MENDENGAR Kerajaan Romawi Timur yang beragama Kristen itu dikalahkan Kerajaan Persia yang menyembah api, kaum muslimin bersedih. Lalu turunlah wahyu yang menggembirakan, yang menyatakan bahwa sembilan tahun kemudian Kerajaan Bizantium itu akan menang dan kaum muslimin akan bergembira. Wahyu yang tertera dalam Surat Ar-Rum 1-4 ini terbukti kebenarannya pada 625 M. Kisah ini sengaja ditampilkan Dr. Muhammad Quraish Shihab pada seminar yang diadakan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) pada Rabu pekan lalu, dengan maksud menunjukkan bahwa sejak awal sudah terjalin hubungan yang mendalam antara Islam dan Kristen. "Hubungan ini bukan sekadar basa-basi, melainkan sudah merasuk ke dalam jiwa. Apalagi kejadiannya diabadikan dalam Quran," kata dosen Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu. Inilah seminar yang dihadiri oleh para ahli di bidang keagamaan, budaya, politik, dan pemerintah ini, yang antara lain mencoba menjawab pertanyaan: dapatkah para penganut agama yang tetap berpegang pada kemutlakan ajaran agamanya hidup rukun dalam satu masyarakat dan negara? Atau seperti yang disampaikan Franz Magnis Suseno, dosen filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, bisakah penganut agama berdamai dan saling menghormati, tanpa mengompromikan iman dan keyakinan mereka? Persoalan ini jelas merupakan masalah bagi Indonesia, negeri yang memiliki lima agama: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Menurut Quraish Shihab, salah satu hal yang pokok untuk membina kerukunan beragama adalah dihindarkannya sikap menyamaratakan. Kata ahli tafsir Indonesia ini, para ahli kitab Yahudi dan Nasrani sendiri berbeda-beda pendapat dan sikapnya. Ada kelompok yang obyektif -- mereka itulah yang dibicarakan Quran dengan pujian. Namun, ada juga kelompok Yahudi dan Nasrani yang bersikap tidak bersahabat. Jadi, kata Quraish Shihab lebih lanjut, "Jangan mengangkat satu ayat yang berbicara hanya tentang kelompok tertentu menjadi sikap umum semua penganut agama tersebut." Kebanyakan pemeluk agama mana pun memang tidak memahami ajaran agama mereka secara utuh. Maka, mereka tidak bisa membedakan mana yang absolut dan mana yang relatif dari ajaran agama tersebut. Kelemahan seperti ini, seperti dikatakan Quraish, juga terdapat pada umat beragama yang lain. Di situlah para pemuka agama bisa mengambil peran: menjelaskan bagaimana ajaran agama masing-masing melihat soal hubungan antaragama. Bila bertahun-tahun masalah ini diulangbicarakan, tetapi kemudian muncul lagi masalah, itu hanya membuktikan soal toleransi beragama bukan soal yang mudah. Dalam agama mana pun selalu ada mereka yang lapang dada, dan mereka yang fanatik. Untuk itu, saran K.H. Ali Yafie, Wakil Rais Aam Nahdlatul Ulama, tiap agama perlu meningkatkan wawasan agama umatnya. Namun, mudah mengatakan sulit melaksanakan berlaku pula untuk masalah ini. Pihak-pihak yang terlibat dalam upaya meluaskan wawasan umat -- dari agama mana pun -- mengakui sulitnya menyampaikan wawasan itu. Seperti yang dikatakan Victor Tanja, pendeta Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB), "Jangankan Islam yang mayoritas. Kami yang minoritas ini, sulit sekali memberikan pengertian (hubungan antaragama) kepada mereka yang menganut garis keras." Tidak semua orang bisa menerima bahwa "ajaran agama diberikan Allah bukan untuk pembenaran diri atau kelompok, yang nantinya bermuara pada sikap fanatisme beragama," kata Victor Tanja dengan tegas. Tak berarti Victor Tanja ingin mengatakan bahwa semua agama sama. Penyamaan itu bisa berbahaya karena itu berarti mengompromikan akidah, yang tentu saja tidak dibenarkan oleh agama mana pun. Dalam Islam, sebenarnya Nabi Muhammad saw. sendiri sudah memberikan teladan. Misalnya terhadap tamu-tamu beliau dari kalangan Nasrani yang berkunjung ke Madinah, Nabi pernah mempersilakan tamunya yang ingin melakukan kebaktian menjalankannya di masjid. Kisah ini diceritakan oleh Ibnu Qoyyim, ulama besar murid Ibnu Taymiah yang hidup pada abad ke-14. Tentu, Nabi melakukan hal tersebut karena memang di sekitar kediaman Nabi tak ada tempat ibadah bagi kaum Nasrani. Bila sering toleransi terlupakan, pada hakikatnya bersikap toleran tidak mudah. Soalnya, dalam toleransi terkandung sikap yang oleh Frans Magnis Suseno dijelaskan sebagai, "kesediaan menerima dan menghormati orang yang berkeyakinan lain dengan kita meski hal itu tidak kita setujui." Memang, ada orang yang memutlakkan jatuhnya siksaan Tuhan pada orang selain golongannya. Orang seperti ini seakan ingin membatasi rahmat Tuhan. "Padahal, Tuhan sendiri berkata, 'Rahmat-Ku mengalahkan Amarah-Ku'," kata Quraish mengutip hadis Qudsi. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini