Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kisah Pohon Nomor 110

Pohon sawo kecik manila yang berumur 200 tahun dipindahkan dari hutan Banyuwangi Selatan ke TMII. perpindahan pohon tersebut punya cerita panjang. 3 orang meninggal, tiang derek patah.

12 September 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BATANG kayu sawo kecik itu seakan -- tak istimewa: terbujur di atas tanah dikelilingi ilalang. Padahal, ukurannya mengesankan: panjang sekitar 14 meter, diameter batang 152 cm dan akarnya bergaris tengah sekitar 6 meter. Kisut kulitnya menunjukkan kemaannya. Tapi melihat "rumahnya": atap seng dan pagar kawat bisa dipastikan batang itu bukan kayu biasa. Kayu yang kini disimpan di sebuah bangunan sementara, beberapa ratus meter sebelum pintu gerbang Utama Taman Mini Indonesia Indah, ini memang bukan sembarang kayu. Setahun yang lalu ia dikenal oleh hanya beberapa orang sebagai pohon nomor 110. Soalnya, waktu itu ia masih berupa pohon hidup dalam Taman Nasional Baluran di Banyuwangi, Jawa Timur, yang dikenal sebagai hutan Purwo. Kisah dan perjalanan ratusan kilometernya hingga tiba di TMII memang cerita panjang. Alkisah, belasan tahun silam Gubernur Ja-Tim semasa itu, Almarhum Soenandar Prijosoedarmo, pernah menjanjikan untuk memberi hadiah pada TMII berupa pohon sonokeling dari daerah Banyuwangi. Tapi, entah mengapa, hingga Soenandar diganti dan kemudian meninggal, janji itu belum terlaksana. Menurut Kepala Humas Pemda Banyuwangi Hamawi Adnan, suatu kali Bupati Banyuwangi S. Djoko Wasito bertemu dengan Ny. Tien Soeharto. Ibu Negara menanyakan soal pohon sonokeling yang pernah dijanjikan untuk melengkapi koleksi TMII. Oleh Djoko dijelaskan, di Banyuwangi tak ada pohon sonokeling. Yang ada adalah pohon sawo kecik manila (manilkara Kauki). Rupanya, Ny.Tien tertarik pada sawo kecik ini. Djoko, kata Hamawi, kemudian melaporkan hal itu pada Gubernur Ja-Tim Wahono. Oleh Gubernur ia diperintahkan mengadakan pengecekan populasi sawo kecik. Akhirnya disetujui bahwa pohon sawo kecik manila di hutan Banyuwangi selatan yang dipilih untuk dikirim ke TMII. "Sebagai persembahan masyarakat Jawa Timur, sekaligus sebagai kebanggaan bagi masyarakat Banyuwangi," kata Bupati Djoko Wasito. Karena lokasi pohon sawo kecik itu ada di kawasan hutan suaka Taman Nasional Baluran Djoko pada 15 November 1986 mengajukan permintaan izin pada Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) untuk menebang sebatang pohon sawo kecik. Dua pekan kemudian izin diberikan. Pencarian pun segera dilakukan. Pada 8 Desember, pilihan ditentukan: sebatang sawo kecik yang mulus, batangnya berdiameter 152 cm, tinggi 5 meter dengan ketinggian bebas dahan sekitar 15 meter. Usianya diperkirakan lebih dari 200 tahun. "Pohon itu bukan yang tertua atau terbesar. Ia dipilih karena tumbuh sekitar 60 meter dari Laut Selatan, mengingat pengangkutannya nanti akan melewati laut," ujar Tatang Mulyana koordinator Rayon Taman Nasional Banyuwangi Selatan. "Jadi tak ada pertimbangan -mistik," tambahnya. Namun, karena daerah hutan Purwo ini dikenal angker, sebelum penebangan dilakukan "konsultasi" lebih dulu dengan "seorang tua" setempat. Ia adalah Bumilogo, seorang wanita dari Desa Kendalrejo, Tegaldelimo, sekitar 2 km dari lokasi pohon nomor 110 itu. Lalu Bumilogo, 60 ahun bersemadi. Dalam semadinya ia mengaku mendapat wangsit: pohon pilihan itu oleh Eyang Resi Suryoseto -- konon yang mbaurekso (menguasai) hutan Purwo -- diizinkan untuk ditebang. "Eyang Resi mengatakan, sawo kecik itu boleh ditebang karena sudah waktunya untuk pindah dari hutan Purwo. Pohon itu akan banyak membawa berkah," kata Bumilogo. Agar penebangan berjalan mulus, diadaakan selamatan. Sesajinya, kata Bumilogo, berupa barang hidup: antara lain ayam dan bebek. "Kalau sesajinya dibunuh, bisa akan banyak korban" katanya. Pertengahan Desember penebangan dimulai. Karena akar pohon harus tercabut utuh pembongkaran dilakukan dengan hati-hati. Secara bergilir, sejumlah penduduk dari tujuh desa di Kecamatan Tegaldelimo ditambah sukarelawan dari Dinas Pekerjaan Umum Daerah Banyuwangi -- dikerahkan. Penggalian pohon seberat 40 ton itu mula-mula dilakukan dengan menggunakan sekop dan pacul. Ketika tiba di lapisan pasir, dipakai piring agar akar tidak rusak. Semula diharapkan pohon itu tumbang ke arah laut karena di situ sudah disediakan katrol untuk mengangkutnya ke tepi laut. Celakanya, suatu malam sekitar pertengahan Februari, hujan deras turun dan menumbangkan pohon raksasa itu ke arah yang berlawanan Dengan susah payah pohon diseret ke pantai. Karena ada karang di situ, kapal pengangkut tidak bisa parkir di pantai. Terpaksa pohon yang telah dipotong dahan-dahannya itu diangkut 800 meter ke arak selatan, ke Batulawang. Itu bukan pekerjaan gampang. Perlu dibangun rel sepanjang jarak 800 meter itu, lalu pohon diletakkan di semacam kereta. Begitupun diperlukan waktu dua bulan untuk mendorong sang pohon. Seorang pekerja tewas tercebur di laut tatkala berusaha menyelamatkan balok rel. Menurut Hamzawi Adnan, pekerja itu tewas karena mandi di laut, meski sudah diperingatkan karena laut di situ ganas. Seperti biasa, kemudian beredarlah desas-desus bahwa korban tersebut adalah "tumbal" yang diminta Nyai Roro Kidul, penguasa Lautan Selatan. Apalagi setelah kemudian dua di antara penduduk yang ikut menebang juga meninggal. Untuk menaikkan pohon ke kapal Hang Tuah II juga bukan hal yang gampang. Sebuah derek berkekuatan 25 ton patah tiangnya ketika mencoba mengangkat pohon. Terpaksalah dipinjam dua derek berkekuatan 40 dan 50 ton dari Surabaya. Syukur pada 28 Juni 1987 pohon bisa diangkat ke kapal yang segera berlayar ke Tanjungpriok. Pada 17 Juli silam, sampailah sang pohon sawo kecik itu ke TMII. Kabarnya, pohon ini akan ditempatkan di Museum Purna Bhakti Pertiwi yang akan dibangun di TMII. Sejumlah penduduk yang tinggal di sekitar pohon itu menuturkan, terkadang terlihat sinar kuning atau hijau kebiru-biruan muncul dari batang pohon itu. Tercium juga bau wangi. Menurut DirJen PHPA Rubini, pohon itu nantinya akan ditanam terbalik dengan akar-akarnya di atas. Untuk menonjolkan segi artistiknya, badan pohon itu kemudian akan diukir oleh para pemahat dari Bali. "Dengan begitu, generasi muda nantinya bisa tahu bentuk pohon sawo kecik alam itu, tidak hanya melihat dari buku," katanya. Susanto Pudjomartono Laporan Budiono Darsono (Surabaya), Linda Djalil & Diah Purnomowati (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus