Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penganiayaan seorang siswi di Pontianak menambah panjang catatan kekerasan di kalangan anak dan remaja. Tren ini dipicu, antara lain, oleh kemudahan berinteraksi sekaligus membikin kelompok lewat media sosial. Polisi perlu memproses hukum kasus itu dengan tetap melindungi masa depan korban dan pelaku.
ABZ—siswi itu—dianiaya pada akhir Maret lalu, tapi keluarganya baru melapor sepekan kemudian. Pelajar sekolah menengah pertama ini mula-mula dijemput sejumlah siswi sekolah menengah atas di kota yang sama. Remaja 14 tahun ini mengaku sempat diinterogasi dan diancam sebelum dianiaya secara fisik di dua tempat oleh tiga siswi SMA. Sembilan pelajar teman pelaku hanya menonton tanpa menolong korban.
Penganiayaan diduga dipicu oleh persoalan asmara antara salah seorang pelaku dan kerabat korban serta saling ejek komentar di media sosial. Akibat kekerasan itu, ABZ harus dirawat di rumah sakit. Hasil pemeriksaan polisi menunjukkan punggung korban ditendang dan wajahnya dipukul berkali-kali. Kepala korban pun memar. Kejadian yang viral di media sosial itu mengundang keprihatinan publik.
Polisi mesti serius menangani kasus itu demi menegakkan keadilan sekaligus memberikan pendidikan bagi kalangan remaja. Jika para pelaku masih berusia di bawah 18 tahun, mereka bisa memprosesnya lewat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Sesuai dengan undang-undang ini, penyelesaian di luar pengadilan atau diversi dimungkinkan asalkan sesuai dengan ketentuan dan disepakati kedua belah pihak.
Permintaan maaf para pelaku bisa menjadi modal untuk penyelesaian secara damai. Tapi diversi perlu mempertimbangkan kadar kesalahan para pelaku. Soalnya, hanya pelaku dengan ancaman hukuman di bawah tujuh tahun penjara yang bisa menempuh penyelesaian di luar pengadilan.
Kekerasan mirip kasus ABZ pernah terjadi. Pada Januari lalu, dua siswi SMP di Amurang, Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, mengeroyok seorang remaja perempuan dan videonya tersebar di media sosial. Komisi Perlindungan Anak Indonesia pun mencatat kasus anak dan remaja sebagai pelaku kekerasan fisik cenderung meningkat. Angka kekerasan anak—berupa penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian—melonjak dari 46 kasus pada 2011 menjadi 112 pada 2017.
Peningkatan itu boleh jadi dipicu oleh kemudahan anak-anak dan kaum remaja zaman sekarang berinteraksi lewat media sosial. Hasil penelitian sejumlah pakar di Amerika Serikat tentang komputer dalam perilaku manusia, yang diterbitkan di jurnal Elsevier pada 2014, menyebutkan media sosial menjadi kendaraan bagi anak muda dalam melakukan tindak kekerasan terhadap teman sebaya, seperti perundungan, pelecehan, kejahatan, dan kekerasan dalam berpacaran.
Proses hukum secara cepat dan adil merupakan salah satu cara untuk meredam meluasnya kekerasan di kalangan remaja. Hanya, orang tua dan kalangan pendidik juga perlu peduli terhadap perkembangan media sosial yang telah mengubah masyarakat, termasuk cara bergaul para remaja. Tak sedikit penganiayaan dan perkelahian remaja dipicu oleh saling ejek di media sosial. Geng-geng remaja pun mudah tumbuh lewat grup media sosial.
Efek interaksi di media sosial pula yang mungkin menyebabkan perilaku kurang wajar para pelaku penganiaya ABZ. Sebelum meminta maaf, para pelaku mengunggah foto-foto mereka saat diperiksa polisi ke media sosial seolah-olah tak menyesali perbuatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo