WAJAH-WAJAH lega nampak di DPR pekan lalu. Dalam rapat gabungan
Komisi I dan III DPR dengan pemerintah 29 November lalu, Menteri
Kehakiman Moedjono berjanji akan memberi banyak kelonggaran.
Batas waktu penyelesaian RUU HAP (Hukum Acara Pidana) tidak
dipaksakan 20 Desember mendatang, seperti yang telah ditetapkan
semula.
"Pemerintah tidak memaksakan waktu. Itu terserah pada Dewan yang
punya otoritas," kata Moedjono pada TEMPO pekan lalu. Namun
tidak berarti pembahasannya akan bertele-tele. "Saya siap sedia
siang dan malam diajak rapat untuk menyelesaikan sesuai jadwal
yang ditentukan," ujarnya. Pintu juga dibuka lebar bagi usul
dewan untuk lebih menyelesaikan materi RUU HAP ini.
Yang kelihatan lega bukan hanya para anggota DPR. Hampir semua
kalangan masyarakat, yang terbangkit perhatiannya berkat
publikasi yang luas dari pers, ikut bernapas lebih longgar.
Waktu 2« bulan memang terlampau singkat untuk menyelesaikan UU
HAP yang bakal menjadi salah satu kaidah hukum Indonesia yang
paling dasar.
Dibanding banyak RUU lain, RUU HAP ini memang telah berhasil
memancing banyak reaksi masyarakat. Di samping lewat acara
dengar pendapat yang dilakukan DPR, yang cukup gencar adalah
suara dari kalangan perguruan tinggi.
Lupa
Menarik adalah lahirnya Komite Pembela Pancasila dalam HAP
(KP2HAP) pada 22 November 1979. Menurut Buyung Nasution, Komite
ini terdiri dari 7 lembaga bantuan hukum, antara lain LBH DKI,
LBH UI, LBH UKI, Pusbadhi dan Pos Bantuan Hukum serta puluhan
mahasiswa fakultas Hukum dari Jakarta. Tujuannya: untuk
menyadarkan masyarakat akan pentingnya RUU HAP yang tengah
dibahas. "Kami sangat prihatin karena kurangnya perhatian
masyarakat terhadap RUU HAP yang menyangkut hajad hidup yang
paling fundamental," ujar Buyung pekan lalu. Banyak kekurangan
dan kelemahan ditemukan dalam materi RUU. "Kalau masyarakat
tidak memberi perhatian, hasilnya akan mencelakakan nanti,"
lanjutnya.
Sejak terbentuk, KP2HAP giat mengadakan pertemuan dengan Menteri
Kehakiman, pimpinan dan fraksi-fraksi DPR. Seperti juga beberapa
fraksi DPR Komite mengecam isi RUU, terutama yang menyangkut
tatacara penangkapan, penahanan, penggeledahan, bantuan hukum
dan beberapa hal yang dianggap berhubungan dengan hak asasi
manusia. "Kami resah dan khawatir menghadapi RUU HAP yang kurang
memperhatikan kepentingan hak asasi," kata RO Tambunan, ketua
umum Pusbadhi. Karena itu setiap kali mengadakan pertemuan
anggota komite selalu mengenakan ban hitam di lengan sebagai
tanda duka cita.
Munculnya KP2HAP bukannya bebas dari kecurigaan. Harian Berita
Yudha pekan lalu memuat kartun menggambarkan seorang yang
aslinya "Kumpulan Anti Pancasila" mengenakan topeng bertuliskan
"Kumpulan Bela Pancasila". Komentar yang menyertainya: Waspada
atas yang di balik topeng.
Gencarnya pemberitaan pers rupanya tidak sia-sia. Di DPR pekan
Lalu Menteri Moedjono menjamin bahwa hak-hak asasi manusia dan
asas praduga tak bersalah akan lebih jelas dicerminkan dalam UU
HAP nantinya. Ia juga sependapat dengan usul DPR bahwa pembela
bisa mendampingi tersangka sejak tahap penyidikan. "Kita memang
lupa memasukkan itu," katanya.
Masalah upaya paksa, perubahan surat tuduhan, habeas corpus
ganti rugi dan rehabilitasi disempurnakan. Bahkan ia menawarkan
untuk mencari mekanisme yang tepat untuk menyalurkan ganti rugi
dan rehabilitasi bagi tersangka yang terlanjur ditahan tapi
kemudian terbukti tidak bersalah. Dijelaskannya, RUU HAP disusun
sejak 1963. Beberapa kali dibahas dalam simposium atau seminar
ahli hukum. Bahkan sempat direvisi 5 kali sebelum disodorkan ke
DPR. Pernah diajukan ke DPR pada 1965, tapi kemudian ditarik
kembali oleh pemerintah.
Bogem
Mengenai bantuan hukum, Moedjono menjelaskan pengacara boleh
mendampingi tersangka within sight and within bearing sebelum,
selama dan sesudah pemeriksaan. Hanya saja dalam saat
pemeriksaan oleh verbalisan, kehadiran pengacara sifatnya pasif.
Sebab dikhawatirkan kalau pengacara diizinkan menjawab
pertanyaan pemeriksa, seolah-olah yang diperiksa malah
pengacaranya. "Yang penting bagaimana si pengacara hadir hingga
ia yakin tersangka tidak akan disuluti rokok atau dikenai
bogem," kata Moedjono.
Tampaknya sikap luwes pemerintah terdorong juga oleh sikap keras
beberapa fraksi di DPR termasuk Fraksi Karya Pembangunan.
"Suara-suara di DPR memang keras, tapi cukup bagus. Apalagi
Fraksi Karya," kata Moedjono.
Beberapa anggota DPR menginginkan RUU ini sebaiknya
disebarluaskan dulu untuk memberi kesempatan sebanyak mungkin
pada masyarakat memberi tanggapan. "Kalau semua rakyat harus
ikut kan tidak mungkin di zaman sekarang. Jadi sudah cukup
fraksi-fraksi menampung aspirasi berbagai lapisan masyarakat
itu," kata Moedjono.
Tampaknya pemerintah, walau setuju memperpanjang waktu
pembahasan, tidak ingin melihat pembicaraan RUU ini
bertele-tele. "Kalau tidak ada masalah lagi buat apa
berpanjang-panjang. Semua yang saya utarakan kan sudah
disetujui. Jadi tinggal perumusan. Juga dari 280 pasal itu tidak
semua kan harus dikubur. Paling-paling hanya sepertiga," kata
Menteri Kehakiman pada TEMPO pekan lalu. Lanjutnya: "Akhirnya
semua kan tergantung pada pelaksanaannya juga. Biar
undang-undang ada kekurangan, kalau pelaksanaannya baik ya
hasilnya baik. Kalau pelaksanaannya tidak baik, undang-undang
yang bagaimanapun tidak akan berhasil baik."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini