Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Teringat akan raj kapoor

Raj kapoor bisa membangun kerajaan industri film di india. lakhda hamina, sutradara aljazair, punya reputasi internasional. indonesia dgn penduduk 180 juta, belum bisa membangun kerajaan industri film.

1 Desember 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ENAM tahun yang silam saya bertemu dengan Raj Kapoor di Prancis. Tokoh film India yang legendaris (ia meninggal Juni 1988 dalam usia 64 tahun) dan dihormati dunia internasional ini bagi saya merupakan figur dan pribadi yang menarik, unik, dan karimastik. Nama Raj Kapoor merupakan lambang kreativitas industri film India. Tiga bersaudara Kapoor (Raj, Shammi, dan Shashi)-lah yang ikut merintis tumbuhnya film India. Anak-anak dan menantu mereka meneruskan usaha itu. Terutama berkat merekalah film India kini bisa menduduki tempat terhormat di dunia internasional. Bisa dimengerti bila Raj Kapoor hingga kini tetap menjadi kebanggaan rakyat dan bangsanya. Bagi masyarakat Indonesia sendiri, Raj Kapoor bukanlah sebuah nama yang asing. Terutama bagi penggemar film India yang telah sering melihatnya tampil di layar perak, baik sebagai aktor, sutradara, maupun produser (antara lain dalam film Awara Hun, Shri 420, Jagte Raho). Suatu malam, enam tahun yang lalu itu, kami -- saya dan Raj -- duduk bersama di sebuah kedai kopi di suatu sudut Paris. Ada kata-katanya yang hingga kini selalu terngiang di telinga. "Tolong dicatat bahwa sejak India merdeka pada 1947, sejak itu pula kerajaan-kerajaan di India dihapus seluruhnya. Namun, hanya satu yang tetap dipertahankan dan bahkan dipelihara dengan baik, yakni kerajaan industri film India.... Ingin tahu sebabnya? ... Karena rakyat dan pemerintah kami menghendaki dan mencintai kehadirannya ...!" Ucapan the greatest showman of India ini sungguh membuat saya tersipu. Sebab, terus terang, ingin sekali rasanya saya pun dapat berkata begitu dengan lantang dan penuh kebanggaan. Saya juga teringat pertemuan saya dengan Lakhda Hamina, sutradara Aljazair yang reputasi internasionalnya sudah diakui lewat karya-karyanya yang sering muncul dalam acara kompetisi festival Cannes, Prancis. Berbeda dengan Raj Kapoor, sineas Aljazair yang dikenal di negerinya sebagai tokoh kontroversial ini justru menyatakan kecemburuannya. Bukan terhadap karya saya, tapi karena saya sineas Indonesia. Menurut dia, Indonesia, yang begitu luas dengan penduduk 170 juta lebih, sungguh merupakan pasar yang sangat ideal bagi film-film produksinya sendiri. Tidak seperti Aljazair yang hanya berpenduduk 23 juta hingga para sineasnya harus sabar antre mendapatkan jatah subsidi pemerintah untuk bisa membuat sebuah film. Dalam setahunnya Aljazair hanya memproduksi tidak lebih dari sepuluh judul film. "Kecemburuan" Lakhda Hamina, yang diucapkannya dengan begitu tulus, membuat saya sedih. Kepada kedua sineas senior ini, tidak mungkin saya ceritakan apa yang sebenarnya terjadi di negeriku tercinta. Mungkin Raj Kapoor hingga akhir hayatnya mengira bahwa di Indonesia pun tengah dibangun sebuah kerajaan film nasional. Lakhda Hamina mungkin pula, hingga hari ini, masih mengira bahwa Indonesia adalah sebuah surga bagi para sineasnya. Sebenarnya, dugaan kedua sineas itu memang masuk akal. Raj Kapoor, yang dengan modal 800 juta penduduk India, telah berhasil membangun kerajaan abadi "Indian Cinema" yang setiap tahunnya memproduksi 800 sampai 900 judul film. Padahal, di India, tidak seluruh rakyat menggunakan bahasa Hindi sebagai sarana berkomunikasi. Toh itu tidak menjadi hambatan bagi terciptanya jalur pemasaran produksi film buatan dalam negeri. Semua ini dimungkinkan karena kejelasan pemihakan pemerintah India kepada film-film produk negerinya. Dan ini berangkat dari kemauan politik (political will) yang melandasinya. Maka, pemerintah tidak segan-segan untuk membatasi bergeraknya film impor di negara tersebut. Dan sebaliknya, pemerintah memberi kemudahan dan kelonggaran bagi film-film made in India. Karenanya, film impor di sana benar-benar berfungsi hanya sebagai suplisi belaka. Swasembada di bidang film ini telah lama berjalan, dan telah berhasil melahirkan budaya sinema yang ditumbuhkan sejak dini dalam kehidupan rakyatnya. Pemikiran yang sama, walau kondisi dan sarananya tak serupa, juga dilakukan pemerintah Aljazair. Menyadari keterbatasan pasar yang dimilikinya, pemerintah Aljazair telah mengambil kebijaksanaan untuk berkosentrasi dengan memproduksi sedikit film dengan mutu yang secara kualitatif dapat menembus tembok pemasaran luar negeri, terutama Eropa. Bagaimana nasib perfilman di negeri ini? Pada dasarnya, potensi manusia dan pasar yang ditawarkan sebagai modal dasar membangun kerajaan sinema Indonesia sangat luar biasa. Kita punya sejumlah sineas, yang bila memperoleh suasana yang lebih memungkinkan berkembangnya kreativitas, pasti akan mampu melahirkan karya-karya yang dapat dibanggakan oleh bangsanya. Begitu pula dengan pasar yang terbentang luas, berikut 180 juta penduduknya. Semua ini merupakan modal dasar yang sangat menjanjikan. Tapi kalau toh sampai hari ini film nasional belum juga menjadi tuan di negerinya sendiri, satu hal yang dapat disimpulkan. Bahwa perfilman kita yang sekarang ini memang tidak didukung oleh kemauan politik yang mengarahkan film nasional menjadi tuan, apalagi raja, di negerinya sendiri. Kapan kita sadar dan bangun dari tidur yang panjang ini?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus