KISAH sungai yang mengalirkan susu ternyata bukan cuma ada dalam
kitab suci. Beberapa sungai di daerah Malang, Jawa Timur, dan
Boyolali, Jawa Tengah, kini benar-benar dialiri air susu. Itu
gara-gara pabrik pengolahnya tidak mampu menampungnya.
"Sejak akhir Juni lalu kami memang kelebihan produksi," kata
Bambang W., Sekretaris Koperasi Sinau Andandani Ekonomi (SAE)
Pujon, Malang kepada TEMPO. Sedikitnya 2 ton susu basi
diceburkan ke Sungai Konto di dekatnya saban hari dan setengah
ton lagi dibagikan cuma-cuma kepada orang di sekitarnya.
"Celakanya, kami belum siap memanfaatkan susu yang berlebihan
itu misalnya dengan mengkristalkan atau mengawetkan sendiri,"
kata pengurus koperasi yang menghimpun 2.338 peternak sapi perah
itu.
Selama ini, koperasi SEA Pujon daerah yang beken penghasil susu
sejak zaman Belanda -- tiap hari menyetor 22 ton (sekitar 19.500
liter) ke pabrik susu bubuk PT Food Specialities Food (Nestle)
di Waru, Surabaya. Sedang susu yang dikumpulkan dari anggota
sehari bisa mencapai 25 ton. Perusahaan susu Penanaman Modal
Asing (PMA) asal Swedia itu tidak mampu menyedot seluruhnya
--konon -- karena izin perluasan pabrik belum turun dari BKPM.
Padahal pabrik susu merk Dancow, Lactogen dan Milo itu kini
sudah menampung sekitar 65.000 liter sehari. Kecuali datang dari
Koperasi SAE, susu segar juga dibeli dari beberapa koperasi di
sekitar Surabaya. Koperasi Grati Sidoarjo mendapat jatah 8,5
ton, Koperasi Nongkojajar Pasuruan 23 ton (20.000 liter)
--termasuk 2.800 liter titipan KUD Susu Model Boyolali, Ja-Teng,
dan KUD Batu Malang 13,5 ton.
Koperasi SAE Pujon membeli susu berkadar lemak 3% dari peternak
Rp 227 dan penjualnya ke pabrik Rp 258 per liter. Ini berarti Rp
40 lebih mahal dibanding susu impor yang sudah dikeringkan dan
mutunya lebih baik.
Akibat penolakan Nestle itu, Koperasi SAE tiap hari terpaksa
"membuang" Rp 0,5 juta ke kali. Hitung-hitung, sejak 28 Juni
sampai pertengahan bulan ini, koperasi itu sudah menyalurkan
sedikitnya 30 ton susu ke sungai. Bahkan KUD Batu belakangan
juga ikut-ikutan membuang rata-rata sehari 250 liter.
Agaknya, pembuangan susu ke sungai ini -- untuk sementara
terutama -- belum memukul peternak. Koperasi sudah "teken
kontrak" menampung hasil produksi mereka ditambah "setoran
wajib" 3 liter sehari untuk seekor sapi yang dibeli peternak
dengan kredit. "Semua kerugian itu ditanggung koperasi," kata
Suardi, seorang peternak anggota Koperasi SAI. Walau tidak laku
dijual, para peternak toh tetap memeras puting sapinya. "Kalau
tidak diperah, sapi bisa sakit. Ini merugikan kami," tambah
Suardi.
Musibah "banjir" susu di sungai menimpa KUD Susu Model di
Boyolali lebih awal. Sejak Mei 1982, rata-rata 3. 200 liter susu
basi dibuang ke kali. KUD yang dipuji dan diresmikan Menmud
Koperasi Bustanil Arifin 21 Juli 1980 itu sehari mampu menampung
10.000 liter dari 1.600 sapi milik anggotanya. Dengan modal Rp
28 juta, KUD ini sebenarnya sudah memiliki 8 unit mesin
pendingin susu yang menampung 9.700 liter. "Tapi kemampuan
menyimpan cuma tahan 3 hari," kata seorang pengurusnya.
Tidak pelak lagi, KUD Susu di Boyolali -- daerah penghasil susu
jenis sapi Frisian Holstein sejak zaman penjajahan itu --
menjadi pusing mengurusi susu yang ditampungnya. Soalnya, pabrik
langganannya PT Sari Husada Yogyakarta cuma mampu menyedot 4.000
liter dengan harga Rp 265 per liternya. Selebihnya, 2.800 liter
dilempar ke Nestle di Surabaya lewat Koperasi Setiakawan
Nongkojajar, Pasuruan.
Akibat mengalirnya susu basi ke sungai itu, gubernur Ja-Tim dan
Ja-Teng menjadi sibuk. Gubernur Soenandar Prijosoedarmo minggu
lalu kontan memanggil Ketua Koperasi SAE Pujon, Kalam
Tirtorahardjo. Sedang Gubernur Ja-Teng Soepardjo Roestam turun
tangan mendatangi KUD Susu Model di Boyolali. Bukan cuma
mengusut sebab-musabab dibuangnya 3.200 liter susu ke sungai.
Sang gubernur juga membentuk tim untuk meneliti mengapa pengurus
kolerasi tidak becus mencari pasaran dan menelusuri "salah
urus" manajemennya. "Kami harus memeriksa dengan teliti, agar
tidak salah menentukan diagnosa," kata pimpinan tim Imam Kamal
kepada TEMPO.
Penyebab "banjir susu" di sungai itu kelihatannya bukan hanya
penolakan pabrik yang mengolah. Kampanye meningkatkan produksi
susu segar dengan mengimpor sapi perah boleh dibilang berhasil,
tetapi pemasarannya belum dipersiapkan dengan baik. Koperasi
susu selama ini ternyata cuma mengandalkan pemasarannya pada
pabrik susu yang memang diwajibkan pemerintah membeli sebagian
bahan bakunya dari koperasi.
Yang dikhawatirkan ialah menjalarnya "banjir susu" di sungai itu
ke daerah lain. Peternak sudah mulai was-was karena beberapa
pabrik penampungnya berniat mengerem pembelian. Untuk itu mereka
berniat meliburkan produksinya selama Lebaran. Tidak kurang dari
Presiden Soeharto sendiri meminta agar pabrik susu tidak perlu
tutup pada hari raya Idul Fitri. "Presiden menghimbau para
pengusaha pabrik susu untuk ikut merasakan kepentingan rakyat
kecil," kata Menmud Koperasi Bustanil Arifin seusai menemui
Presiden di Bina Graha minggu lalu. Bayangkan, sedikitnya 400
ribu liter akan mubazir yang mengakibatkan kerugian peternak
sekitar Rp ] 20 juta bila pabrik susu benar-benar libur
lebaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini