Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masih banyak pihak yang menyangsikan peran lembaga penyiaran komunitas (LPK), padahal prestasi dan reputasi mereka tak kalah penting dibanding media arus utama. Sayangnya, bahkan para pembuat regulasi penyiaran pun tak menganggap penting peran mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LPK tak dihargai dan tak diberi ruang yang lebih luas untuk berkreasi dalam Rancangan Undang-Undang Penyiaran. Sebaliknya, RUU Penyiaran malah menyodorkan konsep lembaga penyiaran lain yang justru sangat ambigu, yaitu Lembaga Penyiaran Khusus, yang nantinya akan menampung siaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara dan partai politik. Ini salah kaprah karena lembaga tersebut seolah-olah mengamini bahwa penyiaran bisa dikuasai oleh politikus, yang notabene juga adalah pemilik media, dan, konsekuensinya, penyiaran pun dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan politik pemiliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita justru berharap LPK akan makin tumbuh karena ia menawarkan keragaman bagi masyarakat. Warna lokal atau spesifiknya menjadi alternatif bagi lembaga penyiaran arus utama yang isinya sangat "Jakarta-sentris". Siarannya memiliki arti besar bagi masyarakat petani di pegunungan, pesisir pantai, ataupun urban. Saat bencana alam terjadi, apa yang disiarkan oleh LPK memberi informasi yang sangat bisa diandalkan untuk membantu masyarakat saat evakuasi dan sesudahnya.
Laporan Dinamika Radio Komunitas, riset yang saya lakukan bersama Juvensius Ramdojo pada 2009, menunjukkan bahwa beberapa pengelola LPK, khususnya radio komunitas, mendirikan lembaga tersebut karena tak paham dengan isi siaran televisi yang dipancarkan dari Jakarta. Mereka merasa isi tayangan itu asing bagi mereka yang tinggal di Jawa Barat bagian selatan, yang terlalu jauh dari Ibu Kota. Itulah motivasi mereka mendirikan LPK.
Berbagai kisah tentang peran besar LPK sudah banyak beredar. Misalnya tentang LPK di Nusa Tenggara Barat yang menjadi tumpuan para tenaga kerja wanita di luar negeri untuk mengirim uang ke kampung halamannya. Uang ini dititipkan via kepala desa, yang kebetulan juga mengelola LPK. Setiap kali ada kiriman datang, hal itu akan diumumkan dalam siarannya.
LPK di Indonesia sering dipandang sebelah mata karena tak memiliki manajemen yang baik, terkadang sangat bergantung pada keaktifan satu-dua pengurus saja, bersifat voluntaristik, dan tidak disiplin. Jika alat mereka rusak, siaran mereka pun akan padam lama karena tak punya dana untuk memperbaikinya. Belum lagi soal daya jangkau siaran, yang hanya dalam radius 2 kilometer jauhnya.
Terlepas dari kesederhanaannya, LPK berpotensi besar untuk memberdayakan masyarakat setempat, merevitalisasi budaya lokal, dan membuka ruang untuk informasi pendidikan serta kesehatan yang kontekstual bagi pendengarnya. Bahkan, dalam sejumlah peristiwa bencana, informasi yang berasal dari LPK lebih bisa diandalkan daripada informasi media arus utama sekalipun. Hal ini sudah terbukti dengan kehadiran LPK di sekitar Gunung Merapi, Yogyakarta, dan Gunung Sinabung, Sumatera Utara.
Saat ini LPK pun makin berkembang dengan adanya Internet. Dengan Internet, LPK bisa melipatgandakan jangkauan siaran sehingga bisa menjangkau pendengar yang lebih beragam. Media baru yang mereka miliki tak meniadakan media lamanya, tapi saling mengisi bagi pemenuhan fungsinya.
Studi yang dilakukan Combine Resource Institute pada 2016, "Pergulatan Media Komunitas di Tengah Arus Media Baru", menunjukkan bahwa Internet dimaknai berbeda-beda oleh sejumlah LPK, tapi keberadaan media baru tak menghalangi perkembangan LPK. Dengan demikian, media baru akan mendukung terus kegiatan LPK.
Kesadaran akan potensi media baru tak merata di kalangan pengelola LPK. Tapi, bagi mereka yang sadar akan potensinya, maka media baru sangat bisa dimanfaatkan untuk melayani kepentingan masyarakat setempat. Mungkin saja jumlah LPK sekarang tidak sebanyak ketika keran reformasi dibuka, tapi fungsi dan peran lembaga itulah yang perlu ditekankan.
Kita seharusnya memberi perhatian agar eksistensi LPK terus berlanjut. Regulator penyiaran juga perlu mempertimbangkan hal ini dengan masak-masak.
Ignatius Haryanto
Anggota Koalisi Nasional untuk Reformasi Penyiaran