DI awal musim semi 1919, seorang tua ketemu Lenin di Kremlin.
Waktu itu hampir dua tahun sudah Lenin berkuasa. Revolusi
komunis yangdipimpinnya berhasil menggulingkan Tsar. Raja
terakhir Rusia dan keluarganya telah dibunuh. Kediktaturan
proletariat telah ditegakkan. Pemerintahan baru pun sibuk
menyiapkan diri ke masa depan--seraya membasmi musuh-musuhnya.
Dan Rusia berwarna merah.
Ada yang melihat warna itu sebagai bayangan darah yang
mengerikan. Ada yang melihatnya sebagai fajar. Orang tua yang
ketemu Lenin pagi 10 Mei itu melihatnya sebagai kedua-duanya.
Karena itulah ia, yang tinggal di Dmitrov, di luar Moskow,
datang dan ingin berbicara.
Lenin menghormatinya. Bukan karena usia sang tamu 72 tahun. Tapi
pak tua itu adalah Pyotr Alekseyevich Koprotkin, pejuang
revolusi yang terdahulu, yang pernah hidup 41 tahun di
pembuangan.
Riwayatnya luhur. Ia putera bangsawan tinggi. Dalam usia muda,
sumbangannya kepada ilmu pengetahuan telah diakui. Hidup baik
sebenarnya terbentang di depan Pyotr Alekseyevich. Tapi Rusia di
zamannya adalah Rusia dengan penderitaan yang termashur itu, di
mana petani ditindas dan tak bisa lagi menangis. Maka pada
umurnya yang ke-33, Koprotkin menanggalkan hak-hak
kebangsawanannya, lalu berjuang untuk Rusia yang lebih adil. Ia
dipenjarakan di tahun 1874.
Berhasil melarikan diri, ia pun mengembara di Eropa, ia menulis,
mengutarakan pandangannya. Salah satu bukunya, Kenangan Seorang
Revolusionis (1889), segera mashur. Ketika Revolusi Rusia
meletus, nama Koprotkin sudah lama dikenal sampai ke hati. Juni
1917, ia pulang. Di Petrograd 60.000 orang datang
mengelu-elukannya.
Tapi ia bukan seorang Bolshewik. Ia membenci kediktaturan,
biarpun itu atas nama kaum buruh. Kemenangan Bolshewik yang
dipimpin Lenin diterimanya dengan diam. Di Dmitrov ia menjauhi
politik, menulis buku sejarah ethika--sampai suatu saat: seorang
kawan seperjuangannya ditangkap pemerintah sebagai sandera, dan
akan dihukum mati.
Ia pun datang pada Lenin. Ia menentang adanya orang tak bersalah
yang disandera oleh pemerintah, guna mencegah perlawanan "musuh
revolusi." Kepadanya Lenin mengutarakan cara-cara revolusinya.
Mencoba meyakinkan. Tapi kata Koprotkin: "Tujuan kita nampaknya
sama, tapi dalam masalah cara.. . kita sangat berbeda." Tak
berarti ia menolak untuk membantu Lenin. "Tapi bantuan kami
hanya akan berupa laporan, kepada anda, bila kesewenang-wenangan
terjadi .... "
Lenin setuju. Baginya ini lebih baik ketimbang mengungkapkan
kesalahan kaum Bolshewik secara terbuka. Prinsip ini nampak
waktu Lenin menegur seorang wartawan komunis yang bicara soal
kemerdekaan pers. "Kemerdekaan pers," kata Lenin, "akan membantu
kekuatan burjuasi dunia."
Demikianlah, sampai menjelang akhir hayatnya Kropotkin, si
pejuang tua, tak henti menulis surat kepada Lenin, dengan
kritik. Tapi akhirnya sang pemimpin marah. Toh kekerasan (dan
dekat dengan itu adalah kesewenang-wenangan) bukan cuma ekses
dari pemerintahannya, tapi telah jadi cara, bahkan dasar, dari
kediktaturan itu sendiri. "Saya bosan dengan si kolot!", sembur
Lenin.
7 Pebruari 1921, Lenin tak perlu bosan lagi. Kropotkin wafat.
Seorang yang berharap telah terlambat. Dua tahun sebelumnya
koran Pedang Merah sebetulnya telah memaklumkan: "Moralitas kami
adalah moralitas baru . . . Bagi kami, apa saja boleh." Bukankah
Izvestia juga pernah memuat laporan pembersihan di Petrograd?
"Jumlah yang ditahan seluruhnya 6.220 orang. Delapan ratus
ditembak mati."
Tak heran jika penyair Pasternak kemudian bisa menuliskan
suasana, di mana orang cemas dan mengurung diri, di mana
"membuka jendela, terasa seperti membuka nadi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini