Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Keberadaan LGBT semestinya diakui sebagai sebuah keberagaman.
Pemerintah seharusnya menghormati sikap pemerintah Inggris.
Tugas negara hukum mengakui hak asasi manusia untuk melindungi hak asasi kaum LGBT.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi tak perlu berlebihan merespons pengibaran bendera pelangi, simbol kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), yang dilakukan Kedutaan Besar Inggris di Jakarta. Apalagi jika sampai memanggil Duta Besar Inggris untuk Indonesia, Owen Jenkins, untuk menjelaskan hal tersebut, tentu akan menjadi langkah diplomasi yang memalukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sikap “cerewet” Kementerian Luar Negeri atas kejadian itu, dengan tujuan mengklarifikasi nilai-nilai yang sudah jelas tertulis dan selaras dengan Undang-Undang Dasar 1945, jelas merupakan hal yang keliru. Sejumlah pasal tentang hak asasi manusia yang tertulis dalam konstitusi kita secara tegas menyatakan bagaimana setiap warga negara berhak mendapat perlakuan yang sama, perlindungan hukum, dan sikap saling menghormati hak asasi orang lain.
Dalam Pasal 28I ayat (2) disebutkan, setiap orang mesti bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif itu. Begitu juga, Pasal 28J ayat (1) berbunyi, "Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara." Dari sini terlihat, kegenitan Kementerian Luar Negeri menyoal pengibaran bendera pelangi merupakan tindakan yang menerabas aturan dalam konstitusi Indonesia.
Tindakan tersebut juga berpotensi membuat kampanye tentang negara Bhinneka Tunggal Ika tinggal slogan semata dan nihil makna. Demikian juga dengan gembar-gembor sebagai negara majemuk, yang di era sekarang tidak melulu soal keberagaman suku, agama, ras, dan golongan, tapi juga pilihan identitas. Artinya, keberadaan LGBT pun semestinya diakui sebagai sebuah keberagaman.
Pemerintah seharusnya menghormati sikap pemerintah Inggris, melalui Kedutaan Besar Inggris di Indonesia, yang terang-terangan menghormati hak asasi LGBT+. Setiap orang, di mana pun, bebas mencintai dan mengekspresikan diri tanpa takut akan kekerasan ataupun diskriminasi. Lagi pula, pengibaran bendera pelangi itu bertepatan dengan peringatan Hari Internasional Melawan Homofobia, Bifobia, dan Transfobia setiap 17 Mei.
Adalah tugas negara hukum yang mengakui hak asasi manusia untuk juga melindungi hak asasi kaum LGBT. Melindungi mereka dari ketakutan, perlakuan merendahkan, kekerasan, dan bentuk diskriminasi lainnya. Pemerintah yang benar-benar peduli terhadap kelompok LGBT akan membuat landasan hukum yang berpijak pada kaum minoritas itu.
Pemerintah dapat memulai upaya perlindungan dengan memberikan pelatihan kepada aparat penegak hukum untuk berpihak kepada korban, menyediakan sistem pemulihan, hingga membuat skema pelaporan yang efektif dalam menyelidiki dan menuntut, sampai perkara tuntas. Penting juga mencegah kekerasan berbasis kebencian terhadap orientasi seksual melalui edukasi kepada masyarakat.
Kriminalisasi berdasarkan orientasi seksual masih terjadi di 71 negara untuk tindakan sesama jenis, di 15 negara untuk ekspresi dan identitas gender, serta di 26 negara untuk semua transgender. Pelecehan dan kekerasan menjadi bagian dari kehidupan kelompok LGBT+ di mana saja mereka berada.
Sikap mendua pemerintah itu bisa menjadi penguat kesan bahwa negara belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran kelompok LGBT dalam kehidupan kita. Ini terlihat dari masih eksisnya pasal pidana bagi kelompok LGBT dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Undang-undang "jadul" itu menjadi pegangan bagi kelompok intoleran untuk menggerebek pasangan LGBT hingga melakukan tekanan fisik dan psikis. Tindakan tersebut jelas menabrak ranah privasi warga negara dengan mengkriminalkan kelompok minoritas hanya berdasarkan orientasi seksual.
Walhasil, sikap reaktif pemerintah terhadap pengibaran bendera pelangi menjadi bukti bahwa kita masih alergis terhadap perbedaan. Dalih agama ataupun sosial-budaya hanyalah alat untuk menguatkan dogma. Pesan yang tecermin dari reaksi berlebihan atas pengibaran bendera pelangi itu adalah, Indonesia belum siap menjadi negara Bhinneka Tunggal Ika.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo