MOSHE Dayan merangkak memasuki gua purba itu, dan di hadapannya
terbentang ruang. Di situlah, di masa prasejarah yang telah
hilang, sejumlah penghuni diam.
Di sudut sana nampak tulang-tulang hewan yang telah membatu,
sisa dari sebuah jamuan makan 6000 tahun yang lalu. Di sebelah
sini terdapat keramik, dengan bekas jari. Di dinding, mungkin
goresan lukisan. Ada juga batu rata semacam ranjang.
Di situlah tinggal mereka yang -- dua ribu tahun sebelum Ibrahim
-- datang ke wadi Beersheba yang berbukit-bukit. Mereka berburu
ke Negev dan Gurun Sinai. Mereka mengenal tiap lipatan tanah di
sini, dan mempertahankannya bila diserang.
Suatu perasaan yang luar biasa pun bangun dalam diri Moshe
Dayan. Ia berjongkok di dekat perapian purba itu. "Rasanya
seakan api itu baru saja mati," tulisnya, "dan aku tak perlu
menutupkan mataku untuk membayangkan, wanita di rumah itu
membungkuk, meniup bara agar bernyala, menyiapkan makanan bagi
keluarganya. Bagi keluargaku."
Dan demikianlah otobiografi Dayan, Story of My Life, yang terbit
di Inggris di tahun 1976 diakhiri: suatu isyarat, bahwa pemimpin
Israel ini ingin mengaitkan dirinya, dan diri bangsanya, dengan
semesta sejarah -- serta semesta manusia. Keluarganya, tulisnya,
keluargaku.
Tapi siapakah gerangan keluarga seorang Israel? Termasukkah di
dalamnya manusia lain yang disebut "Arab" dan "Palestina"?
Moshe dilahirkan 4 Mei 1915 di Deganiah, di bumi yang kembali
disebut Israel. Di dusunnya ia punya tetangga-tetangga Arab. Ia,
tulisnya, selalu bersikap "positif dan bersahabat" kepada
mereka. Di masa mudanya bahkan ia pernah ditolong oleh suku
Baduwi di ujung utara Laut Mati, ketika ia bepergian dan jatuh
kehausan.
"Aku tercengang akan kebaikan hati orang Baduwi ini," tulis
Dayan pula, "begitu berbeda dari tabiat yang digambarkan dalam
kisah yang kami baca dan dalam dongeng yang kami dengar dari
para penetap Yahudi yang lebih tua. Mereka ternyata tak mencuri
arloji, kamera atau uang kami. Mereka tak menolak untuk menolong
tiga anak muda Yahudi yang kehausan, yang brewok dan diliputi
debu, yang cuma bicara bahasa Arab tanpa aturan . . ."
Dayan mencoba mengesankan bahwa ia tidak mau terbawa oleh
purbasangka. Namun yang menyedihkan ialah bahwa dari bagian
kisahnya itu pula nampak betapa dalamnya sudah gambar buruk
orang Arab tersimpan di kepala orang Yahudi. Tragedi yang kini
tersusun di Timur Tengah nampaknya memang punya fondasi yang
sedemikian jauh.
Sebab yang tengah berlangsung bukan cuma kemenangan Israel dan
kekalahan Arab. Bukan cuma pencaplokan wilayah dan
keterkongkongan penduduk di Gaza dan Tepi Barat. Tragedi Timur
Tengah ialah bahwa supremasi militer Israel bukan saja tanda
keunggulan teknologi dan ketahanan sistem sosial-politiknya.
Supremasi itu juga dianggap tanda bahwa ada ras yang ditakdirkan
nomor satu dan ada --yang kalah -- sebagai "bangsa kelas dua".
Setidaknya kita bisa mendengarnya sayup-sayup dari sebuah cerita
Abraham Yehoshua. Di sana dikisahkan seorang lontang-lantung
yang akhirnya bekerja sebagai penjaga hutan. Hutan itu sebuah
hutan Israel baru: pohon yang ditanam di tanah itu merupakan
peringatan atas jasa teman-teman Israel di -- seluruh dunia.
DI hutan baru ini, si penjaga dibantu oleh seorang buruh Arab.
Laki-laki itu bisu: lidahnya telah dipotong orang dalam perang
-- entah oleh pihak mana. Si Arab selalu membawa anak
perempuannya yang masih kecil. Tapi orang-orang Israel curiga
bahwa si gagu ini diam-diam menyiapkan rencana untuk membakar
hutan, sebab di atas hutan itu, dulu, terletak kampung
halamannya yang telah diambil-alih.
Hutan itu akhirnya memang terbakar. Si penjaga diinterogasi. Si
Arab bisu ditangkap. Si penjaga didesak untuk menguatkan tuduhan
bahwa sabotase telah dilakukan. Ia akhirnya capek dan ia mau. Ia
dibebaskan. Si Arab bisu itu pun diangkut polisi, dan kita tak
tahu mungkinkah dia bisa membela diri.
Kita juga tak tahu siapakah keluarganya. Apakah ia termasuk
semesta manusia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini