Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Tesla dan Tantangan Sosial Investasi Indonesia

Sejauh ini, negara tidak pernah serius dan kritis dalam berpikir untuk memitigasi persoalan di sektor pertambangan khususnya terkait isu lingkungan dan isu sosial. Inilah yang sesungguhnya menjadi pemahaman dan kekhawatiran investor global dalam menentukan apakah mereka memilih Indonesia atau tidak.

23 Desember 2020 | 12.44 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Akhir tahun ini industri pertambangan dan mineral kembali menarik perhatian publik. Pada Senin tanggal 12 Desember yang lalu telah terjadi kerusuhan di PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), sebuah perusahaan swasta yang bergerak di bidang pengolahan bijih nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. Para buruh kecewa karena perusahaan tidak menerima tuntutan mereka terkait pengangkatan menjadi karyawan tetap dan kenaikan gaji. Selain menghancurkan pos keamanan perusahaan, massa juga membakar sekitar 40 alat berat seperti dump truck dan ekskavator, kendaraan operasional perusahaan, serta puluhan motor dan bangunan lain. Kerugian dari kejadian ini ditaksir mencapai 200 miliar rupiah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Insiden ini terjadi hanya beberapa hari setelah Presiden Joko Widodo menelpon CEO Tesla Elon Musk. Pemerintah sedang bekerja keras meyakinkan perusahaan otomotif dan penyimpanan energi asal Amerika Serikat tersebut untuk berinvestasi di sektor industri mobil listrik dan komponen utama baterai listrik serta sebagai launching pad Space X di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Situasi di Konawe menjadi lebih rumit. Nama baik Indonesia sebagai tujuan investasi global dapat rusak karena dianggap tidak mampu mengelola permasalahan sosial. Para investor berpotensi membatalkan niatnya untuk berinvestasi, dan Indonesia kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan membuka lapangan pekerjaan. Cita-cita untuk keluar dari jebakan middle income country dan menjadi negara maju hanya tinggal mimpi belaka.

Karena itu, kejadian Konawe ini tidak boleh dianggap sekedar permasalahan antara buruh dan perusahaan semata. Insiden ini hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah sosial yang sering terjadi di industri pertambangan dan mineral. Ini adalah puncak gunung es dari permasalahan mendasar yang lebih serius di tanah air. Situasi ini sesunguhnya merepresentasikan ketidakmampuan dan bahkan ketidakseriusan negara dalam membangun ekosistem investasi yang ramah secara sosial. Negara telah gagal memitigasi dampak dari mimpi-mimpinya sendiri.

Pemerintah dan para pemangku kepentingan tidak mampu menyesuaikan diri menghadapi tantangan investasi yang harusnya telah dikalkulasi dengan cermat sebagai bagian dari agenda industrialisasi berbasis sumberdaya alam (resource-based industrialisation). Sebagian elit seolah-olah bekerja sendiri berdasarkan motivasi personal yang tidak diimbangi oleh dukungan kelembagaan dan kemampuan aparat untuk bersama-sama mewujudkan agenda pembangunan nasional.

Jadi pemerintah memang sangat perlu duduk bersama dengan semua pihak, melakukan refleksi secara menyeluruh atas situasi terkini di sektor pertambangan. Apalagi, nikel adalah salah satu komoditas andalan masa depan yang memiliki nilai strategis baik secara ekonomi maupun geopolitik.

Pemerintah harus benar-benar jelas soal investasi pertambangan. Tidak hanya mengundang sebanyak-banyaknya investor, lalu membiarkan mereka berjibaku dengan segala urusan yang muncul di lapangan. Negara harus hadir dalam setiap tahapan investasi, urusan investasi di komoditas nikel harus “clear” dari hulu sampai hilir. Jika tidak, hal yang sama akan terus terulang, serta hal-hal buruk lain yang sudah antri di belakangnya.

Sepuluh-lima belas tahun terakhir elit pemerintah memang terlihat semakin menyadari bahwa isu pertambangan bukan sebatas terkait ketersediaan sumberdaya nikel. Tuntutan global telah membuka mata bahwa ada isu lain yang lebih penting yakni isu lingkungan dan sosial. Lahirnya kesadaran ini adalah hal positif, namun pemerintah sepertinya belum memiliki desain tata kelola industri pertambangan yang komprehensif dan aplikatif di lapangan.

Usaha penerapan tata kelola sumberdaya dipahami secara dangkal sebatas profiling potensi pertambangan tambang dari aspek kewilayahan, ada tidaknya lembaga pendidikan yang bisa menyuplai SDM di sektor pertambangan, dan perkiraan jumlah cadangan atau sumberdaya mineral.

Dalam pandangan kami, semua isu itu sudah diketahui sejak lama oleh investor. Para investor tentunya memiliki instrumen riset and development yang solid terkait sumber-sumber bahan baku penting. Elon Musk yang ditelpon presiden pasti sudah punya data nikel dunia dan sudah pasti paham bahwa Indonesia adalah negeri yang paling kaya di dibanding negara-negara lain. Tapi mengapa hingga hari ini mereka belum memutuskan untuk berinvestasi di sini, inilah yang harus menjadi perhatian bersama.

Saat ini yang justru semakin menguat adalah kepedulian pasar terhadap isu lingkungan dan sosial terkait produk industri ekstraktif. Pasar industri baterai dan mobil listrik itu tercipta karena adanya tuntutan global akan industri yang ramah lingkungan dan bersahabat dengan masyarakat. Karena itu, tidak mungkin produsen mobil listrik mau membangun pabrik dan membeli bahan baku secara langsung dari para pelaku perusak lingkungan. Itu sama saja bunuh diri.

Sayangnya, negara justru masih belum sukses hadir terkait kedua isu tersebut. Negara terkesan tidak berdaya menghadapi hantaman kerusakan lingkungan di sektor pertambangan. Negara justru terkesan lepas tangan, membiarkan perusahaan berhadapan adu kuat dengan masyarakat jika ada konflik menyangkut isu lingkungan dan sosial.

Padahal jika terjadi bakar-bakaran seperti kerusuhan di VDNI Konawe, sumber masalahnya adalah isu sosial yang notabene tidak diurus negara. Dalam konteks lain, insiden yang sama bisa saja muncul akibat kelalaian lingkungan. Masyarakat Sulawesi Tenggara sudah mulai mengeluhkan banjir yang melanda sawah dan perkebunan mereka sejak pertambangan nikel semakin masif beroperasi beberapa tahun terakhir. Jika tidak segera ditangani, bukan mustahil kejadian bakar-bakaran tersebut akan terulang kembali.

Sejauh ini, negara tidak pernah serius dan kritis dalam berpikir untuk memitigasi persoalan di sektor pertambangan khususnya terkait isu lingkungan dan isu sosial. Inilah yang sesungguhnya menjadi pemahaman dan kekhawatiran investor global dalam menentukan apakah mereka memilih Indonesia atau tidak. Inilah yang menjadi keraguan Tesla, sehingga presiden merasa harus menelpon dan membujuk mereka secara khusus.

Belum lagi, fakta lainnya yaitu pemerintah ketat saat memberikan izin di sektor pertambangan namun justru longgar bahkan tidak mengawasi implementasi izin yang telah dikeluarkan. Isu yang menjadi konsumsi publik, pengawaasan izin pertambangan selalu menjadi ruang negosiasi informal yang ilegal, yang pada akhirnya menjadi surga bagi para pemburu rente.

Difusi Teknologi

Apa yang ditempuh oleh Indonesia dalam mengundang investasi asing adalah bagian dari strategi difusi teknologi. Difusi teknologi secara sederhana digambarkan sebagai strategi mendatangkan teknologi maju dari luar negeri lalu menerapkannya secara domestik. Sambil mengambil manfaat ekonomi, negara akan mempelajari teknologi impor tersebut secara intensif untuk dapat menguasainya, melakukan modifikasi-modifikasi dan pengembangan-pengembangan yang lebih baik sesuai kebutuhan masa depan.

Proses difusi teknologi akan dapat membantu percepatan pembangunan regional dan nasional terutama apabila dilakukan secara berkelanjutan dan ramah lingkungan. Implementasi teknologi industri terkini dapat mendukung ketahanan nasional, serta yang paling penting adalah mensejahterakan masyarakat lokal di mana proses investasi tersebut berjalan. Ini merupakan salah satu solusi akselerasi pembangunan negara-negara berkembang menuju industrialisasi. Korea Selatan dan China adalah dua contoh yang sangat baik bagaimana sebuah negara berhasil menerapkan konsep difusi teknologi untuk mengejar ketertinggalan dari negara-negara barat dan bahkan dengan negara tetangga mereka Jepang.

Akan tetapi, strategi difusi teknologi juga bukan tanpa tantangan. Bagaimanapun, akselerasi pembangunan melalui difusi teknologi akan mendisrupsi proses-proses konvensional yang terjadi di masyarakat. Perubahan ini tentunya akan menimbulkan riak-riak sosial-ekonomi di mana proses itu berlangsung, yang biasanya ditandai dengan perubahan isu yang sangat cepat di masyarakat. Difusi teknologi yang umumnya berbentuk investasi asing (foreign investment) sering tergiring (atau sengaja didigiring) menjadi isu ancaman terhadap kedaulatan negara, penguasaan sumberdaya alam dan kehilangan kesempatan kerja. Akibatnya, iklim berusaha menjadi terganggu dan terciptanya instabilitas sosial. Dalam konteks Indonesia gejala ini dirasakan muncul pada daerah-daerah industri mineral baru, salah satunya di Konawe, Sulawesi Tenggara.

Di sisi lain, mendatangkan investor asing dalam industri pertambangan dan mineral juga dapat memicu kekuasaan asimetris (power asymmetry). Penguasaan kapital dan jaringan ekonomi yang kuat dari para pelaku industri dapat menyebabkan ketidakseimbangan informasi dan narasi-narasi yang berkembang di masyarakat. Akibatnya terjadilah dominasi peran korporasi dalam konstelasi sosial-ekonomi yang secara simultan menempatkan pemerintah terutama pada level lokal-regional pada posisi tawar yang lemah. Masyarakat juga akan semakin sering terpinggirkan. Situasi ini secara kumulatif dan laten membangun ketegangan sosial di akar rumput.

Contoh paling nyata dari eksistensi power asymmetry ini adalah ketidakberdayaan negara menghadapi aksi perusakan lingkungan. Padahal selaku pemberi izin, pemerintah memiliki instrumen pengawasan dan evaluasi operasional kegiatan pertambangan setiap tahun. Namun nyatanya hingga hari ini nyaris belum ada perusahaan yang dihentikan operasinya misalnya karena kegiatan reklamasi dan pemulihan lahan bekas tambangnya tidak memenuhi target. Semua baru kebingungan dan saling lempar tanggungjawab ketika perusahaan sudah berhenti dan meninggalkan lubang-lubang bekas tambang menganga dan menghampar di mana-mana.

Tanpa mitigasi yang tepat situasi ini akan hanya menunggu waktu untuk meletus bahkan jika dipicu oleh hal-hal yang lebih sederhana dari apa yang terjadi di Konawe ini.

 

Penguatan Kelembagaan

Belajari dari kasus kerusuhan di Konawe dan undangan kepada Tesla, sudah saatnya pemerintah harus menyadari bahwa ada permasalahan serius terkait aspek sosial dan lingkungan dalam setiap investasi mineral di tanah air. Kesadaran ini harus terbangun secara kolektif, bukan hanya sekedar pengetahuan atau keluhan satu dua orang elit yang tidak memberi dampak apa apa secara kelembagaan kelembagaan. Kesadaran kolektif ini penting karena akan menjadi dasar, menjadi fondasi langkah-langkah menghadirkan negara dalam setiap tingkatan masyarakat dan semua sektor ekonomi.

Selanjutnya, pemerintah harus melakukan terobosan untuk membangun sistem mitigasi permasalahan sosial dan lingkungan di sektor pertambangan dan pengolahan mineral. Negara dengan semua instrumen kekuasaannya harus bergerak meninggalkan cara-cara konvensional dan birokratis yang terus mengedepankan aspek formalitas dalam mengurusi masalah-masalah tersebut.

Kepentingan mendatangkan investasi sebaiknya tidak dianggap sebagai tugas seorang presiden semata. Kementerian terkait harus proaktif memposisikan diri dan memainkan perannya masing-masing. Pemerintah harus menghadirkan terobosan yang mengadopsi teknologi digital terkini yang terukur dan akuntabel dalam aspek pengawasan lingkungan. Juga harus mampu melakukan inovasi mitigasi sosial lintas sektor yang bersifat humanis, egaliter, serta mengedepankan transparansi. Pelaku usaha harus didorong untuk memiliki pemahaman menyeluruh mengenai konteks sosial dan lingkungan di wilayah operasi mereka.

Pemerintah daerah baik kabupaten dan provinsi harus diletakkan pada posisi yang lebih strategis dalam konteks kemitraan dengan pusat dan perusahaan. Mereka bukan hanya perpanjangan tangan pusat apalagi sekedar ‘pemadam kebakaran’ yang bertugas mengatasi kerusuhan di wilayahnya dengan semua risiko yang harus ditanggung. Mereka harus dibekali dengan instrumen kewenangan secara proporsional, indikator keberhasilan yang tepat, serta alokasi sumberdaya yang cukup untuk mengurusi permasalahan sosial dan lingkungan. Pemerintah, termasuk pemerintah daerah, sebaiknya melakukan akselerasi pembangunan kapasitas (capacity building) untuk menghadirkan lembaga negara kuat dan berkompeten dalam mewujudkan pelayanan publik kepada masyarakat dan pelaku industri.

Hanya dengan cara-cara seperti inilah potensi permasalahan mendasar di industri pertambangan dan mineral dapat dikelola dengan baik menghadapi tantangan global menuju industrialisasi Indonesia.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus