Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Serbuan 'Kerah Biru' Dari Cina

31 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MARAKNYA pekerja kasar dari luar negeri di sejumlah proyek yang mereka kerjakan sungguh merupakan ironi. Dengan jumlah penganggur di Tanah Air sekitar 7 juta orang-sebagian besar berkualifikasi pekerja "kerah biru" atau buruh tanpa keahlian-pekerja asing itu jelas telah merebut kesempatan bagi pekerja lokal di level yang sama. Semestinya pemerintah tak membiarkan hal ini.

Celakanya, jumlah pekerja asing itu pun meningkat. Mereka sibuk bekerja di proyek-proyek yang pendanaannya diperoleh dari Cina. Berapa angka persisnya memang masih simpang-siur, sekurang-kurangnya ada 5.000 orang. Tapi kesan yang timbul dan disebarkan, seolah-olah ada eksodus atau "serbuan", bahkan terjadi "migrasi bedol desa", dari Negeri Panda.

Sejauh ini, mereka diketahui berada di Lebak (Banten), Buleleng (Bali), dan Manokwari (Papua). Di Buleleng, misalnya, mereka merupakan pekerja yang mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang. Menurut pemberitaan, saat acara peresmian proyek itu, mereka tampak dominan di antara hadirin. Tak seorang pun dari mereka paham isi pidato pejabat Indonesia, yang berbicara di panggung dengan hiasan geber bertulisan aksara Cungkuo.

Kebanyakan dari pekerja itu datang sebagai kelengkapan "paket" proyek yang pendanaan dan pengerjaannya dipercayakan kepada Cina. Sebagian proyek ini berupa pembangunan pembangkit listrik. Menurut Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, para pekerja asing itu dibawa dengan izin yang sangat selektif. Batas waktunya paling lama enam bulan, bergantung pada model proyeknya.

Dalih Menteri Hanif mudah ditepis. Di kertas, tampaknya jumlah mereka bisa dikendalikan, tapi prakteknya besar kemungkinan jumlah pekerja asing bakal berlebih. Hal ini sulit dihindarkan karena kemudahan bagi mereka untuk masuk ke negeri ini malah ditambah. Presiden Joko Widodo, misalnya, belum lama ini meminta penghapusan kewajiban bisa berbahasa Indonesia bagi mereka. Kehendak ini segera diikuti dengan penerbitan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 16 Tahun 2015.

Bisa dimaklumi bila pemerintah ingin hambatan terhadap masuknya investasi asing diminimalkan. Kebijakan ini sengaja ditempuh agar perekonomian domestik-yang cenderung lamban dalam empat tahun terakhir-bisa bergerak normal sehingga memacu pertumbuhan. Tapi penghapusan kewajiban berbahasa Indonesia bagi pekerja asing, apalagi kemudahan perizinan bagi masuknya pekerja rendahan, justru mengisyaratkan keputusasaan.

Tak ada negara di dunia ini yang sengaja membuka lebar pintu bagi pekerja asing rendahan, kecuali memang sedang kekurangan. Kebijakan membuka keran masuknya buruh asing yang sangat dibutuhkan itu berlaku di sejumlah negara yang selama ini menjadi tujuan tenaga kerja Indonesia, umpamanya Malaysia. Arab Saudi juga kekurangan-bahkan tak ada masyarakatnya yang menjadi-buruh kasar, misalnya pembersih Masjidil Haram dan Nabawi, sehingga dibukalah keran masuknya tenaga dari Indonesia dan Bangladesh.

Pembatasan bagi masuknya tenaga rendahan dari luar negeri ini perlu disegerakan. Selain demi memastikan adanya kesempatan bagi pekerja lokal, hal ini untuk menghindari kecemburuan sosial. Dalam keadaan ekonomi serba sulit kini, masuknya para pekerja asing yang begitu masif sangat berpotensi meletupkan konflik rasial. Trauma akibat konflik semacam itu belum sepenuhnya hilang di sini. Kondisi psikologis akibat kerusakan "psikis" dalam kehidupan masyarakat ini sewaktu-waktu bisa timbul kembali, mengingat potensi konflik yang menjadi penyebabnya masih diam-diam bercokol.

Pekerja dari Cina yang jumlahnya terus bertambah bisa "membangunkan gunung api yang sedang tidur". Karena itulah, sebelum terlambat, sebaiknya pemerintah membatalkan kebijakan barunya itu. Dibandingkan dengan keuntungan yang bisa diraih dari proyek yang pengerjaannya melibatkan pekerja asing, lebih bermaslahat jika pemerintah membatasi masuknya para pekerja itu. Apa mau dikata, pemerintah memang harus merundingkan hal ini dengan investor atau negara kreditor.

Kalaupun pemerintah menemukan jalan buntu, sehingga mustahil menganulir kebijakannya, "impor" pekerja asing itu dibatasi saja: hanya boleh untuk proyek di daerah yang kebutuhan akan pekerja lokalnya tak bisa dipenuhi di tempat. Kementerian teknis yang sebetulnya merupakan pintu utama boleh-tidaknya pekerja asing masuk mesti lebih sensitif dan sungguh-sungguh memperketat seleksi. Imigrasi juga tak boleh sembarangan mengeluarkan dokumen.

Kecuali pemerintah memang tak peduli ironi bahwa pekerja lokal malah seperti orang asing di negeri sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus