HEBOH mengguncang Riau menyusul tenggelamnya kapal Selat Bintan
dua pekan lalu. Kisah dimulai pada 30 Juni lalu. Malam itu KM
Selat Bintan, berbobot 140 ton, dalam perjalanannya dari
Singapura menuju Tanjungpinang, dicegat kapal patroli polisi
perairan (Satpolair) 401 di perairan Tanjunguban. Menurut polisi
sejumlah barang di kapal ini ternyata tidak dilindungi dokumen
yang sah. Harian Kompas pekan lalu mewartakan, beberapa saat
sebelumnya enam kapal patroli Bea Cukai sudah meloloskannya
masuk perairan Indonesia.
Komandan patroli Satpolair 401 Serda (pol) Aziz memerintahkan
nakhoda Selat Bintan mengarahkan kapalnya ke markas Satpolair
di Tanjungbatu, Kundur, sekitar 7 jam pelayaran dari tempat
tersebut. Saleh, sang nakhoda, kemudian mengungkapkan perintah
itu diberikan petugas Satpolair tersebut sembari menodongkan
pistolnya.
Paginya, 1 Juli, ketika Selat Bintan dalam kawalan kapal patroli
401 berada di dekat Pulau Takom, gelombang besar mulai
menghantam kapal tersebut mengakibatkan kebocoran di kamar mesin
yang menurut nakhoda tidak dapat diatasi. Untuk menyelamatkan
kapal, nakhoda memerintahkan jurumudi mengarahkan kapal ke Pulau
Pelangkat yang terdekat, walau menurut Saleh, dua polisi yang
mengawal melarang dan memaksa kapal meneruskan ke Tanjungbatu.
Mendadak mesin induk kapal mati sehingga -- karena angin kencang
dan ombak besar -- kapal terseret arus dan terbawa ke karang di
Pantai Pulau Pelangkat. Lewat isyarat tembakan, kapal patroli
401 mendekat. "Tapi bukan menolong kami melainkan menolong dua
anggota polisi yang tadi mengawal di kapal kami," cerita Saleh.
Untunglah 17 orang awak kapal bisa menyelamatkan diri ke Pulau
Pelangkat. Sekitar pukul 11.00 kapal mulai miring.
Sorenya tiga kapal polisi muncul. Setelah menyelamatkan sebagian
muatan dari kapal yang hampir tenggelam, mungkin untuk barang
bukti, para awak kapal itu ditolong dan dibawa ke Tanjungbatu.
Setelah diperiksa, malam itu juga para awak kapal tersebut
diizinkan kembali ke Tanjungpinang.
Pemilik Selat Bintan segera melancarkan protes terhadap cara
penangkapan itu. Nakhoda Saleh juga membuat laporan tertulis,
antara lain disampaikan pada Kadapol IV, tentang perlakuan buruk
para petugas patroli. Mereka mendakwa kapal patroli Satpolair
itu tidak memiliki surat perintah operasi sebagaimana lazimnya
ketentuan operasi patroli laut.
Di Pakanbaru, Kadapol IV Riau Brigjen Bobby Rahman membenarkan
adanya laporan itu. Untuk mengetahui duduk perkara sebenarnya,
satu tim khusus dipimpin Kepala Dinas Provost Kodak IV telah
diperintahkan mengusutnya. "Kalau terbukti nanti bawahan saya
bersalah, mereka gua piting," tegasnya.
Tampaknya Kadapol itu sudah melihat beberapa kekeliruan
bawahannya. Menurut petunjuk operasi patroli, bila terjadi
penangkapan di laut, tangkapan itu harus digiring ke pos atau
unit Polri terdekat atau ke pelabuhan tujuan kapal itu. Karena
itu Bobby Rahman ingin tahu alasan Serda Aziz memutuskan membawa
KM Selat Bintan ke Tanjungbaru, padahal Tanjunguban atau
Tanjungpinang lebih dekat.
Di daerah Riau sudah menjadi rahasia umum KM Selat Bintan
dianggap "primadona" dalam binis bolak-balik
Tanjungpinang-Singapura. Ada desas-desus kapal ini sering memuat
barang impor kapal ini sering memuat barang impor dalam jumlah
besar tanpa dilindungi dokumen yang sah. Bahkan di Tanjungpinang
hampir tak ada yang berani mengutik-utik kapal ini karena
"punya deking kuat", ujar sebuah sumber TEMPO. Kapal patroli
kayu Satpolair 401 yang berbobot 30 ton itu juga hanya memiliki
perintah berlayar rutin dan tidak memiliki perintah patroli
khusus.
Tenggelamnya Selat Bintan memang mencurigakan. Betulkah kapal
tenggelam karena kebocoran di kamar mesin? "Kok tiba-tiba saja
bocor," kata Kol. Kussparmono Irsan, Asisten Intelpam Kodak IV
Riau. Ada dugaan kapal sengaja ditenggelamkan untuk mengelakkan
proses hukum. Apalagi ada laporan bahwa ketika ditangkap
pengurus kapal mencoba menyogok petugas, sampai Rp 10 juta.
Menurut suatu sumber, kapal Selat Bintan antara lain mengangkut
30 ton aluminium bahan kerangka jendela nako serta barang impor
lain seharga lebih dari Rp 600 juta.
APA pun hasil pengusutan nanti, kasus Selat Bintan ini
menunjukkan betapa semrawutnya soal patroli laut di Riau. Imam
Sudrajad, Ketua DPC Insa Tanjungpinang mengakui sering menerima
keluhan anggotanya soal terlalu banyaknya kapal patroli yang
mencegat kapal yang berlayar pulang dari Singapura, terutama
kapal feri.
Sering satu kapal feri sampai empat atau lima kali dicegat
patroli dari instansi yang berbeda. Selain mengancam keselamatan
karena kapal dibiarkan berayun-ayun menunggu pemeriksaan,
kantung para cincu kapal juga terkuras. "Satu kapal feri
sedikitnya harus menyediakan upeti antara tiga sampai lima juta
rupiah untuk satu trip," cerita seorang nakhoda kapal feri.
"Seharusnya main cegat-cegatan di laut itu memang tak boleh,"
kata Laksma R. Sugiatmo, Pangdaeral II. Namun diakuinya sulit
untuk mengontrol penyimpangan tersebut karena masing-masing
instansi, Bea Cukai dan Polri, melakukan patroli
sendiri-sendiri. Padahal menurut keputusan bersama Menhankam,
Menteri Keuangan, Perhubungan, Kehakiman dan Kejaksaan Agung
semua kapal patroli dimasukkan ke dalam patroli gabungan Kamla
(Keamanan Laut).
Ternyata pada prakteknya keputusan itu tidak berjalan. Hingga di
celah-celah pulau sering puluhan kapal patroli nongkrong
"menunggu mangsa". Kapal-kapal feri itu sendiri memang tidak
bersih, sering mengangkut barang tanpa dilindungi dokumen.
"Kalau tak menyelundup dan hanya mengangkut penumpang, banyak
kapal feri yang akan gulung tikar," seorang pengusaha kapal
mengakui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini