Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bang Prapto, Lha 'Kan Susah...

Gubernur Soeprapto tak tercantum dalam daftar calon Gubernur DKI 87-92. Penggantinya hampir pasti Wiyogo atmodarminto. Wawancara Tempo dengan Soeprapto tentang antara lain kerangka landasan pembangunan.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH terus, apakah berhenti saya tak kehilangan apa-apa karena konsep sudah saya gariskan," kata Gubernur DKI R. Soeprapto, 55 tahun, bulan lalu kepada Toriq Hadad dari TEMPO. Soeprapto tidak terus, ternyata. Meski masa jabatannya baru berakhir Oktober mendatang, namanya tak tercantum dalam daftar bakal calon Gubernur DKI 1987-1992 yang dikirimkan DPRD DKI Jakarta kepada Presiden melalui Mendagri, Senin pekan ini. Sebetulnya Soeprapto masih diizinkan peraturan memangku jabatan itu untuk lima tahun lagi. Tapi dalam sidang paripurna DPRD DKI Senin pekan ini, terlihat bagaimana DPRD menilai Soeprapto. Ada sederet kritik. Misalnya pencapaian PBB hanya 53% dari target yang Rp 36 milyar. Pajak reklame hanya menghasilkan Rp 1 milyar dari target Rp 1,5 milyar. FKP misalnya tak puas atas hasil setoran berbagai perusahaan daerah. PT Pembangunan Jaya dan anak-anak perusahaannya, misalnya, ditargetkan menyetor Rp 500 juta. "Angka itu terlalu kecil, dan mengapa pula realisasinya hanya Rp 400 juta," kata juru bicara FKP dr. Ace Mulyadi. Kritik ini tak didengar langsung Soeprapto karena dia tak hadir dan hanya diwakili Sekwilda H.R. Rochmat. Calon kuat pengganti Soeprapto adalah Wiyogo Atmodarminto, 62 tahun, bekas Dubes RI di Jepang yang digantikan oleh Yogi Supardi. Namanya secara resmi dicalonkan DPRD DKI bersama dua pendamping Drs. M.H. Kaharuddin, anggota Kadin Jaya, dan Kolonel (pur.) Sujud, eksponen Angkatan 45 DKI. "Ketiga bakal calon tersebut sudah direstui oleh Mendagri," kata Suparno Wiryosubroto, Ketua DPRD DKI, kepada wartawan. Menurut jadwal, DPRD DKI Jaya akan mengadakan sidang paripurna pada 23 September yang akan datang untuk memilih ketiga bakal calon itu. Hasil pemilihan akan diserahkan kepada Presiden, dan gubernur terpilih -- menurut rencana -- dilantik 6 Oktober 1987. Sebelumnya banyak nama yang beredar. Selain Wiyogo masih ada Himawan Sutanto Dubes di Malaysia, malah Soeprpto sendiri masih disebut-sebut dalam daftar Aominasi. Di tengah suasana seperti itu, tiba-tiba Kamis malam 27 Agustus, Soeprapto menemui Presiden Soeharto di kediamannya. Kepada wartawan Soeprapto mengatakan bahwa jabatan gubernur tak disinggung dalam pertemuan. "Soal jabatan merupakan wewenang beliau," katanya. Tapi sempat ada yang menafsirkan pertemuan itu sebagai pertanda Soeprapto akan terpilih lagi. Ternyata, tidak. Menurut Suparno, apabila ada daerah yang meminta bakal calon dari anggota ABRI dan Pangab menganggap perlu mengisi lowongan tersebut, yang direstui Pangab hanya seorang. "Dan untuk masa bakti 1987-1992 restu Pangab jatuh ke Letjen Purnawirawan Wiyogo Atmodarminto," kata Suparno menegaskan. Konon, Soeprapto sendiri masih berusaha agar dicalonkan -- sekalipun bersama Wiyogo -- tapi fraksi ABRI keberatan karena berarti "mengadu dua perwira tinggi ABRI dalam satu arena". Dalam wawancara dengan TEMPO Soeprapto mengungkapkan berbagai kesan. Ringkasannya: Selama masa jabatan saya, sudah tersusun kerangka landasan untuk Jakarta masa mendatang dengan bermacam peraturan daerah (perda). Rencana pembangunan Jakarta jangka panjang didasarkan Perda no. 4/1984, rencana umum tata ruang sampai tahun 2005 Perda no. 5/1985, dan masih ada rencana bagian wilayah kota (RBWK). Jadi, saya sudah meletakkan kerangka landasan. Itu penting untuk memudahkan siapa pun nanti yang jadi gubernur. Pembangunan real estate dan BTN, misalnya, semua mengikuti RBWK. Malah, untuk masyarakat yang tidak mampu, disediakan rumah susun sewa yang dibangun melalui anggaran Pemda DKI. Si penghuni hanya menyewa dengan biaya serendah mungkin. Dengan demikian, daerah padat dan kumuh dapat dikurangi. Kemudian sedang dipersiapkan Perda yang mengatur lingkungan. Nantinya rumput, trotoar, dan selokan di depan rumah-rumah jadi tanggung jawab pemilik rumah. Inilah apa yang sudah saya kerjakan: segi ideologi sudah ada P4, segi politis lihat saja hasil pemilu kemarin di Jakarta, dari segi ekonomi saya kira cukup banyak yang sudah saya lakukan. Banyak yang dikejutkan oleh pengunjung Pekan Raya Jakarta tahun ini yang sampai dua juta tujuh ratus ribu lebih. Di atas perkiraan semula. Transaksi sampai sekian puluh juta dolar. Stabilitas mantap, tak ada tindak kriminal selama PRJ, kecuali copet. Soal becak, dari dulu itu tak ada landasan hukumnya. Sudah jelas tinggal pilih: mau kota semrawut atau tertib. Saya pilih kota yang tertib. Terpaksa diambil tindakan. Sektor informal memang lapangan kerja yang jelas. Kami sudah membinanya dengan membuatkan lokasi untuk pedagang kaki lima. Tahun lalu saja Pemda DKI sampai keluar dana Rp 5 milyar. Karena itu, saya katakan Pak Domo itu pahlawan kesiangan. Tapi karena mengejar pembeli, kios yang kita bikin mereka tinggalkan. Maka, kalau ada yang bilang kaki lima itu jangan digusur, ia pahlawan kesiangan. Kalau mau menanggapi sesuatu, tanya dulu problemnya jangan hanya dilihat gebyar-nya. Wah, becak kok diceburkan ke laut, sektor informal kok digusur. .... Mestinya yang kita bicarakan bagaimana memecahkan masalah Jakarta. Peristiwa Tanjungpriok terjadi ketika saya baru jadi gubernur. Sebetulnya saya sudah tahu polanya sebelum duduk di sini, ketika masih menjabat Sekjen Depdagri. Kerawanan itu harus diusahakan supaya tidak rawan. Orang bergerak 'kan karena pendakwahnya membakar. Itu tergantung program sebelumnya, saya 'kan baru masuk kemari ketika itu. Lha iya to? (tertawa).... Saya pernah menyuruh seniman di Ancol membuat patung kodok hijau dengan pakaian tentara berpangkat sersan. Kodok hijau 'kan bisa hidup di mana saja. Artinya, dengan atas, bawah, kiri, kanan bisa baik. Sersan itu? Serius tapi santai. Saya juga mengagumi Semar. Tokoh pewayangan itu pembawaannya tenang, punya pendirian. Saya sebetulnya tak merasa perlu menonjol. Tapi saya mengerjakan tugas sebaiknya. Kalau Ali Sadikin dulu menonjol, saya kira karena kebetulan namanya gampang disebut: Bang Ali. Kalau saya disebut Bang Prapto, lha 'kan susah memanggilnya. Ha... ha ... ha ....(tertawa).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus