Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Selamat datang restoran udara

Melalui kesempatan menjamu makan, perusahaan penerbangan mencoba menarik rekanan. Pramugara dan pramugari Garuda selalu mengurung diri di dapur. (kl)

9 Februari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI suatu negara, perusahaan penerbangan sipil nasionalnya adalah salah satu caraka yang membawa kehormatannya berkunjung ke seluruh dunia. Demikian pula jalur penerbangan dalam negerinya sarana untuk memperkenalkan bangsanya kepada para wisatawan dari dalam dan luar negeri. Di dalam pesawat Air India, para penumpang kadang-kadang disuguhi dua butir bunga cengkih kering sewaktu pesawat akan lepas landas atau akan mendarat. Gunanya untuk dikunyah-kunyah, sehingga selain menyegarkan pernapasan juga mengatur keseimbangan tekanan udara di kedua belah ruangan yang disekat gendang telinga kita. Perusahaan penerbangan lain mungkin tidak menyajikan bunga cengkih, melainkan permen pedas. Maksudnya tentu sama, tetapi Air India dalam hal ini lebih orisinil. Hanya saja saya belum pernah disodori sekapur sirih sehabis makan, walaupun ketika menghadiri jamuan di rumah keluarga Mahalanobis, yang selagi hidupnya telah mendirikan Institut Statistika India yang terkenal itu, saya diharapkan memamah sirih sebagai pencuci mulut setelah bersantap. Melalui kesempatan menjamu penumpang makan di udara ini pula berbagai perusahaan penerbangan mencoba menarik rekanan. Ada yang menawarkan minuman keras cuma-cuma di kelas ekonomi, ada pula yang menjamin semua makanan yang disajikan halal bagi penumpang Muslim-muslimat. Itulah yang misalnya dilakukan KLM untuk semua jalur penerbangannya yang melalui Timur Tengah. Untuk penerbangan hari Jumat, Qantas juga mencantumkan pada kartu menu bahwa pemeluk agama Katolik Roma sudah dimintakan izin untuk dapat menyantap makanan yang terbuat dari bahan hewani. Demikian pernah saya baca dari kartu menu perusahaan itu pada 1967. Pernah pula, pada tahun 1969, saya menjadi penumpang kelas utama perusahaan ini karena menjadi tamu undangan pemerintah negara sahabat. Berulang-ulang pramugara mendatangi penumpang, menanyakan apakah ia tidak memerlukan minuman. Mula-mula saya memesan minuman lunak. Tetapi beberapa kali didesak halus untuk memesan minuman, akhirnya lambung terasa kembung juga karena gas karbondioksida dalam minuman limun dan yang sejenis. Setelah itu, berkali-kali, kalau ia datang menawarkan minum lagi, saya tolak dengan ucapan terima kasih. Akhirnya ia menggerutu, "Kalau Anda tidak suka "minum", buat apa menjadi penumpang kelas satu." Mendengar gerutunya ini, saya agak merasa bersalah juga. Karena itu, sewaktu di atas Muangthai ia menawarkan minuman lagi, saya minta kepadanya untuk membuatkan saya secangkir kopi. Ia bertanya, "Mengapa Anda tidak mencoba mencicipi kopi Irlandia kami." Saya setuju, dan dalam diri saya bertanya-tanya apakah kopi Irlandia terbuat dari Robusta, Arabika, atau campuran. Tidak lama kemudian ia kembali dengan secangkir kopi yang masih panas. Tadinya cangkir itu hendak saya letakkan dahulu di meja agar menjadi kurang panas, tetapi sang pramugara mengatakan bahwa kopi Irlandia sebaiknya diminum panas. Nasihatnya saya ikuti, dan dengan segera tenggorok saya serasa terbakar. Rupanya, kopi Irlandia bukan campuran Arabika dan Robusta, melainkan wiski yang dibubuhi kopi. Tidak peduli kopi jenis apa! Pramugara itu pun kembali ke dapur dengan perasaan menang. Di dalam buku catatannya pada hari itu mungkin sudah tercantum prestasinya menundukkan penumpang yang tidak ingin menyentuh minuman keras. Melalui makanan yang disajikan ini pula berbagai perusahaan penerbangan mencoba memperkenalkan berbagai jenis makanan yang khas bangsanya. Qantas menyajikan sup buntut kanguru, JAL menyajikan berbagai makanan Ikan. Demikianlah suatu ketika saya menumpang pesawat Garuda ke Medan bersama seorang tamu asing pada siang hari. Setelah pesawat lepas landas, pramugari menyajikan makanan yang dikemas di dalam kotak karton. Di dalam kotak ternyata ada dua potong roti dan sebuah bungkusan plastik berisi bahan-bahan pelezat. Roti itu salah satunya ternyata berisi pisang. Sewaktu menyantap, teman saya itu berkata bahwa baru sekali itu ia merasakan hotdog yang sosisnya terbuat dari pisang. Tetapi ia mengakui bahwa inovasi Indonesia itu sangat lezat. Apalagi dengan cara itu orang yang sering peragu dengan cepat dapat meyakinkan dirinya bahwa roti itu halal untuk dimakan. Hanya ada satu hal yang tidak dapat dipahami teman itu. Yaitu bagaimana caranya orang Indonesia dapat menikmati kopi atau teh dengan garam dan merica. Roti manis dan roti pisang itu pasti tidak perlu dibubuhi garam atau merica. Karena itu, garam dan merica adalah pilihan lain bagi penumpang yang ingin bereksperimen minum kopi asin atau kopi pedas, atau kopi manis yang asin dan pedas. Tidak ada pilihan lain untuk mencoba menerangkan mengapa susunan bungkusan zat pelezat itu terdiri atas sebungkus gula, sebungkus garam, sebungkus merica, dan sebatang tusuk gigi. Sewaktu saya mendengar bahwa Garuda mulai memberikan permen kembali kepada para penumpangnya, perasaan saya lega. Sebab, mulai sekarang, kalau lupa membeli permen di kafetaria bandar udara Kemayoran sebelum perjalanan dengan Garuda, kita tidak perlu lagi mencoba-coba mengunyah permen angin, dalam usaha kita menghilangkan gangguan telinga yang berdengung. Mudah-mudahan dengan menyelenggarakan kembali restoran udara ini, para pramugara dan pramugari dapat menemukan kembali kepercayaan terhadap diri sendiri. Selama ini di dalam jalur penerbangan domestik, setelah melakukan tugas meragakan cara-cara penyelamatan diri, mereka selalu mengurung diri di dalam dapur di balik tirai tertutup. Seakan-akan tidak berani menampakkan diri di ruang penumpang - karena apa yang akan mereka lakukan, kalau tidak ada apa-apa yang dapat mereka sajikan? Bulan April 1965, ketika menumpang pesawat Convair 990 Garuda dari Hong Kong ke Jakarta melalui Manila, saya merasa bangga bahwa kita sudah punya pesawat jet penuh yang mampu terbang dengan kecepatan tinggi. Bulan Agustus 1961, ketika saya keluar dari Kemayoran, pesawat yang membawa saya hanya sebuah Lockheed Electra. Sekarang pun, kalau seorang Indonesia melihat sebuah pesawat raksasa Garuda sedang menempel di terowongan penumpang di Schiphol atau Don Muang, mau tak mau ia akan bangga melihat sang Dwiwarna terpampang di tubuh pesawat yang putih itu. Tetapi kalau ia melihat pesawat itu dari dalam, ia mungkin akan berpikir-pikir tentang keramahtamahan bangsa Indonesia yang seharusnya disajikan di dalam kabin, tapi susah di praktekkan bila tuan rumah terpaksa bersembunyi di dapur. Garuda! Selamat datang kepada restoran udaramu. Mudah-mudahan engkau berjaya menampilkan keramahtamahan bangsa Indonesia di udara. Mudah-mudahan anak bangsamu pun akan bergairah menjadi penumpang. Bukan karena terpaksa mengikuti peraturan perjalanan, tetapi karena bangga akan pelayananmu. * Andi Hakim Nasution, Prof. Dr., adalah rektor Institut Pertanian Bogor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus