Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) semestinya membatalkan keputusan menurunkan status pengelolaan Kebun Raya Bogor. Perubahan dari pusat konservasi tumbuhan menjadi unit pelaksana teknis balai konservasi tumbuhan akan mendegradasi peran kebun berusia 200 tahun lebih itu menjadi sekadar kawasan wisata.
Perubahan itu berlaku sejak LIPI menerbitkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2019 pada Januari lalu. Dalam reorganisasi ini, pengelola balai hanya bertugas mengatur koleksi vegetasi, menyelenggarakan pendidikan lingkungan, dan menjadikan Kebun Raya sebagai obyek wisata. Adapun fungsi penelitian dan pengembangan, yang erat kaitannya dengan konservasi, diserahkan kepada lembaga terpisah.
Status unit pelaksana teknis itu membuat pengelola akan lebih berkonsentrasi meningkatkan pendapatan. Dengan koleksinya berupa 13.061 pohon yang terdiri atas 213 suku, 1.200 marga, dan 3.151 spesies serta lokasi yang strategis di tengah kota, target itu mudah dicapai. Tahun lalu, pengunjung kawasan ini mencapai 1,6 juta orang, meningkat hampir dua kali lipat dari dua tahun sebelumnya.
Problemnya, jika pengelola hanya mengejar pendapatan, fungsi Kebun Raya sebagai kawasan konservasi di luar habitat aslinya bisa saja terabaikan. Padahal hal itu merupakan alasan utama pendirian Kebun Raya. Secara spesifik Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2011 tentang Kebun Raya, pada bagian pertimbangan, huruf a, menyatakan peran utama kebun raya adalah untuk “mengurangi laju degradasi keanekaragaman tumbuhan”.
Sebagai balai yang menyelenggarakan fungsi wisata, apalagi jika dibebani target pendapatan, paradigma pengelolaan Kebun Raya Bogor akan bergeser menjadi bisnis. Pengelola akan cenderung berkonsentrasi pada upaya meningkatkan atraksi untuk mendatangkan makin banyak pengunjung. Ceceran sampah, tangan jail, dan lalu-lalang kendaraan pun bisa mengganggu vegetasi sensitif.
Memang ada Pusat Penelitian Konservasi Tumbuhan dan Kebun Raya, yang bertanggung jawab atas penelitian dan pengembangan. Mereka pasti menaruh perhatian besar pada konservasi. Tapi mereka bukan pengelola Kebun Raya Bogor. Bagaimana mereka bisa memastikan langkah konservasi terlaksana jika Kebun Raya Bogor berada di bawah penguasaan balai yang orientasinya mungkin berbeda, yakni mengejar pendapatan sebanyak-banyaknya?
Dapat dibayangkan betapa besar kerugian yang bakal diderita kalau LIPI berkeras pada rencana ini. Negara akan kehilangan habitat ex situ yang dapat diandalkan bagi pelestarian vegetasi. Sebagai contoh, saat ini ada 147 dari 467 spesies tumbuhan Nusantara yang terancam punah dikembangkan oleh Kebun Raya Bogor. Tanpa perawatan maksimal, tumbuhan itu bisa saja punah.
Kebun Raya Bogor, yang didirikan Sir Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda pada 1811-1816, telah menyumbang banyak bagi pengembangan dan konservasi vegetasi di Tanah Air. Kebun ini berjasa menyebarkan banyak komoditas perkebunan, seperti kelapa sawit, atau kina sebagai tanaman obat antimalaria. Selain itu, banyak ahli botani sejak dulu menggunakannya untuk penelitian. Hal baik itu mesti kita pertahankan. Biarkan Kebun Raya Bogor tetap sebagai pusat konservasi. Jangan merusaknya dengan menjadikannya sekadar sebagai kawasan wisata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo