SENIN 29 Oktober, DPR-RI Komisi VI Perindustrian (bukan
Perburuhan, dan nampak-nampaknya kurang menguasai masalah
perburuhan), mendesak 2 perusahaan PMA dan PMDN agar
memperlakukan buruh-buruhnya lebih manusiawi. Sepintas lalu
himbauan itu simpatik. Tetapi kalau diteliti justru berbau
feodalistis: nasib buruh hanya tergantung pada itikad baik dan
belas kasih "manusiawi" pengusaha.
Itu membuktikan bahwa kita belum konsensus dan konsisten tentang
mekanisme hubungan perburuhan dan belum menjadi public polic.
Di DPR-RI, lembaga rakyat itu pun, belum menjadi sikap atau
opini --apalagi 'hubungan perburuhan Pancasila' yang memang
tidak/belum mempunyai mekanisme itu.
Seharusnya anggota-anggota DPR yang terhormat itu bertanya
kepada buruh-buruh dan pengusaha: "Sudah ada serikat buruh atau
belum, sudah ada CLA (Colletiv Labour Agreement) atau belum,"
dsb. Kalau belum maka struktur perburuhan di situ adalah Coolie
atau slavery- treatment (perlakuan perbudakan). CLA, hasil
perundingan/musyawarah antara serikat buruh dan
pengusha/manajemen, satu-satunya yang dapat menjamin hubungan
perburuhan yang teratur, tenteram, pasti dan adil, yang akibat
logisnya menjamin ketenangan kerja dan ketenangan usaha.
Andai sudah ada CLA pun, masih harus dipertanyakan apakah
diciptakan dalam musyawarah dalam posisi yang seimbang dan bebas
antara buruh dan pengusaha. Sebagai diketahui, membicarakan hak
mogok bagi kaum buruh masih tahu atau alergi bagi sementara
pejabat. Padahal hak mogok adalah mutlak menjadi penunjang bagi
posisi-runding (bargaining position) buruh. Musyawarah macam
apakah yang dihasilkan posisi yang tidak seimbang, kecuali
dikte sepihak dan belas-kasihan yang tiada jaminan, lebih-lebih
dalam situasi pasaran kerja yang runyam sekarang ini?
Seharusnya pemogokan tidak perlu terlalu dikhawatirkan dan
dianggap momok. Malah sekali-sekali justru perlu: semacam
latihan mencari keseimbangan objektif, agar pihak manajemen
(biasanya manager-manager fasilitas dan pemilik, bukan manajemen
profesional) tidak seenaknya menolak/menentang tuntutan buruh
yang wajar -- demikian juga buruh tidak seenaknya mengajukan
tuntutan yang tidak masuk akal.
Hilangnya hak mogok berarti hilangnya kebebasan berserikat,
hilangnya demokrasi hilangnya keadilan dan hilang pulalah
partisipasi dan tanggung jawab buruh. Sebaliknya, buruh yang
merasa diperlakukan tidak adil dengan diam-diam akan
menggerogoti dan mencurangi perusahaan dan mendorong solidaritas
(setia kawan) buruh senasib. Struktur perburuhan yang adil bagi
buruh (fair labour practice) terletak pada hak bela diri dari
kesewenang-wenangan, sedang belas kasihan harus dianggap
penghinaan terhadap buruh.
Upah buruh sekarang ini memang masih bersifat hunger-wages
-- upah orang kelaparan yang terpaksa menyambung nafas. Tapi hal
itu bagi buruh adalah nomor dua: tergantung beberapa faktor,
antara lain ability to pay (kemampuan perusahaan dll),
tetapi yang paling pokok ialah ibarat sebuah ungkapan:
"Kemakmuran boleh besok, tetapi keadilan hari ini." Adalah
ketidakadilan yang parah dan serius bila hak kebebasan
berserikat bagi kaum buruh dibatasi.
Baru-baru ini ada keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat oleh
Hakim Loedoe SH (kasus buruh Hotel Horison) yang nadanya
menyepelekan/meremehkan kaum buruh -- dengan membatalkan
keputusan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat), dengan dalih "penguasa melanggar hukum" dan P4P
Pengadilan semu, karena hirarkis di bawah suatu departemen
(Depnaker-trans).
Anggapan ini jelas keliru. P4P adalah badan otonom yang berdiri
sendiri, hanya administrasinya dilaksanakan Depnakertrans. P4P
yang diangkat Presiden (P4D diangkat Menteri) untuk menjamin
obyektifitasnya terdiri dari 3 unsur: 5 wakil Pemerintah ( I
dari Depnakertrans merangkap ketua dan 4 wakil departemen
teknis), 5 wakil pengusaha (Puspi) 5 wakil buruh (FBSI). Bahwa
kurang berfungsi dan efektif, adalah soal lain -- dan memang
kenyataan, antala lain karena tidak mempunyai wewenang exekusi
sendiri seperti labour court di negara-negara lain. Tetapi yang
paling penting ialah: anggota-anggota P4P yang menjadi
hakim-hakim buruh itu, yang harus menjadi pejabat-pejabat
profesional yang berkecakapan tinggi, berpedoman antara lain:
economic asibility, social desirability, politic
acceptability. Honornya per bulan hanya Rp 12.500 (dua belas
ribu lima ratus rupiah), P4D Rp 7.500. Kalau kita banding
misalnya anggota-anggota labour court di Negara-negara ASEAN
saja -- misalnya Malaysia -- kl Rp 650.000. Dari segi honor P4P
ini, jelas dan gamblang bahwa nasib buruh disepelekan dan di
remehkan.
Nasib buruh baru ada dalam konsep-konsep pidato sebagai
verbalisme dan dalam conversational polities.
Industrial-peace di atur dengan tongkat komando dan
pretensi-pretensi. Malaikat dan idealis konyol dari mana yang
bisa kerja baik dengan honor yang tidak realistis dan tidak
masuk akal ?
Tentang pengadilan semu, sudah sering kita dengar dari pihak
pengadilan negeri. Kalau buruh dianggap barang dagangan dan
perselisihan perburuhan hanya perkara jual-beli tenaga, memang
benar. Tetapi perselisihan perburuhan adalah industrial-
relation problem antara semua aktor produksi tentang hubungan
dengan syarat-syarat hubungan kerja dalam rangka
co-determination yang tidak mungkin terjangkau oleh pasal-pasal
KUHP (pengadilan negeri).
Masalah perbuluhan masih halus diadahan dialog secara tuntas
untuk mencari titik temu yang akan menjadi public-policy, yang
merupakan practical problem solping.
Buruh Indonesia, haruslah menolak radikalisme dan menolak
perjuangan kelas ala Marxisme. Tetapi bak kata seorang pelawak
wanita dari Jawa Timur: kalau terus-terusan begini, mana
tahaaan!
A.M. SIRAIT
Sumur Batu Rt. 16 Rw. 16 Cem. Putih
Jakarta Pusat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini