Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tak Berdaya Menghadapi Iran

As dalam masa presiden carter tidak berdaya menghadapi iran. carter menyerukan kesabaran dan menahan diri, tatkala publik as marah atas penyanderaan diplomat as oleh iran. as tak selalu dapat mengatur.

8 Desember 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA suatu hari dalam abad ke-5 Sebelum Masehi, sejumlah diplomat dilemparkan ke dalam sumur. Mereka adalah utusan Raja Darius dari Persia. Mereka datang ke Athena dan Sparta di tanah Yunani itu. Dan tuan rumah, yang biasanya menghormati utusan asing, entah kenapa hari itu berbuat lain. Akibatnya, kata sahibul hikayat, Darius berang. Ia mengirim pasukan. Athena digepuk. Dalam sejarah memang tak banyak diplomat diceburkan ke dalam sumur, tapi cukup banyak negara marah karena merasa muka dan kehormatannya digampar. Namun di tahun 1979, ketika pemerintah Iran menyandera para diplomat Amerika, apakah yang dapat dilakukan Presiden Carter dari Washington? Sementara publik Amerika marah berapi-api dan pekik peperangan mulai terdengar, Kepala Negara mereka tak kunjung beranjak jauh. Terakhir ia malah berbicara tentang "kesabaran dan menahan diri". Soalnya tentu bukan karena AS adalah negara penyabar dan Iran hanya nampak sebagai tempat yang sedang kacau balau. Soalnya karena kenyataan makin jelas AS tak selamanya bisa mengatur nafas orang lain. Empat tahun yang lalu para diplomat AS, (termasuk duta besar dan anjingnya), menyingkir panik ketika Saigon jatuh ke tangan komunis. Dan di musim semi 1979 Menteri Luar Negeri Cyrus Vance berkata "Kebanyakan orang Amerika kini menyadari bahwa sendirian kita tak dapat mendikte kejadian-kejadian." Cyrus Vance mengatakan bahwa itu bukanlah pertanda menurunnya Amerika, tapi "suatu pertanda kematangan yang sedang tumbuh." Kematangan? Dalam kemarahan kepada Iran, orang-orang Amerika -- serasa takut dianggap lembek -- mengibarkan gambar John Wayne. Mereka seakan membayangkan dunia sudah jadi Wild West, di mana tiap penghinaan akan digocoh tanpa penundaan. Tapi dunia kini bukan sebuah Wild West Gocoh-gocohan makan ongkos yang mahal, tapi sementara itu juga di dunia -- berbeda dengan film-film John Wayne -- tak seorang sheriff pun muncul. Tak ada polisi yang cukup kuat, yang sah, yang diakui. Tapi apakah artinya "kuat" dewasa ini? Senjara nuklir tak menyebabkan Uni Soviet bisa mengatur Cina atau Albania. Amerika pun di bawah Johnson dulu cukup kelabakan waktu Korea Utara menyergap kapal Pueblo kini di bawah Carter ia seperti tak berdaya menghadapi Iran. Pemikir Prancis Raymond Aron mengatakan senjata atom adalah ibarat cadangan emas untuk menjamin mata uang sebuah negeri ia disimpan jauh dalam tanah, ia ditimbun dan selalu siap, tapi tak pernah ia dipergunakan secara fisik. Kita mungkin lebih jelas untuk menyamakannya dengan pakaian wanita cantik: sesuatu yang bisa berkibar dengan pongah, tapi tak untuk dipakai pada saat klimaks. Senjata nuklir, statusnya sebagai negara besar, kekayaannya yang berlebih, bahkan menyulitkan AS sendiri. Di tengah sebagian besar dunia yang miskin, yang sering timbul padanya ialah apa yang lazim disebut "rasa risi orang kaya". Ada perasaan bersalah, tapi sementara itu juga kebanggaan kepada sukses sendiri. Ada perasaan ingin ditiru, tapi juga takut dicemburui. Kebesaran memang mengandung ilusi-ilusinya. Baru agak belakangan disadari bahwa superpower ini begitu tergantung pada sumber energi di luar negeri. Baru kemudian pula disadari bahwa negeri yang standar hidupnya tinggi ini sering jadi contoh pemborosan dan kemewahan -- yang bila ditiru oleh seluruh bangsa di bumi, akan menimbulkan malapetaka karena terbatasnya kekayaan alam. Kekuatan dan kekayaan dengan demikian jadi milik yang meragukan kualitasnya. Maka mungkin persoalan untuk Amerika ialah adakah sesuatu yang lebih berbobot dalam dirinya -- yang bisa menggetarkan dunia -- selain dari kekuatan serta kekayaan? Jawabannya memerlukan korban. Sebuah Amerika yang dihormati orang bukan karena kekuatan serta kekayaannya, harus berani menelan sejumlah kekalahan baru. Ada benarnya untuk memberikan pipi kiri setelah pipi kanan ditampar, bila dari sikap itu bisa terbit ilham bagi orang yang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus