Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Rantai di Kaki Para Sineas

Undang-Undang Perfilman yang baru jauh lebih otoriter daripada yang digantikannya. Kembali ke Orde Baru?

21 September 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lengkaplah sudah "prestasi" anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang masa kerjanya akan berakhir beberapa pekan lagi. Anggota Dewan angkatan ini belepotan kasus korupsi, dan banyak yang malas hadir di sidang, termasuk saat pidato Presiden. Kini mereka meloloskan Undang Undang Perfilman baru yang bersifat otoriter.

Adapun undang undang lama, yaitu Undang Undang Nomor 8 Tahun 1992, memang sudah harus diganti. Itu bukan saja karena Departemen Penerangan-sebagai institusi era Orde Baru yang mengatur atur warga pers, film, dan televisi dibubarkan pada 1999, melainkan juga karena isinya sudah berlawanan dengan spirit reformasi. Tapi betapa ironis. Justru Undang Undang Perfilman yang disahkan dua pekan lalu, setelah 11 tahun perjalanan reformasi, isinya jauh lebih mengekang dibanding aturan produk Orde Baru.

Pasal kontroversial bertebaran di mana-mana. Meski pada pasal 5 dinyatakan bahwa kegiatan perfilman dibuat berdasarkan kebebasan berkreasi, berinovasi, ternyata pasal berikutnya berisi larangan atas film yang dianggap mendorong kekerasan, perjudian, penggunaan narkoba, pornografi, seta pertentangan antarkelompok dan agama. Pasal 6 ini adalah pasal karet yang mudah diinterpretasikan seenaknya tergantung siapa yang tengah memegang kuasa.

Pasal 18 juga menunjukkan Indonesia kembali ke masa Orde Baru, ketika produser diwajibkan mendaftar pada menteri (kebudayaan) disertai judul film, isi cerita, dan rencana pembuatan film. Alasannya adalah menteri ingin melindungi pembuatan film, agar tidak ada kesamaan judul dan isi cerita.

Pasal 50 malah lebih aneh, karena mewajibkan pelaku kegiatan perfilman memiliki kompetensi dan sertifikat dalam bidang perfilman. Asumsinya, mereka yang tidak pernah menempuh pendidikan perfilman tidak mampu membuat film. Para pembuat undang undang ini tidak peduli bahwa institusi yang menyediakan fakultas perfilman yang formal barulah Institut Kesenian Jakarta.

Yang paling parah adalah pasal 32, yang mewajibkan pemilik bioskop mempertunjukkan film Indonesia sekurang kurangnya 60 persen dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama enam bulan berturut turut. Jika kuota ini dipaksakan, sudah pasti para produser memaksakan diri memproduksi film film buruk, seperti yang terjadi pada industri sinetron sekarang ini. Pada gilirannya, film Indonesia akan runtuh dan ditinggalkan penontonnya seperti yang terjadi pada akhir 1980 an.

Yang terakhir, tapi tak kalah penting, undang undang ini juga masih mengesahkan lembaga sensor sebagai institusi penentu lolos tidaknya sebuah film sebelum beredar.

Tidak ada langkah alternatif selain mengajukan judicial review terhadap undang-undang neo Orba ini ke Mahkamah Konstitusi. Masyarakat Film perlu meminta Mahkamah Konstitusi menguji pasal pasal di atas yang sudah jelas melanggar Pasal 28 Undang Undang Dasar, yang mengatur kebebasan berekspresi.

Perlu diingat bahwa dalam tuntutan Masyarakat Film Indonesia setahun lalu yang meminta Mahkamah Agung menguji Undang Undang Perfilman tentang Lembaga Sensor Film, para hakim saat itu sepakat bahwa Undang Undang Perfilman yang lama (Nomor 8/1992), termasuk ketentuan yang mengatur Lembaga Sensor Film, "sudah tidak sesuai dengan semangat zamannya, sehingga sangat mendesak untuk dibentuk undang undang film yang baru yang lebih sesuai dengan semangat demokratisasi dan penghormatan terhadap hak asasi manusia".

Sayang sekali, ternyata Undang-Undang Perfilman baru yang tergesa gesa disahkan itu malah lebih otoriter seperti rantai yang mengikat kaki para sineas Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus