Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SULIT untuk bisa yakin bahwa pemerintah serius memburu dan memberantas judi online yang belakangan makin subur dengan transaksi triliunan rupiah. Tanpa membongkar jaringan bandarnya lebih dulu, Satuan Tugas Pemberantasan Perjudian Daring atau Satgas Judi Online yang dibentuk lewat keputusan presiden pada 14 Juni lalu hanya akan bekerja sia-sia. Bisnis judi online akan terus merajalela.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Padahal pembentukan satgas sejatinya menunjukkan situasi darurat. Sejak 2017, akumulasi perputaran dana transaksi judi online mencapai Rp 517 triliun. Sepanjang kuartal pertama tahun ini saja Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat transaksi judi daring sudah lebih dari Rp 101 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemainnya berasal dari beragam profesi. Dari para pelajar yang tersebar di kecamatan hampir semua provinsi hingga para wakil rakyat yang duduk terhormat di Dewan Perwakilan Rakyat. Eksesnya dari kecanduan, jerat utang yang membenamkan pejudi ke dalam kemiskinan, hingga perbuatan pidana dan kematian karena depresi.
Sayangnya, kondisi darurat itu tak tecermin dalam strategi satgas judi online yang dipimpin Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Hadi Tjahjanto tersebut. Memiliki masa tugas hingga 31 Desember 2024, satgas bukan langsung membidik ke arah hulu, melainkan berfokus menyisir para pejudi online. Dalihnya: demi pencegahan dan pemulihan masyarakat—sesuatu yang sebenarnya sudah dilakukan pemerintah tanpa perlu ada satgas.
Alasan Hadi bahwa pencegahan itu untuk menyelamatkan rakyat Indonesia lebih dulu, baru kemudian "memotong" para bandar, terasa janggal. Bukankah menindak langsung sumber akarnya akan jauh lebih efektif untuk menyelamatkan masyarakat dari judi online?
Pernyataan Hadi itu justru menguatkan kritik terhadap pemerintahan Joko Widodo yang latah membentuk satgas judi online. Wajar bila publik curiga bahwa pembentukan satgas ini sebatas pencitraan untuk menunjukkan kesan bahwa pemerintah bereaksi cepat. Dengan menomorduakan penegakan hukum di sektor hulu, niat pemerintah memberantas jaringan judi online pun dipertanyakan.
Jika serius ingin membebaskan masyarakat dari cengkeraman judi online, terutama mereka yang berasal dari golongan ekonomi bawah, sudah sepantasnya satgas memperbaiki fokus kerjanya, yakni membidik kepala para bandar. Caranya adalah melacak jaringan judi online hingga ke hulu tempat para bandar besar bersembunyi.
Itu sebabnya penelusuran satgas tidak boleh berhenti sampai di selebgram atau para pemain saja. Satgas juga seyogianya bekerja sama dengan interpol untuk memburu para bandar kakap yang mengendalikan judi online dari luar negeri. Memblokir konten judi online saja tidak cukup. Apalagi hanya menyebar notifikasi waspada judi online melalui pesan berantai.
Yang harus diprioritaskan pemerintah adalah membuka semua data aliran dana yang mengarah hingga ke hulu. Semua orang tahu bahwa bandar judi internasional punya kaki tangan kegiatan operasional di tingkat regional ataupun lokal. Penelusuran aliran dana ini semestinya bukan hal sulit bagi PPATK.
Ketimbang mengumbar data para pemain, satgas semestinya berfokus menelusuri ke mana saja aliran dana itu mengalir. Termasuk membongkar aparat dan pejabat yang diduga bermain mata dengan para bandar. Mereka inilah yang menyuburkan bisnis judi online di Indonesia.
Satu lapak bandar besar yang digulung tentu akan jauh lebih efektif untuk menyelamatkan jutaan penduduk dari jerat serta candu judi online dibanding satu-satu pemainnya dibidik dan ditangkapi.