H. Sujiwo Tejo *)
*) Pengamat sosial
APA perbedaan antara menjadi pembawa acara seperti Ulfa Dwi Yanti dan menjadi Presiden Republik Indonesia? Dari satu sudut pandang, yakni "orang yang sedang bekerja dan karena itu berhak mendapat imbalan fulus", keduanya sama saja. Anda akan punya alasan untuk membedakan keduanya, jika mulai masuk dari sudut-sudut pandang yang lain. Di dalam sebagian besar sudut pandang yang lain itulah terkandung kemunafikan. Dari sudut-sudut pandang atas dasar kemunafikan itu, pekerjaan sebagai presiden diberi nuansa sebagai pekerjaan orang yang sedang mengabdi. Begitu pula ketua Mahkamah Agung, anggota legislatif, serta pejabat sipil dan militer lainnya. Sedangkan Ulfa dan sejawatnya cuma orang yang mencari duit.
Inilah sejumput contoh akibat sudut-sudut pandang atas dasar semesta kemunafikan itu. Tawaran berlipat-lipat honor artis pada acara tahun baru dibaca dengan gegap-gempita, seperti ketika pembaca menyambut rekor harga transfer US$ 53 juta untuk pemain bola Luis Figo dari Barcelona ke Real Madrid tahun lalu. Julukan "Manajer 1 Miliar" untuk Tanri Abeng, sebelum menjadi menteri, adalah julukan yang dibaca dengan bangga. Tapi, rencana kenaikan gaji anggota DPRD di sebuah kabupaten di Jawa Timur dari Rp 2,3 juta menjadi Rp 4 juta saja, Desember lalu, bikin geger. Di Jakarta, istilah sosialisasi amandemen Undang-Undang Dasar 1945 ke luar negeri oleh anggota legislatif sampai diberi istilah yang berubah-ubah, dari "wisata konstitusi" menjadi "studi banding konstitusi", meskipun intinya tetap, tetap jalan-jalan ke luar negeri. Alasannya, karena masyarakat sinis.
Terhadap jenis-jenis pekerjaan yang secara amat munafik diyakini sebagai pengabdian, masyarakat mudah sekali membawa-bawa idiom sense of crisis. Pada awal Abdurrahman Wahid memimpin Indonesia, rencana kenaikan gaji Presiden menjadi Rp 107 juta disambut masyarakat sebagai rencana tanpa sense of crisis. Biaya miliaran rupiah karena anggota dewan tinggal di hotel berbintang untuk sidang tahunan MPR Agustus tahun lalu juga disambut idiom serupa. Masyarakat bersimpati terhadap anak muda yang tak tak kenal malu menenteng ijazah dan kertas lamaran kerja ke kantor-kantor. Mereka, sebut saja masyarakat kemunafikan itu, akan menyebut pemuda ini tangguh dan ulet. Tapi, mereka tak bersimpati terhadap Muladi dan malah menganggap guru besar hukum ini terlalu ngoyo dan ngotot untuk jabatan Ketua Mahkamah Agung.
Apa yang terjadi? Yang laten di balik paradoks tersebut sebenarnya adalah kemunafikan juga. Masyarakat kemunafikan hanya mau mengakui bahwa pemuda yang hilir-mudik mencari pekerjaan tadi betul-betul sedang mencari uang. Masyarakat kemunafikan hanya mau mengakui bahwa jabatan yang diburu Muladi adalah pekerjaan pengabdian. Masyarakat kemunafikan menyangka hanya kantor-kantor tempat pemuda tadi mencari kerja yang punya potensi uang. Masyarakat kemunafikan tak mau membuka matanya bahwa mereka melihat ada potensi uang, termasuk potensi perlindungan uang hasil korupsi kolektif masa lampau, yang jauh berlipat-lipat di Mahkamah Agung.
Mengapa dan sejak kapan muncul masyarakat kemunafikan? Saya juga tidak tahu. Yang bisa saya duga, kemunafikan yang sudah lama ada itu lahan pertumbuhannya dipersubur oleh pers. Sadar atau tidak, benak orang-orang sudah dibentuk oleh media massa bahwa menjadi presiden, anggota legislatif, pejabat sipil dan militer adalah urusan pengabdian. Artis, pekerja bengkel, penjaga WC umum, tukang parkir, manajer menengah sampai puncak di sektor swasta tak mendapat keistimewaan itu.
Oleh pengakuan sendiri sumber berita dari kalangan pejabat yang berupa kutipan langsung hasil wawancara, maupun oleh media massa itu sendiri, menjadi pejabat kerap disebut sedang mengabdi. Kutipan seperti "saya sudah mengabdi sebagai hakim sejak tahun? sampai tahun?" kerap kita jumpai dalam wawancara pejabat yang baru dilantik atau yang baru pensiun. Di banyak kantor polisi juga muncul spanduk yang intinya "Kami Siap Melayani Anda (perhatikan "melayani" yang mendekati citra pengabdian). Istilah Museum Purna Bhakti Pertiwi di Taman Mini Indonesia Indah adalah contoh lain lagi (perhatikan "bakti" yang bernuansa mengabdi). Semua contoh menunjukkan betapa masyarakat, yang diperkuat benaknya oleh media massa, sudah tersihir dan telanjur yakin bahwa bekerja di sektor negara adalah urusan pengabdian.
Coba nanti kalau Prof. Muladi betul-betul jadi Ketua Mahkamah Agung dan setelah pensiun diwawancara. Pasti ada kutipan wawancara, "Saya sudah mengabdi sebagai Ketua MA sejak?." Padahal, dalam skala kecil untuk kerja kebudayaan, majalah, koran, televisi, radio bisa mengganti kalimat langsung itu dengan kalimat tak langsung seraya mengubah kata "mengabdi" dengan "bekerja". Dengan demikian, yang tertanam di benak masyarakat sebagai dasar untuk melongok realitas adalah pejabat itu pekerja juga. Dalam skala besar untuk kerja kebudayaan, media massa bisa memberi konteks yang lebih luas dan tidak munafik pada setiap pemberitaan yang menyangkut imbalan untuk orang-orang yang bekerja di sektor negara.
Kelak, jika pers berhasil mereduksi kemunafikan masyarakat, keadaan akan jauh lebih tertolong. Demonstran yang anti maupun pro-pemerintah tak usah cepat merah kupingnya kalau dituduh berdemo karena dibayar. Anggota legislatif tak usah malu-malu lagi menuntut insentif yang berlipat ganda dibandingkan dengan sidang tahunan tahun lalu. Para ketua partai tak usah terlalu membohongi konstituennya bahwa tujuannya menduduki kursi presiden adalah untuk mengantarkan masyarakat yang adil dan makmur. Presiden tak perlu risi minta kenaikan gaji dan berbagai kemudahan lainnya. Dia bisa terbuka mengutip, "Wong, Ulfa Dwi Yanti saja boleh minta naik honor. Apa beda saya dan dia?"
Dan, jika memang terlibat kasus Bulog, Presiden tak perlu malu mengakuinya. Karena, masyarakat yang tidak munafik tahu persis bahwa Presiden butuh banyak duit, apalagi untuk menghadapi musuh-musuh yang jauh lebih banyak duitnya dari korupsi masa lampau.
Jujur saja, tulisan ini juga saya buat untuk mendapat duit. Kita tak perlu malu untuk mengakui itu. Kita hanya perlu memastikan bahwa di balik setiap duit yang kita buru, di situ mestinya ada tanggung jawab kualitas. Saya mempunyai teman seorang pemain gitar. Dia selalu menetapkan honor. Masyarakat munafik akan bilang dia mata duitan. Tapi, dia selalu mengembalikan honor jika merasa salah atau tak puas pada permainannya di panggung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini