Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Mustofa Bisri
Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatut Thalibien, Rembang
SIAPA yang tak kenal dengan nama-nama seperti Petruk atau Udawala atau Udel, Gareng, Semar, Bagong atau Cepot, mBilung, Togog? Orang Jawa tidak asing pula dengan nama Sabda Palon dan Noyo Genggong. Mereka itulah punakawan, tokoh-tokoh yang hampir selalu ada di sekeliling raja-raja, yang siap menghibur majikan mereka di kala duka dan mengawani dalam kegembiraan. Sering mereka, terutama Semar, yang konon memang merupakan titisan dewa paling sakti, juga memberikan masukan, saran-pendapat, bahkan nasihat kepada sang majikan, baik diminta maupun tidak.
Tokoh-tokoh itu boleh jadi memang hanya ada dalam cerita dongeng. Tapi bukankah dari dulu para raja atau penguasa memang suka dikerumuni punakawan seperti itu? Di zaman kefiraunan di Mesir, kekaisaran di Roma, dan kekisraan di Parsi, konon penguasanya suka "memelihara" orang-orang anehbaik secara fisik maupun kelakuansekadar untuk menghibur mereka. Mungkin terpengaruh oleh tradisi dan gaya hidup firaun-firaun, kaisar-kaisar, dan kisra-kisra itu, di zaman kekhilafahansetelah empat khalifah yang agung, Khulafaur Rasyidienkebiasaan memelihara "punakawan" itu pun berlaku. Di samping memelihara orang aneh, para penguasa kekhalifahan itu sering juga memanggil para penyair, penyanyi, atau tukang dongeng. Anda mungkin kenal dengan tokoh Abu Nuwas (di Melayu lebih dikenal dengan Abu Nawas), yang dijuluki Sang Penyair Anggur, atau Syekh Bahlul, yang digolongkan dalam daftar orang cerdik yang gila atau orang gila yang cerdik. Dua orang tokoh ini hanyalah sebagian di antara mereka yang sering disebut-sebut dalam majelis khalifah Harun al-Rasyid dalam kapasitas mereka sebagai penasihat atau penghibur. Di zaman modern, rupanya punawakan tidak selalu merupakan rakyat jelata yang "bernasib baik" dipilih oleh sang penguasa menjadi orang dekatnya. Minimal di negeri kita, menteri pun bisa bertindak sebagai punakawan atau bisa dibalik: punakawan pun bisa menjadi menteri. Walhasil, orang hampir tidak lagi bisa membedakan antara punakawan dan menteri. Di zaman Sukarno berkuasa, kita mendengar selentingan bahwa ada menteri yang juga merangkap menjadi tukang pijat dan pendongengnya. Dan sebaliknya, ada raja copet yang diangkat menjadi menteri. Punakawan Soeharto lebih canggih, mungkin karena "menghibur" Soeharto perlu kecanggihan. Dari sisi lain, fungsi punakawan di zaman Soeharto beragam. Ada punakawan khusus bagian perklenikan, bagian penggusuran alias buldoser, khusus perhutanan, dan ada yang khusus bidang penyataan-pernyataan konyol, di samping pernyataan omong kosong sehari-hari. Di zaman reformasi ini, yang dipilih secara demokratisbahkan paling demokratis dalam sejarah republik inijustru orang yang semula disebut-sebut sebagai tokoh punakawan. Waktu itu, banyak yang menyebut Abdurrahman Wahid sebagai Semar, mungkin karena perawakannya, sekaligus sikapnya, yang menghibur dan mau menasihati, termasuk menasihati penguasa. Petruk jadi raja, saya sudah pernah mendengar. Tapi Semar menjadi presiden? Lalu, siapa yang menjadi punakawannya? Semasa belum menjadi presiden, Gus Dur dikenal dekat dengan hampir semua orang. Orang dekatnyaatau orang yang mendekatinyabanyak sekali, dari presiden hingga pesinden, dari ulama dan pendeta hingga umara dan pengusaha, dari bankir hingga tukang parkir, dari wartawan hingga seniman. Pendek kata, dari penggede hingga wong cilik suka datang ke Ciganjur, tempat tokoh kontroversial itu tinggal. Banyak di antara mereka yang tidak sungkan-sungkan ngebrok, apel terus-terusan, di rumahnya, atau tunggu jor, setia menunggui, di kantor NU-nya, bahkan kinthil, mengikutinya, ke mana pun dia pergi. Mereka ini ada yang sekadar mencari berkah rohaniah, tapi tidak jarang yang mencari berkah maaddiyah duniawiyah, materi duniawi. Jadi, sebelum menjadi presiden, masih sebagai Ketua Umum NU, sebenarnya Gus Dur sudah memiliki banyak punakawan. Saya tahu sendiri punakawannya ini ada yang ikhlas sebagai teman berbincang-bincang dan bertukar pikiran, ada yang sekadar menghibur atau dianggap Gus Dur hiburan, ada yang memanfaatkannya untuk tujuan-tujuan sosial kemasyarakatan, tapi tak sedikit pula yang menjadikannya kendaraan untuk kepentingan sendiri. Namun, sebagai punakawan, umumnya mereka mengetahui bagaimana mengambil hati Gus Dur. Lazimnya, terutama bagi mereka yang mempunyai pamrih tertentukhas punakawan penjilatcara yang digunakan untuk mengambil hati Gus Dur adalah dengan selalu menunjukkan persetujuan terhadap semua yang dilakukan dan dikatakannya, bahkan memperlihatkan secara berlebihan dukungan mereka. Kalau hanya berhenti di situ, saya pikir masih belum seberapa. Yang lebih njelehi, untuk menunjukkan bahwa mereka tidak sekadar manthuk-manthuk mengiyakan, mereka ini sering berlagak seperti pakar atau intel dan mereka-reka cerita atau informasi. Atau, karena tahu Gus Dur menghormati kiai dan wali, ada yang sengaja mengarang ucapan yang dikatakan sebagai dawuh kiai Polan atau wali Anu. Malah, ada saja yang langsung dan tak malu-malu meng-kiai-kiai-kan atau me-wali-wali-kan diri. Sekarang Gus Dur sudah menjadi presiden. Dari sekian banyak orang yang selama ini dikenal dekat dan merupakan kawan mukhlisnya, beberapa di antaranyakarena dianggap punya kemampuansudah diangkat sebagai pembantu-pembantu resminya. Beberapa yang lain, terutama dari kalangan kiai, justru sengaja membuat jarak. Dan beberapa yang lain lagi malah seperti merasa serba salah: membiarkan Gus Dur sendiri tanpa membantunya dengan minimal memberikan taushiyah bilhaq washshabri tak tega, tapi sungkan untuk tetap menjaga kedekatan seperti kemarin-kemarin. Yang menjadi pertanyaan sekaligus membuat ketar-ketir banyak orang: apakah para punakawankhususnya mereka yang sejak kemarin ngathok dan hanya memanfaatkannya untuk kepentingan sendiri tanpa mempedulikan akibat buruk yang dapat ditimbulkanmasih dipelihara oleh Gus Dur yang presiden sebagai punakawan istana? Ataukah jumlah punakawan jenis ini justru berkembang semakin banyak seiring dengan keterbukaan yang semakin telanjang? Kalau jawabannya ya, apakah di antara mereka ada juga punakawan yang arif dan ikhlas seperti Semar? Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |