PADA suatu hari dalam abad ke-5 Sebelum Masehi, sejumlah
diplomat dilemparkan ke dalam sumur.
Mereka adalah utusan Raja Darius dari Persia. Mereka datang ke
Athena dan Sparta di tanah Yunani itu. Dan tuan rumah, yang
biasanya menghormati utusan asing, entah kenapa hari itu berbuat
lain. Akibatnya, kata sahibul hikayat, Darius berang. Ia
mengirim pasukan. Athena digepuk.
Dalam sejarah memang tak banyak diplomat diceburkan ke dalam
sumur, tapi cukup banyak negara marah karena merasa muka dan
kehormatannya digampar. Namun di tahun 1979, ketika pemerintah
Iran menyandera para diplomat Amerika, apakah yang dapat
dilakukan Presiden Carter dari Washington? Sementara publik
Amerika marah berapi-api dan pekik peperangan mulai terdengar,
Kepala Negara mereka tak kunjung beranjak jauh. Terakhir ia
malah berbicara tentang "kesabaran dan menahan diri".
Soalnya tentu bukan karena AS adalah negara penyabar dan Iran
hanya nampak sebagai tempat yang sedang kacau balau. Soalnya
karena kenyataan makin jelas AS tak selamanya bisa mengatur
nafas orang lain. Empat tahun yang lalu para diplomat AS,
(termasuk duta besar dan anjingnya), menyingkir panik ketika
Saigon jatuh ke tangan komunis. Dan di musim semi 1979 Menteri
Luar Negeri Cyrus Vance berkata "Kebanyakan orang Amerika kini
menyadari bahwa sendirian kita tak dapat mendikte
kejadian-kejadian."
Cyrus Vance mengatakan bahwa itu bukanlah pertanda menurunnya
Amerika, tapi "suatu pertanda kematangan yang sedang tumbuh."
Kematangan? Dalam kemarahan kepada Iran, orang-orang Amerika --
serasa takut dianggap lembek -- mengibarkan gambar John Wayne.
Mereka seakan membayangkan dunia sudah jadi Wild West, di mana
tiap penghinaan akan digocoh tanpa penundaan.
Tapi dunia kini bukan sebuah Wild West Gocoh-gocohan makan
ongkos yang mahal, tapi sementara itu juga di dunia -- berbeda
dengan film-film John Wayne -- tak seorang sheriff pun muncul.
Tak ada polisi yang cukup kuat, yang sah, yang diakui.
Tapi apakah artinya "kuat" dewasa ini? Senjara nuklir tak
menyebabkan Uni Soviet bisa mengatur Cina atau Albania. Amerika
pun di bawah Johnson dulu cukup kelabakan waktu Korea Utara
menyergap kapal Pueblo kini di bawah Carter ia seperti tak
berdaya menghadapi Iran.
Pemikir Prancis Raymond Aron mengatakan senjata atom adalah
ibarat cadangan emas untuk menjamin mata uang sebuah negeri ia
disimpan jauh dalam tanah, ia ditimbun dan selalu siap, tapi tak
pernah ia dipergunakan secara fisik. Kita mungkin lebih jelas
untuk menyamakannya dengan pakaian wanita cantik: sesuatu yang
bisa berkibar dengan pongah, tapi tak untuk dipakai pada saat
klimaks.
Senjata nuklir, statusnya sebagai negara besar, kekayaannya yang
berlebih, bahkan menyulitkan AS sendiri. Di tengah sebagian
besar dunia yang miskin, yang sering timbul padanya ialah apa
yang lazim disebut "rasa risi orang kaya". Ada perasaan
bersalah, tapi sementara itu juga kebanggaan kepada sukses
sendiri. Ada perasaan ingin ditiru, tapi juga takut dicemburui.
Kebesaran memang mengandung ilusi-ilusinya. Baru agak belakangan
disadari bahwa superpower ini begitu tergantung pada sumber
energi di luar negeri. Baru kemudian pula disadari bahwa negeri
yang standar hidupnya tinggi ini sering jadi contoh pemborosan
dan kemewahan -- yang bila ditiru oleh seluruh bangsa di bumi,
akan menimbulkan malapetaka karena terbatasnya kekayaan alam.
Kekuatan dan kekayaan dengan demikian jadi milik yang meragukan
kualitasnya. Maka mungkin persoalan untuk Amerika ialah adakah
sesuatu yang lebih berbobot dalam dirinya -- yang bisa
menggetarkan dunia -- selain dari kekuatan serta kekayaan?
Jawabannya memerlukan korban. Sebuah Amerika yang dihormati
orang bukan karena kekuatan serta kekayaannya, harus berani
menelan sejumlah kekalahan baru. Ada benarnya untuk memberikan
pipi kiri setelah pipi kanan ditampar, bila dari sikap itu bisa
terbit ilham bagi orang yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini