Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stop Subsidi Solar

Begini jadinya bila Presiden Joko Widodo mengorbankan urusan perekonomian demi kepentingan politik.

23 Agustus 2019 | 07.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Suasana sepi terlihat di SPBU Cilincing 34-14203, 15 November 2016. Tiga pompa yang menjual solar terlihat masih terikat pita kuning polisi. TEMPO/Maria Fransisca

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Begini jadinya bila Presiden Joko Widodo mengorbankan urusan perekonomian demi kepentingan politik. Setelah pemilu usai, dampak buruknya mulai terasa. Angka subsidi energi semakin bengkak. Jumlah solar bersubsidi yang disalurkan pun melampaui kuota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi mendeteksi penyaluran solar bersubsidi tahun ini bakal bertambah 0,8-1,4 juta kiloliter dari kuota 14,5 juta kiloliter. Sampai Juli lalu, realisasi penyaluran solar bersubsidi sudah mencapai 9,04 juta kiloliter atau sebesar 62 persen dari kuota. Melonjaknya konsumsi solar ini perlu dicermati dengan serius karena berdampak pada anggaran subsidi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembengkakan itu disinyalir karena penyalahgunaan solar bersubsidi untuk industri tambang dan perkebunan. Padahal, sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak, solar bersubsidi dilarang dikonsumsi kendaraan pengangkut hasil pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.

Bocornya solar bersubsidi sebetulnya bukan barang baru. Tahun lalu, hal yang sama juga terjadi. Pengeluaran subsidi energi pada tahun lalu bahkan mencapai Rp 153,5 triliun atau melonjak 162 persen dari anggaran, karena juga didorong faktor melemahnya rupiah. Pengeluaran untuk subsidi BBM (termasuk solar) dan elpiji naik hingga 207 persen.

Pemerintah berencana memangkas subsidi solar dari Rp 2.000 menjadi Rp 1.000 pada tahun depan. Langkah rasional yang dilakukan seusai pemilu ini bisa menghemat anggaran. Hanya, total angka subsidi dalam APBN 2020 tetaplah besar. Untuk subsidi BBM dan elpiji saja, nilainya mencapai Rp 75,2 triliun.

Konsekuensi kebijakan subsidi BBM, pemerintah harus bisa menyalurkannya secara tepat sasaran. Yang terjadi selama ini, tujuan pemberian subsidi solar bagi kalangan miskin, termasuk para nelayan, lebih sering melenceng. Solar bersubsidi tidak cuma bocor ke sektor industri. Bahan bakar minyak ini juga dipakai oleh pemilik mobil, yang bukan dari kalangan miskin.

Pemerintah berusaha mengatasi kebocoran itu dengan mendorong Pertamina menyelesaikan program digitalisasi stasiun pengisian bahan bakar umum. Tujuannya untuk memastikan penyaluran bahan bakar minyak bersubsidi tepat sasaran. Program digitalisasi yang bisa mendeteksi penyaluran BBM bersubsidi tersebut sebetulnya ditargetkan terlaksana tahun lalu, tapi diundurkan lagi hingga akhir tahun ini.

Kerepotan seperti itu akan terus terjadi selama pemerintah masih berkukuh mempertahankan kebijakan subsidi BBM. Langkah yang lebih simpel dan masuk akal, tentu saja, adalah menghapus sama sekali subsidi BBM. Serahkan saja harga bahan bakar minyak kepada mekanisme pasar, agar rakyat terbiasa dengan perubahan harga.

Jika hal itu dilakukan, pemerintah secara tidak langsung juga mendidik masyarakat untuk lebih efisien dan hemat menggunakan bahan bakar. Presiden Jokowi semestinya meninggalkan program kerja pencitraan yang membikin rakyat terlena dan rentan disalahgunakan.

Ali Umar

Ali Umar

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus