Namun, proses pemulihan ekonomi tersebut menghadapi downside risk karena permasalahan yang terjadi pada tahun 2000 diperkirakan akan berlanjut. Selain itu, tantangan baru muncul dengan berubahnya situasi eksternal.
Pada sisi eksternal, pada tahun 2001, proses pemulihan ekonomi menghadapi tantangan melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju yang merupakan mitra dagang utama, khususnya Amerika Serikat, yang merupakan lokomotif ekonomi dunia. Hal ini dapat memberikan dampak yang kurang menguntungkan terhadap permintaan barang ekspor nonmigas. Sementara itu, negara-negara pesaing akan terus meningkatkan daya saing ekspor mereka, sehingga persaingan bagi barang-barang ekspor Indonesia di pasar-pasar tujuan akan semakin ketat. Kondisi pasar internasional tersebut tentunya akan memberikan tekanan kepada harga barang-barang ekspor Indonesia. Melemahnya perekonomian Amerika Serikat diperkirakan juga dapat menyebabkan penurunan harga minyak dunia. Mengingat peranan ekspor migas yang cukup penting dalam perekonomian Indonesia, yaitu sebagai penghasil devisa dan sumber pendapatan anggaran pemerintah, penurunan harga minyak tersebut mempunyai dampak yang cukup besar bagi perekonomian. Karena itu, berbagai perkembangan tersebut dapat menimbulkan tekanan pada laju ekspansi kegiatan ekonomi, anggaran belanja pemerintah, dan nilai tukar rupiah.
Pada sisi internal, upaya untuk meningkatkan kestabilan ekonomi dapat mengurangi laju ekspansi kegiatan usaha, yang masih diperlukan untuk mendukung proses pemulihan ekonomi. Dilema ini merupakan tantangan berat bagi perencana kebijakan ekonomi, yang mencakup kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil. Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah yang terpadu, yang setidaknya mencakup empat aspek penting, yaitu kondisi politik dan keamanan, proses restrukturisasi utang perusahaan, proses intermediasi bank, dan kepastian hukum. Perbaikan pada keempat area tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja investasi. Patut dicatat bahwa peningkatan investasi, khususnya prasarana umum, sangat diperlukan untuk menunjang kegiatan ekspor, yang mulai merasakan kendala kapasitas produksi. Kendala kapasitas produksi tersebut berbentuk keterbatasan mesin/peralatan pabrik ataupun keterbatasan prasarana umum seperti listrik, jalan, dan alat transportasi. Selain itu, perbaikan di empat area tersebut akan mencegah eksodus footloose industries, yang hasil produksinya umumnya ditujukan untuk ekspor. Dengan demikian, upaya perbaikan pada keempat faktor tersebut sangat menentukan kecepatan proses pemulihan ekonomi.
Masalah lain yang akan mempengaruhi minat investasi adalah beban anggaran yang semakin berat dan kelancaran pelaksanaan otonomi daerah. Defisit anggaran belanja pemerintah yang relatif sangat besar sejak dua tahun lalu telah menimbulkan beban yang semakin berat bagi keuangan pemerintah. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai kesinambungan (sustainability) anggaran pemerintah bila kemajuan dalam asset recovery BPPN dan privatisasi BUMN tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Suatu strategi jangka menengah dan panjang yang transparan dalam mengatasi beban anggaran tersebut akan menolong memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi mengenai sustainability anggaran belanja pemerintah.
Sementara itu, pelaksanaan otonomi daerah, yang dimulai tahun ini, diharapkan dapat memberikan dukungan bagi kegiatan ekonomi dan pemerataan pembangunan dalam jangka menengah dan panjang. Namun, dalam jangka pendek, perlu diperhatikan kelancaran pelaksanaan otonomi daerah agar kesinambungan pembangunan daerah tetap terjaga. Untuk itu, pemerintah daerah perlu menentukan prioritas pengeluaran agar komposisi pengeluaran pemerintah daerah mencerminkan upaya peningkatan kegiatan pembangunan di daerah. Selain itu, perlu dihindari upaya yang berlebihan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan, retribusi, dan pajak daerah, yang justru akan berdampak negatif terhadap perekonomian daerah dan pada akhirnya terhadap keuangan pemerintah daerah. Di samping itu, perlu diperhatikan dampak moneter dari otonomi daerah berkaitan dengan transfer dana pemerintah di Bank Indonesia kepada rekening pemerintah daerah di BPD. Karena itu, sikap berhati-hati dalam pengelolaan dana tersebut perlu dijaga untuk menghindari dampak inflatoir dari aliran dana tersebut.
Melihat permasalahan dan tantangan pemulihan ekonomi, baik di sisi internal maupun eksternal, berbagai pihak terkait perlu duduk bersama dan melakukan upaya bersama untuk mengatasi permasalahan dan tantangan yang semakin kompleks. Koordinasi dalam perencanaan dan pelaksanaan kebijakan fiskal, moneter, dan sektor riil perlu dilakukan agar berbagai kebijakan ekonomi mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan kestabilan ekonomi. Berkaitan dengan itu, kebijakan fiskal masih perlu diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Sebagai konsekuensi, kebijakan moneter harus memikul seluruh beban upaya menjaga kestabilan ekonomi. Sementara itu, kebijakan di sektor riil perlu diarahkan untuk menciptakan kondisi berusaha yang kondusif dan meningkatkan efisiensi sektor riil.
Di samping itu, upaya semua lembaga negara dan pemerintah untuk meningkatkan good governance dan transparansi perlu ditingkatkan agar masyarakat dapat melihat bahwa langkah-langkah yang dilakukan benar-benar terarah pada peningkatan kinerja ekonomi. Hal ini akan meningkatkan kredibilitas lembaga publik (public institution) dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya masing-masing. Selain itu, upaya para elite politik untuk menciptakan kesejukan di bidang politik dan keamanan akan sangat membantu pemulihan kepercayaan pengusaha dari dalam dan luar negeri serta masyarakat terhadap kelangsungan pembangunan ekonomi di Indonesia. Mengingat beratnya tantangan yang dihadapi, yang sangat diperlukan dewasa ini adalah kesatuan visi, gerak, dan langkah dari semua pihak terkait, baik di bidang ekonomi maupun non-ekonomi. Apabila hal ini tak bisa dilaksanakan, pemulihan ekonomi yang kita harapkan dapat menjadi "layu sebelum berkembang".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini