Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sudah Saatnya Cuci Darah

Bank diharapkan dapat terbuka dalam mengumumkan setiap penyaluran kredit berjumlah besar kepada masyarakat. agar ada kontrol sosial, pemerataan kesempatan dan menghilangkan kesenjangan ekonomi.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGUMUMKAN kepada masyarakat setiap kredit berjumlah besar yang disalurkan oleh bank merupakan suatu keterbukaan yang patut dilaksanakan. Ini jika kita tidak menginginkan kasus seperti Bank Summa terjadi lagi. Namun pasti ada pihak yang merasa keberatan dengan alasan kerahasiaan bank. Praktek seperti itu sebenarnya telah dilakukan oleh perbankan Indonesia, yaitu mengenai kredit sindikasi yang pada umumnya berjumlah besar. Bahkan hampir semua pinjaman yang diberikan oleh bank-bank asing telah diumumkan di media massa dalam bentuk iklan yang lazim disebut tomb-stone atau iklan batu nisan, karena memang bentuknya seperti batu nisan. Pengumuman ini biasanya dilakukan oleh bank pemberi kredit dengan suatu kebanggaan tersendiri. Bahkan biaya iklan itu ditanggung oleh bank yang bersangkutan. Kebanggaan tersebut sangat beralasan. Pertama, bank kreditur merasa telah mampu dan sukses dalam menganalisa mega-kredit yang sangat kompleks secara profesional. Kedua, mereka telah berhasil turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat. Bagi perusahaan debitur ada kebanggaan juga, yakni adanya kepercayaan yang diberikan oleh perbankan, yang tentunya tercermin dalam jumlah kredit yang diperoleh dan partisipasi bank-bank dalam pinjaman sindikasi tersebut. Ini perlu diketahui oleh masyarakat karena memberikan gambaran yang sangat positif terhadap bank maupun kegiatan pengusaha. Jika semua penyaluran kredit dilakukan secara transparan seperti ini, musykil kasus seperti Bank Summa terulang lagi. Apalagi jika pemerintah mewajibkan hal ini. Misalnya, pemberian kredit yang melebihi 20% dari permodalan bank harus segera diumumkan secara terbuka di surat kabar. Keterbukaan ini akan memberi jaminan dan kepercayaan kepada masyarakat bahwa dana yang mereka simpan akan disalurkan secara profesional dan aman. Sedangkan para pelaksana bank, yang sering menyebut dirinya profesional, akan dipaksa membuktikan predikat keprofesionalan mereka, karena transparansi tersebut memaksa mereka bertindak ekstra hati-hati. Jika kerahasiaan bank dijadikan alasan untuk tidak mengumumkan kredit-kredit berskala besar kepada masyarakat, maka yang terjadi tetap seperti sekarang. Yakni adanya kolaborasi antara pengusaha, penguasa, dan bankir. Kemudian adanya "memo-memo sakti" ataupun "telepon sakti" seperti yang disinyalir oleh Menteri Keuangan J.B. Sumarlin. Lalu pemilik bank akan terus berusaha untuk menyalurkan kredit bagi dirinya sendiri, baik bekerja sama dengan manajemen pelaksana maupun memaksa pelaksana yang notabene digaji oleh mereka. Semua ini mengakibatkan perbankan Indonesia tetap misterius, karena tidak ada yang berani menjamin bahwa tidak akan ada lagi bank lain yang menyusul Bank Summa. Dan akhirnya yang muncul hanyalah isu-isu yang berkembang dan membahayakan ketahanan ekonomi nasional. Manfaat yang pasti diperoleh dari keterbukaan ini adalah adanya kontrol sosial dari masyarakat yang akhirnya akan banyak membantu Bank Indonesia dalam melaksanakan pengawasan dan pemeriksaan bank-bank. Transaksi di bawah meja antara pengusaha dan bankir yang saling memperkaya diri dengan menjalin kolaborasi akan menjadi "sejarah". Manfaat lainnya, pemerataan kesempatan dan menghilangkan kesenjangan ekonomi, karena tidak akan terjadi suatu konsentrasi pemberian kredit berjumlah trilyunan rupiah kepada kelompok kecil pengusaha. Memang kontrol sosial merupakan suatu built-in-control yang sangat baik, efektif, dan murah. Karena itu transparansi semacam ini harus juga diterapkan kepada semua kegiatan yang menyangkut pengelolaan dana masyarakat, seperti Dana Pensiun (Astek, Taspen, dan lain-lain) dan pungutan-pungutan non-budgeter lainnya yang tidak dilaporkan dalam APBN. Saat ini tidak hanya perbankan yang misterius, tapi seluruh sistem pengelolaan dana masyarakat pun masih dirasakan misterius. Adakah pemberian informasi secara terbuka mengenai penempatan dana-dana yang dikelola oleh Astek dan Taspen, misalnya? Berapa besar dana masyarakat yang berhasil disedot oleh Yayasan Dana Bakti Kesejahtraan Sosial melalui program SDSB dan bagaimana penggunaannya? Pertanyaan terakhir yang patut dikaji bersama adalah: jika benar ada, apakah perbankan bersedia mengemukakan praktek-praktek pemberian mega-kredit yang telanjur salah kaprah? Dan bagaimana reaksi masyarakat terhadap kenyataan ini? Jika bangsa lain mampu melakukan hal-hal ini, kenapa kita tidak? Apalagi hal ini untuk kepentingan nasional. Jika darah dalam tubuh kita mengalami keracunan, satu-satunya sikap yang diperlukan untuk menyelamatkan tubuh kita adalah kita harus mau menerima dan mengakui kenyataan bahwa memang ada racun di dalam darah kita. Dan kemudian kita harus berani mengambil keputusan untuk cuci darah. Sekarang sudah saatnya perbankan Indonesia mengambil keputusan untuk melakukan "cuci-darah".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus