Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Siapa menanggung kerugian

Berdasarkan pasal 1365 kuh perdata, pt jasa marga yang bertanggung jawab dan harus membayar ganti rugi dalam musibah jalan tol jakarta-tangerang. soenarto, s. mengimbau harus diselesaikan secara musyawarah.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 5 Agustus 1987 terjadi musibah di jalan tol Jakarta-Tangerang. Musibah itu melibat tak kurang dari 24 kendaraan yang bertabrakan, sehingga seorang meninggal dunia dan 22 cedera. Timbul kini persoalan siapakah yang harus dipertanggungjawabkan (verantwoordelijk), dan siapakah pula yang harus menanggung (aansprakelijk) kerugian yang timbul akibat peristiwa itu. Guru Besar Sosiologi Hukum UI, Soerjono Soekanto, berkata, "Jasa Marga sebagai pengelola yang bertanggung jawab." (TEMPO, 22 Agustus, Hukum). Dalam pada itu, Menteri Pekerjaan Umum Sujono Sosrodarsono berdalih, "Sulit bagi Jasa Marga memberikan ganti rugi. Karena belum ada landasan hukumnya. Belum ada undang-undang tentang jalan yang mengatur upaya santunan ganti rugi." Sedangkan Humas PT Jasa Marga pada dasarnya mengakui bahwa PT itu bertanggung jawab. Tetapi sang Humas pun masih berucap, "Buktikan dulu duduk persoalannya dan kesalahannya." Sudah menjadi pengetahuan umum atau notoir feit bahwa kecelakaan terjadi sebagai akibat asap tebal yang timbul karena kebakaran rumput ilalang di sekitar jalan tol tersebut. Mengenai hal ini, ada kesepakatan antara semua pihak, yakni pengelola jalan tol, para korban, dan khalayak ramai, termasuk Menteri Pekerjaan Umum, yang dalam hal ini mewakili pemerintah. Saya pernah membaca dalam salah satu surat kabar ucapan Direktur Utama PT Jasa Marga i.c. Ir. Yuwono Kolopaking bahwa PT Jasa Marga pada prinsipnya bersedia membayar ganti rugi kepada para korban. Tetapi hal itu harus berdasarkan putusan pengadilan yang akan dipakai sebagai landasan hukum pembayaran ganti rugi tersebut. Dalam hubungan ini memang, pasal 19 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1981 tentang jalan menyebutkan, "Pihak pengelola wajib membayar ganti rugi akibat kesalahan dalam penyelenggaraan jalan tol." Masalah: Siapakah yang bertanggung jawab. Dalam ilmu hukum dikenal istilah onrechtmatige daad (perbuatan melawan hukum) dan dalam pasal 1365 KUH Perdata dinyatakan, "Setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerusakan pada orang lain mewajibkan pihak yang karena kesalahannya menimbulkan kerusakan itu untuk membayar ganti rugi." Sedangkan makna melawan hukum menurut definisi Hoe Raad, yang juga dianut Mahkamah Agung, adalah: 1. Jika melanggar hak orang lain atau 2. Jika bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku atau 3. Bertentangan dengan moral yang baik atau 4. Bertentangan dengan sikap hati-hati yang diwajibkan dalam pergaulan masyarakat terhadap orang lain atau suatu barang. Memperhatikan definisi (rumusan) tentang perbuatan melawan hukum di atas, jelaslah bahwa dalam kasus kecelakaan di jalan tol, pihak PT Jasa Marga dapat dipersalahkan melakukan perbuatan melawan hukum (verantwoordelijk). Dan berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata dan pasal 19 UU Nomor 13/1981 wajib membayar ganti rugi (aansprakelijk). Dengan demikian, saya tidak sependapat dengan pemerintah c.q. Menteri Pekerjaan Umum yang menyatakan, karena belum ada undang-undang tentang jalan yang mengatur upaya santunan ganti rugi, maka tidak dapat diberikan ganti rugi. Pendapat Menteri mungkin benar apabira yang dituntut pembayaran ganti rugi adalah pemerintah. Tetapi dalam kasus ini jelas bahwa yang bertanggung jawab adalah PT Jasa Marga sebagai badan hukum privat. Masalah: Siapakah yang harus menanggung rugi. Penduduk yang membakar rumput ilalang, selain menurut hukum tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban, juga tidak dapat dituntut turut membayar kerugian kepada para korban. Sehingga, tidak ada pihak lain kecuali PT Jasa Marga yang bertanggung jawab dan sekaligus menanggung kerugian yang diderita para korban. Para penduduk tak dapat dipersalahkan karena dengan pengetahuan mereka yang sangat rendah, mereka tidak mungkin dapat memperhitungkan bahwa asap yang timbul karena pembakaran itu dapat menghalang-halangi pandangan mata para pengendara mobil di jalan tol. Kerugian yang dapat dituntut para korban bisa meliputi: 1. Kerugian terhadap harta benda (mobil dan lain-lain) 2. Kerugian terhadap badan (cacat, ajal, dan lain-lain). Penaksiran kerugian terhadap harta benda, yakni kerusakan terhadap kendaraan pada umumnya dapat dilakukan dengan mudah, bilamana perlu dengan bantuan seorang penaksir atau appraisal. Yang lebih sulit adalah penaksiran kerugian yang timbul pada badan si korban, misalnya ia menjadi cacat mata seumur hidup. Masalah: Penyelesaian pembayaran ganti rugi. Direktur Utama PT Jasa Marga berpendapat bahwa agar pembayaran ganti rugi bagi PT Jasa Marga mempunyai dasar hukum kuat haruslah berdasarkan putusan pengadilan. Sudah tentu dengan pengertian bahwa putusan pengadilan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti (in kracht van gewijsde). Meskipun PT Jasa Marga pada prinsipnya bersedia membayar ganti rugi, belum berarti bahwa PT itu akan setuju dengan besarnya ganti rugi yang dituntut atau diputus oleh Pengadilan Negeri. Kalau itu terjadi pada PT Jasa Marga, PT itu berhak naik banding, dan selanjutnya naik kasasi sambil menunggu putusan Mahkamah Agung RI. Akibatnya, kasus pembayaran ganti rugi baru akan selesai secara final setelah paling sedikit proses di Pengadilan Negeri berjalan selama tiga tahun. Itu jelas sangat merugikan para korban. Belum lagi dipersoalkan honorarium yang harus dibayar para korban kepada kuasa-kuasa hukum mereka, yang menurut hukum tidak dapat dituntut dari PT Jasa Marga. Suatu sengketa tidaklah mutlak perlu diselesaikan melalui proses di pengadilan, tetapi dapat saja diselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Dalam hukum perdata, hal seperti itu lazim disebut "melalui dading (perdamaian). Karena itu, saya mengimbau pihak-pihak yang terlibat, yakni para korban dan PT Jasa Marga, agar dapat mengadakan negosiasi agar masalah pembayaran ganti rugi itu bisa diselesaikan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat, sesuai dengan jiwa Pancasila. SOENARTO SOERODIBROTO, S.H. Petojo Melintang 27 Jakarta Pusat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus