Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adnan Topan Husodo
Koordinator ICW
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hari-hari ini pembicaraan mengenai pemberantasan korupsi lebih banyak didominasi wacana pencegahan korupsi. Tak sedikit yang menyuarakan harapan itu, mulai dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat, eksekutif, pengamat, hingga akademikus, termasuk presiden. Namun apa yang dimaksud pencegahan korupsi itu sendiri masih kurang jelas. Apalagi jika hal itu hanya untuk mempertentangkannya dengan penegakan hukum atas korupsi. Padahal, secara teoretis, kedua hal itu bukanlah sesuatu yang bisa dipertentangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara umum, pemberantasan korupsi selalu bertumpu pada empat strategi utama, yakni pendidikan antikorupsi, penindakan, pengawasan, dan pencegahan. Pendidikan antikorupsi mengupayakan agenda sistematis dalam membangun kesadaran sosial atas bahaya korupsi bagi masyarakat dan secara perlahan-lahan membangun budaya yang tidak menenggang perilaku koruptif dan perbuatan korupsi.
Penindakan korupsi terkonsentrasi pada upaya dan tindakan hukum atas perbuatan korupsi yang sedang dan telah terjadi serta menyeret pelakunya ke pengadilan untuk mendapatkan sanksi, baik sanksi finansial maupun sanksi badan (penjara). Ini termasuk operasi tangkap tangan (OTT) ataupun penetapan seseorang sebagai tersangka. Karena lebih terukur dan secara pemberitaan paling menarik, wacana publik lebih banyak disetir oleh pemberantasan korupsi dalam makna penindakan.
Pengawasan-sesuatu yang jarang disinggung dalam wacana pemberantasan korupsi di Indonesia-adalah upaya membangun sistem deteksi dini atas potensi maupun peluang korupsi. Ini dilakukan dengan berbagai strategi, seperti menerapkan whistle-blowing system (WBS), operasi senyap untuk melihat celah penyimpangan dalam implementasi kebijakan publik, dan memaksimalkan peran pengawas dalam organisasi pemerintah.
Adapun pencegahan adalah strategi untuk menilai, mengevaluasi, dan memperbaiki secara terus-menerus celah dari sistem, prosedur, dan regulasi dalam birokrasi yang membuka peluang bagi korupsi.
Keempat strategi itu tidak bisa dipertentangkan satu sama lain dan mengandaikan kendali utuh pada tingkat kekuasaan tertinggi sehingga dapat memberikan dampak jangka pendek bagi masyarakat. Pada kasus Indonesia, yang peran dan tugas pemberantasan korupsinya tersebar di berbagai unit dan lembaga, penting untuk meletakkan strategi yang disepakati bersama dan memberi kesempatan bagi setiap lembaga untuk melakukan pekerjaannya secara efektif.
Celakanya, keempat strategi besar itu belum berjalan paralel, bahkan terkesan sangat pincang. Sementara itu, DPR dan pemerintah lebih banyak menyudutkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga yang dianggap gemar melakukan penindakan korupsi dan melupakan agenda pencegahan korupsi. Puncaknya adalah ketika Presiden dan DPR menyepakati revisi Undang-Undang KPK yang berujung pada "matinya" fungsi penindakan di KPK.
Pernyataan bahwa KPK lebih memprioritaskan penindakan korupsi daripada strategi pemberantasan korupsi sebenarnya sangat menyesatkan. Kerja-kerja pencegahan dan penindakan korupsi tersebar di berbagai lembaga. KPK tidak mungkin melakukan keempat hal itu sekaligus seorang diri, meskipun diberi kewenangan untuk melakukannya secara bersamaan.
Mengapa demikian? KPK adalah badan antikorupsi yang hanya mampu mengikat setiap individu dari sisi penegakan hukumnya, yang secara inheren memiliki unsur memaksa. Misalnya, dalam operasi tangkap tangan, baik penerima suap maupun pemberi suap tak dapat menolak ketika ditangkap KPK. Inilah unsur memaksa dalam kerja penegakan hukum.
Sementara itu, dalam konteks pendidikan antikorupsi serta pencegahan dan pengawasan korupsi, karakteristiknya sangat berbeda. Pendidikan antikorupsi merupakan agenda yang dapat dijalankan semua pihak, termasuk organisasi nonpemerintah atau badan swasta sekalipun. KPK bisa mengidentifikasi dan memberikan berbagai stimulus, termasuk perangkat pendidikan antikorupsi yang dibutuhkan mereka yang ingin terlibat dalam pendidikan antikorupsi. Namun, tanpa kontribusi apa pun dari KPK, agenda pendidikan antikorupsi bisa dijalankan oleh pihak lain, termasuk oleh organisasi nonpemerintah.
Persoalannya, mengukur capaian dari pendidikan antikorupsi membutuhkan cara yang tepat, dan hasilnya baru dapat dilihat dalam jangka menengah dan panjang. Survei nasional bisa dilakukan secara berkala dan konsisten untuk melihat perkembangan pemikiran dan sikap publik terhadap korupsi.
Adapun upaya pengawasan dan pencegahan korupsi lebih banyak dipengaruhi oleh respons negara atas berbagai rekomendasi reformasi kelembagaan. Hal ini karena sifat dari rekomendasi dan resep anti-korupsi KPK kepada badan publik lain tidak bersifat memaksa dan mengikat. Ketika berbagai badan publik yang "sakit" tidak dipaksa melakukan perubahan oleh atasannya, pemberantasan korupsi tidak akan efektif. Di sini peran kepemimpinan presiden menjadi sangat sentral. Maka, presiden perlu memiliki gambaran yang lebih konkret bagaimana mengelola dan mengefektifkan strategi pemberantasan korupsi yang menjadi bagian dari wewenang melekatnya tanpa harus menyalahkan KPK. Kegagalan pemberantasan korupsi oleh KPK sejatinya mencerminkan kegagalan pemberantasan korupsi oleh negara.