DI Gombel, Semarang, konon tuyul setanah Jawa sedang berkumpul. Mereka berseminar. Temanya: meningkatkan peran-serta tuyul dalam pembangunan. Biarpun yang hadir kebanyakan hanya tuyul asal sekitar Semarang, pertemuan ini adalah seminar pertuyulan yang pertama di tanah air. Para raja setan, demit, dan lelembut yang menghuni semua punden sekitar Semarang semua hadir. Bahkan upacara pembukaan konon dihadiri pula oleh mbahnya demit dari Gunung Lawu dan Candi Semar. Seminar dipimpin oleh Widalangkah, tuyul yang sudah lama menghuni Candi, Semarang. Wida ditunjuk sebagai ketua karena prestasinya menyulap kawasan yang semula hanya bisa dihuni bekasakan, sebangsa tuyul yang tidak gundul, menjadi satelit berbinar-binar di puncak perbukitan Candi itu. Biarpun sohor, Widalangkah tetap punya kebiasaan sembunyi seperti umumnya lelembut. Emoh ditemui manusia biasa. Tetapi di Semarang Wida dikenal sebagai tuyul yang baik hati. Mendengar namanya disebut, warga Semarang suka gemetaran. Karena Wida tuyul gesit, biarpun kepala botak, perut buncit, dan cuma berkaus oblong celana monyet, bekerja keras adalah merk dagangnya. Bila warga Semarang memimpikan ingin membangun Taman Maerokoco, atau memutar tata letak Gombel menjadi tempat menyimpan gundik para dewa, bukan Patih Suwondo yang ditoleh. Tetapi Widalangkah sasaran utama. Banyak dongeng tentang tuyul, tetapi Widalangkah benar-benar satu legenda. Orang kecil atau Cina mendring paling berani minta berkah pada Koh Cheng Ho. Tetapi tumpuan para dewata, ya tuyul yang satu ini, tempat ngalap berkah dan segala hadiah. Dalam seminar nasional tuyul yang pertama itu, kehormatan memukul gong diberikan kepada Butalocaya. Kalau Widalangkah adalah tokoh lokal, walaupun berbinar-binar, Butalocaya tokoh tuyul mondial. Namanya disebut di mana-mana bahkan kemampuannya memperkaya diri, memperkaya teman dan kenalannya, termasyhur di mancanegara. Mestinya masih ada tuyul kesugihan yang lebih dihormati di kalangan demit dan bekasakan. Ia berdomisili di Betawi namanya Sapu Regol. Tetapi karena tuyul sangat terhormat ini tak pernah bicara atau mendengar, banyak yang menduga ia demit bisu dan tuli. Konon, bila bisa bikin Sapu Regol berbicara barang sepatah, hujan duit sehari semalam bakal terjadi. Seminar antartuyul juga pakai makalah. Kalau manusia berseminar soal tuyul omongannya membahas para lelembut. Maka, seminar tuyul membahas tingkah tengul, alias manusia, menurut kosakata mereka. Makalah pertama yang dibacakan berjudul: "Aliansi Tuyul dan Tengul: Perspektif Baru". Kertas kerja yang baik itu disampaikan oleh tuyul muda dari Tuban, Sapujagat. Inti makalah yang membelalakkan mata tuyul setanah Jawa itu kurang lebih: di masa lalu, aliansi tuyul dan tengul (manusia) menitikberatkan pilihan pada lima perkara. Tengulnya mesti kikir mesti bekerja keras seperti kesetanan suka hidup bersiksa diri alias tirakat, hemat dan sederhana tingkah lakunya bila perlu, nggombal, dan mesti mau menyediakan korban, berupa jiwa anak, istri, atau kerabat. Pada zaman sekarang, menurut Sapujagat, cara itu tak lagi cocok. Ia menganjurkan kepada semua tuyul tanah Jawa untuk mengadakan orientasi kembali cara babi ngepet yang sudah kuno. Berdasarkan doktrin aliansi tuyul-tengul yang baru, kerja sama yang bakal lebih berhasil-guna dan berdaya-guna ialah dengan tengul jenis baru. Ia harus tengul pemboros, pemalas, suka makan enak, tidur nyenyak, pakaian perlente, maunya banyak. Tengul teman para tuyul haruslah mereka yang tak usah punya otak, tak usah punya hati, tak usah punya malu. Bila syarat ini dipenuhi, si tengul tidak usah menyediakan korban jiwa: tidak sesuai dengan peri ketuyulan maupun peri pertengulan. Waktu dari peserta ada tuyul yang bertanya mengapa pilihan jatuh pada partner kerja tengul yang geblek, jawab Sapujagat enak saja. Karena hanya tengul yang tidak becus apa-apa tidak akan nggrecokin kerja serius para tuyul mencari harta. Bila tuyul harus berpartisipasi maka aturan dan norma tuyullah yang mesti berlaku. Bukan mau tengul yang tidak tahu cara menjaring doku. Untuk menjamin para tuyul dapat berpartisipasi sekuat tenaga, hanya ada satu syarat tambahan bagi para tengul pendukung. Pilihlah tengul yang duduk di kursi goyang, menyandang keris gowang (gompal, sudah tak tajam), dan mahkota senilai segobang. Makalah berikutnya: "Cara Menggali Daerah Kerja Pertuyulan: Kasus Membangun Kota". Disampaikan dengan kocak oleh tuyul Pemalang bernama Sembungyuda. Tidak semua kota dibangun untuk tengul. Tetapi semua kota bisa dibangun oleh tuyul. Rencana induk itu omongan tengul. Induknya pelaksana rencana itu urusan tuyul. Membangun kota tidak seperti makan bubur - dari pinggir makin ke tengah - karena cara itu hanya akan bikin tuyul kebagian yang susah. Enaknya jadi bagian tengul. Yang benar, dari tengah baru ke pinggir. Karena itu, kerja tuyul, bila berpartisipasi membangun kota, udag-lah kota sebelah tengah di situ tempat serpihan daging ayam, telur, dan cakwe di situ kenikmatan makan bubur secara tuyul. Makan bubur dari pinggir itu metode tengul. Makan bubur dari tengah, itulah kelihaian tuyul. Karena itu, galilah potensi bawah kolong, pasar butut, jalur hijau, bahkan rumah tua yang dulu dihuni sesama tuyul. Pengosongan rumah tuyul di tengah kota ialah proyek pembangunan kota model terbaru. Tuyul-tuyul peserta seminar terperanjat: tidak mengira salah satu saran rekan pendatang baru ini teramat sadistis. Bukan hanya tengul, tuyul pun mesti digusur! Tetapi belum sempat protes diajukan, embahnya tengul ongkang-ongkang, yang menyandang keris gowang dan duduk di kursi goyang, datang. Mahkotanya yang senilai segobang tampak berbinar-binar. Seketika semua tuyul ngumpet. Tak sepotong nyali bercuit di hadapan tengul berkeris biarpun ia tak punya otak, tak punya hati, tak punya malu. Ia bukan ditakuti sesama tuyul. Hanya, percuma omong di depan tengul yang satu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini