Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Tragedi timur tengah

Tragedi timur tengah bukan hanya keunggulan israel atas teknologi dan ketahanan sistem sosial politiknya. rupanya ada anggapan bahwa ada ras yang ditakdirkan menjadi nomor satu & yang lain bangsa klas dua.

17 Juli 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MOSHE Dayan merangkak memasuki gua purba itu, dan di hadapannya terbentang ruang. Di situlah, di masa prasejarah yang telah hilang, sejumlah penghuni diam. Di sudut sana nampak tulang-tulang hewan yang telah membatu, sisa dari sebuah jamuan makan 6000 tahun yang lalu. Di sebelah sini terdapat keramik, dengan bekas jari. Di dinding, mungkin goresan lukisan. Ada juga batu rata semacam ranjang. Di situlah tinggal mereka yang -- dua ribu tahun sebelum Ibrahim -- datang ke wadi Beersheba yang berbukit-bukit. Mereka berburu ke Negev dan Gurun Sinai. Mereka mengenal tiap lipatan tanah di sini, dan mempertahankannya bila diserang. Suatu perasaan yang luar biasa pun bangun dalam diri Moshe Dayan. Ia berjongkok di dekat perapian purba itu. "Rasanya seakan api itu baru saja mati," tulisnya, "dan aku tak perlu menutupkan mataku untuk membayangkan, wanita di rumah itu membungkuk, meniup bara agar bernyala, menyiapkan makanan bagi keluarganya. Bagi keluargaku." Dan demikianlah otobiografi Dayan, Story of My Life, yang terbit di Inggris di tahun 1976 diakhiri: suatu isyarat, bahwa pemimpin Israel ini ingin mengaitkan dirinya, dan diri bangsanya, dengan semesta sejarah -- serta semesta manusia. Keluarganya, tulisnya, keluargaku. Tapi siapakah gerangan keluarga seorang Israel? Termasukkah di dalamnya manusia lain yang disebut "Arab" dan "Palestina"? Moshe dilahirkan 4 Mei 1915 di Deganiah, di bumi yang kembali disebut Israel. Di dusunnya ia punya tetangga-tetangga Arab. Ia, tulisnya, selalu bersikap "positif dan bersahabat" kepada mereka. Di masa mudanya bahkan ia pernah ditolong oleh suku Baduwi di ujung utara Laut Mati, ketika ia bepergian dan jatuh kehausan. "Aku tercengang akan kebaikan hati orang Baduwi ini," tulis Dayan pula, "begitu berbeda dari tabiat yang digambarkan dalam kisah yang kami baca dan dalam dongeng yang kami dengar dari para penetap Yahudi yang lebih tua. Mereka ternyata tak mencuri arloji, kamera atau uang kami. Mereka tak menolak untuk menolong tiga anak muda Yahudi yang kehausan, yang brewok dan diliputi debu, yang cuma bicara bahasa Arab tanpa aturan . . ." Dayan mencoba mengesankan bahwa ia tidak mau terbawa oleh purbasangka. Namun yang menyedihkan ialah bahwa dari bagian kisahnya itu pula nampak betapa dalamnya sudah gambar buruk orang Arab tersimpan di kepala orang Yahudi. Tragedi yang kini tersusun di Timur Tengah nampaknya memang punya fondasi yang sedemikian jauh. Sebab yang tengah berlangsung bukan cuma kemenangan Israel dan kekalahan Arab. Bukan cuma pencaplokan wilayah dan keterkongkongan penduduk di Gaza dan Tepi Barat. Tragedi Timur Tengah ialah bahwa supremasi militer Israel bukan saja tanda keunggulan teknologi dan ketahanan sistem sosial-politiknya. Supremasi itu juga dianggap tanda bahwa ada ras yang ditakdirkan nomor satu dan ada --yang kalah -- sebagai "bangsa kelas dua". Setidaknya kita bisa mendengarnya sayup-sayup dari sebuah cerita Abraham Yehoshua. Di sana dikisahkan seorang lontang-lantung yang akhirnya bekerja sebagai penjaga hutan. Hutan itu sebuah hutan Israel baru: pohon yang ditanam di tanah itu merupakan peringatan atas jasa teman-teman Israel di -- seluruh dunia. DI hutan baru ini, si penjaga dibantu oleh seorang buruh Arab. Laki-laki itu bisu: lidahnya telah dipotong orang dalam perang -- entah oleh pihak mana. Si Arab selalu membawa anak perempuannya yang masih kecil. Tapi orang-orang Israel curiga bahwa si gagu ini diam-diam menyiapkan rencana untuk membakar hutan, sebab di atas hutan itu, dulu, terletak kampung halamannya yang telah diambil-alih. Hutan itu akhirnya memang terbakar. Si penjaga diinterogasi. Si Arab bisu ditangkap. Si penjaga didesak untuk menguatkan tuduhan bahwa sabotase telah dilakukan. Ia akhirnya capek dan ia mau. Ia dibebaskan. Si Arab bisu itu pun diangkut polisi, dan kita tak tahu mungkinkah dia bisa membela diri. Kita juga tak tahu siapakah keluarganya. Apakah ia termasuk semesta manusia?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus