Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
M. Alfan Alfian
Direktur Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berbagai ulasan tentang peringatan reformasi di Indonesia lazim mengarah ke gambaran umum yang paradoks. Di satu sisi, peluang perubahan terbuka lebar. Tapi, di sisi lain, tercatat banyak masalah yang belum tuntas. Namun hampir semua ulasan mencatat pula bahwa reformasi masih menyimpan harapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reformasi adalah fenomena. Dari sisi dinamika politik, terlepas dari kekurangannya, Indonesia telah terbingkai demokrasi. Ia membuka peluang bagi hadirnya berbagai kalangan berkiprah di dunia politik.
Kendati paradoks masih ada, pengalaman reformasi Indonesia masih dipandang mengesankan oleh, antara lain, Anwar Ibrahim, tokoh politik Malaysia yang dipenjara pada masa rezim Perdana Menteri Najib Razak. Setelah keluar dari penjara pada pekan lalu, Anwar langsung bertandang ke Jakarta. Di sini, ia berkangen-kangenan dengan beberapa tokoh yang berperan penting dalam fase transisi politik 1998, seperti B.J. Habibie. Anwar mengaku belajar banyak dari negeri ini.
Indonesia memang lazim menjadi tempat belajar bagi Malaysia. Tapi, ibarat murid, dia malah mampu membalap gurunya. Konon, pada dekade awal eksistensinya, Malaysia membutuhkan banyak guru dari Indonesia. Tapi, kini, pendidikan di negeri jiran itu jauh lebih maju. Dari sisi ekonomi, Malaysia pun sudah lebih dulu maju dan bahkan sudah lama menjadi magnet bagi pekerja Indonesia.
Apa yang bisa didapat Malaysia dari pengalaman reformasi Indonesia? Yang dapat dikembangkan pertama-tama ialah iklim politik yang demokratis. Mahathir Mohamad, Anwar, dan rezim Pakatan Harapan, koalisi partai pemenang pemilihan umum, punya peluang transisional yang kondusif bagi penciptaan iklim keterbukaan dalam demokrasi politik mereka. Undang-Undang Keamanan Internal (ISA) sudah bukan masanya lagi. Kalau mau belajar dari Indonesia, berbagai perundang-undangan, termasuk undang-undang antisubversi serta perangkat hukum lain yang tidak selaras dengan reformasi dan demokrasi, secepatnya harus dicabut.
Pendekatan semi-otoritarian sudah tak relevan. "Mahathir baru" harus mau berbeda dengan "Mahathir lama". Mahathir masa kini disesaki isu-isu populisme yang perlu pembuktian segera, terutama dalam hal pemberantasan korupsi. Ujian pertamanya adalah menyelesaikan kasus dugaan megakorupsi Najib Razak. Apabila berhasil dalam tempo cepat, kepercayaan rakyat tentu bertambah. Malaysia juga bisa belajar dari pengalaman Komisi Pemberantasan Korupsi di Indonesia.
Pelajaran penting lain ialah regenerasi kepemimpinan. Memang, konstelasi perpolitikan Indonesia juga masih melibatkan elite-elite politik senior yang sudah hadir sejak dan bahkan semasa Orde Baru. Tapi, munculnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai presiden menyusul pemilihan presiden langsung pertama pada 2004 cukup mengejutkan, apalagi lantas mampu bertahan dalam dua periode. Selain itu, kemunculan Joko Widodo (Jokowi) sebagai bintang gemilang pemenang pemilihan presiden 2014 tak kalah fenomenalnya. Kalau bukan karena reformasi, tak pernah ada bayangan SBY atau Jokowi menjadi presiden.
Di Indonesia, dinamika kepemimpinan nasionalnya sudah sebegitu rupa justru ketika dua orang dari masa lalu, Mahathir dan Anwar, tengah menyembul dan berkuasa kembali di Malaysia. Karena itu, ilham reformasi untuk Malaysia justru terkait dengan bagaimana ruang-ruang baru dihadirkan guna memperluas peluang bagi hadirnya "Mahathir-Mahathir" baru atau "Anwar-Anwar" baru. Peluang itu sangat terbuka dan kelak orang akan menilai keberhasilan kepemimpinan mereka justru terletak pada keberhasilan dalam menyiapkan pemimpin-pemimpin baru.
Mengelola perubahan merupakan pekerjaan mendesak pemerintahan koalisi Pakatan Harapan. Dalam perspektif Anwar, yang selaras gerak dengan kebijakan Mahathir, perubahan Malaysia kini harus terkelola oleh roh reformasi. Indonesia pun menjadi referensi pentingnya. Lagi-lagi, seolah-olah Malaysia tengah hendak belajar kembali dari Indonesia dan memang demikian menurut Anwar. Jangan-jangan, dalam waktu yang tak terlampau lama, implementasi reformasi Malaysia akan jauh lebih sukses ketimbang Indonesia.