Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Sengkarut Data dan Sensus Pertanian 2023

Badan Pusat Statistik akan melakukan sensus pertanian untuk memotret perubahan struktur pertanian. Mengatasi sengkarut data.

24 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Badan Pusat Statistik akan melakukan sensus pertanian pada Juni-Juli tahun ini.

  • Data pertanian yang tepercaya diperlukan dalam pengambilan kebijakan yang tepat.

  • Silang pendapat antar-kementerian dan lembaga mengenai data pertanian harus dihentikan.

Khudori
Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan dan penulis buku Ironi Negeri Beras

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Pusat Statistik (BPS) akan melakukan Sensus Pertanian 2023 (ST2023) pada 1 Juni-31 Juli 2023. Menurut BPS, ST2023 hendak memotret perubahan struktur pertanian Indonesia dalam 10 tahun terakhir, menyediakan sampel bagi survei-survei di antara dua sensus untuk pengumpulan data statistik pertanian yang rinci, serta menyediakan data sebagai benchmark dan rekonsiliasi statistik pertanian. ST2023 juga akan mengadopsi konsep dan definisi petani skala kecil versi Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini, pertanian masih menjadi sektor penting bagi negeri ini. Memang kondisinya jauh berubah dari 1980-an, tapi kontribusinya pada produk domestik bruto (PDB) masih besar, sekitar 13,28 persen. Kontribusinya hanya kalah oleh sektor industri, yang kontribusinya terhadap PDB sebesar 19-22 persen. Namun, jika ditinjau dari tingkat penyerapan tenaga kerja, tidak ada yang bisa mengalahkan sektor pertanian. Sektor ini masih menjadi gantungan hidup bagi 40,6 juta atau 29,96 persen penduduk yang bekerja.

Kontribusi pertanian terhadap PDB yang menurun, padahal penyerapan tenaga kerjanya besar, menandai sektor pertanian sedang mengalami involusi. Kue yang kian kecil dibagi pembagi yang besar hanya akan menghasilkan kue yang makin kecil. Ini sekaligus menjelaskan mengapa sektor pertanian jadi penyumbang terbesar rumah tangga miskin di Indonesia, yang sebesar 49 persen. Pelaku pertanian terbelah dua, yakni petani gurem dan petani berlahan luas. Petani gurem hanya meraup pendapatan bersih sebesar Rp 5,2 juta setahun atau Rp 14.246 per hari. Adapun petani yang berlahan luas bisa mengantongi pendapatan Rp 78,475 juta setahun atau Rp 215 ribu per hari.

Kita berharap sensus pertanian BPS tahun ini akan memberikan potret lengkap mengenai pertanian Indonesia masa kini. Berbeda dengan sensus pertanian sebelumnya, sensus kali ini hendak memenuhi ketersediaan data struktur pertanian dan indikator Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bagi pertanian, petani kecil, geospasial pertanian, dan manajemen pertanian. Beberapa indikator SDGs pertanian Indonesia hingga kini belum terpenuhi secara komprehensif, seperti indikator proporsi lahan pertanian di bawah kriteria lahan produktif dan berkelanjutan, proporsi penduduk dengan kepemilikan atas lahan pertanian, serta volume produksi per unit tenaga kerja untuk petani skala kecil.

Dengan cakupan itu, kita berharap kebutuhan satu data pertanian bisa dipenuhi, meskipun baru sebagian. Setidaknya ini dapat menjawab janji Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang menargetkan masalah data pertanian selesai dalam 100 hari pertama ia bertugas, yang hingga kini belum terwujud.

Data pertanian berulang kali memantik perdebatan. Perdebatan itu tidak hanya antara pemerintah dan masyarakat, tapi juga, ironisnya, justru terjadi di antara kementerian dan lembaga.

Debat dalam perumusan kebijakan publik tentu sehat. Masalahnya, jika debat berpangkal dari data kementerian atau lembaga yang berbeda, tentu jadinya kontraproduktif. Lebih-lebih debat yang semestinya senyap di ruang-ruang rapat itu justru berpindah ke ruang publik dan jadi tontonan rakyat yang tidak elok. Tidak terhitung berapa energi, tenaga, dan biaya yang terbuang sia-sia akibat debat data yang tak produktif.

Sengkarut data itu menyangkut komoditas yang surplus, seperti beras, jagung, sawit, ayam broiler, telur ayam, cabai, dan bawang merah; serta yang minus, seperti kedelai, gula, garam, daging sapi, bawang putih, dan komoditas lainnya. Bayangkan, jika sesama lembaga negara bersilang pendapat tentang data resmi pemerintah, bagaimana kualitas kebijakan yang akan dihasilkan?

Silang sengkarut data semacam ini bukan hal baru. Sudah begitu lama kita abai dan ceroboh dengan angka-angka. Produksi beras, misalnya, sebelum BPS menggunakan metode kerangka sampel area (KSA), setiap tahun jumlah produksi dilaporkan naik. Tapi klaim surplus itu selalu menyisakan persoalan karena, selain volume surplus amat besar, tiap tahun kita ternyata mengimpor beras. Wajar jika impor selalu menimbulkan resistansi, kontroversi, dan penentangan karena basis data sebagai batu pijakan impor tidak kukuh. Setelah metode KSA digunakan sejak 2018, silang pendapat soal data padi tak terjadi lagi.

Sayangnya, metode KSA baru dimanfaatkan untuk menghitung padi. Sementara itu, untuk jagung, garam, dan gula, misalnya, belum disentuh. Padahal kebutuhan satu data di luar padi pun mendesak. Dalam Undang-Undang Statistik, dikenal tiga jenis statistik. Pertama, statistik dasar, yakni statistik yang pemanfaatannya untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, yang memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional, dan makro. Tanggung jawab data ini ada pada BPS.

Kedua, statistik sektoral, yakni statistik yang pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan instansi tertentu untuk tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan. Ini dikumpulkan instansi bersangkutan. Ketiga, statistik khusus, yakni statistik yang pemanfaatannya untuk memenuhi kebutuhan spesifik dunia usaha, pendidikan, sosial-budaya, dan kepentingan masyarakat lain. Ini dikumpulkan oleh lembaga, organisasi, perorangan, atau unsur masyarakat lain.

Data padi/beras sejatinya tergolong statistik sektoral. Namun, karena sifatnya strategis, tanggung jawab penyelenggaraan sepenuhnya di tangan BPS. Demikian pula komoditas strategis lain, seperti jagung, gula, dan garam. Kementerian teknis tentu tetap terbuka untuk terlibat. Namun, untuk menghindari konflik kepentingan, keterlibatan itu sebaiknya sebatas membantu. Konsekuensinya, BPS harus diperkuat, baik pada sumber daya manusia, anggaran, maupun independensinya. Ini harga yang mesti ditebus guna menghasilkan data yang baik. Revisi Undang-Undang Statistik yang tengah berjalan harus mengadopsi hal ini.

Data hanyalah deretan angka. Data hanya alat. Masalahnya, jika data itu bias karena dikumpulkan lewat cara-cara yang tidak tepercaya (reliable), lalu dijadikan batu pijakan kebijakan, hasilnya tidak hanya menyesatkan, tapi juga menyengsarakan rakyat. Petani cengkih pernah dibuat sengsara karena hal ini. Pada 1980-an, data produksi cengkih jauh di bawah kebutuhan konsumsi (rokok kretek, obat-obatan, dan bahan makanan), maka pemerintah membuat program peningkatan tanaman cengkih baru sebesar 25 persen per tahun. Hasilnya, cengkih mengalami kelebihan produksi. Setelah diteliti, ternyata data konsumsi cengkih untuk rokok yang jadi pijakan kebijakan itu telah digelembungkan. Kasus semacam ini tak boleh terulang.

Data adalah pangkal semua kebijakan publik di mana pun di dunia, termasuk Indonesia. Perbaikan metodologi pengumpulan data yang kedaluwarsa menjadi sesuatu yang niscaya. Pemerintah jangan enggan mengadopsi temuan, inovasi, dan hasil penelitian baru yang diperoleh dari proses panjang dengan metodologi ketat dan teruji secara akademis. Keengganan mengubah metode pengumpulan data sama artinya membiarkan kesalahan data berulang. Jika kemudian data yang salah itu menimbulkan sengkarut atau dimanfaatkan berbagai pihak untuk meraih untung, itu menjadi konsekuensi logis yang pasti. Sensus Pertanian 2023 harus menjadi momentum untuk mewujudkan satu data pertanian.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak, foto profil, dan CV ringkas.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Khudori

Khudori

Pegiat Komite Pendayagunaan Pertanian dan penulis buku Bulog dan Politik Perberasan

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus