Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tunduk kepada allah

Pengertian islam adalah sikap tunduk kepada allah dan pasrah kepada kebenaran.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CATATAN ini adalah apresiasi terhadap teologi Nurcholish Madjid yang dituangkan dalam ceramah kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 21 Oktober lalu. Catatan ini tidak bermaksud membahas seluruh permenungan yang sangat kaya itu. "Islam" tidak pertama-tama dimengerti sebagai agama, melainkan sebagai sikap tunduk kepada Allah, sikap pasrah kepada kebenaran. Sedangkan "agama" adalah pesan. Sikap keagamaan yang benar adalah semangat mencari kebenaran secara tulus dan murni, bebas dari segala kepalsuan. Semangat mencari kebenaran yang lapang dan terbuka, tidak sempit, toleran, tanpa kefanatikan, dan tidak membelenggu jiwa. Tampaknya pandangan ini bergerak ke arah de-institusionalisasi agama, serupa dengan deschooling society dari Ivan Illich. Jadi, semacam de-institutionalized religion. Tentu saja dalam batas tertentu, dan dengan demikian menempatkan agama pada fungsinya yang tepat. Penghayatan agama semacam itu, meminjam istilah Erich Fromm, dapat disebut sebagai penghayatan agama yang humanistik dan bukan agama yang otoriter. Penghayatan agama otoriter mengorbankan integritas manusiawi, sedangkan penghayatan agama humanistik membawa manusia pada keterbatasan dan pengembangan kemanusiaannya melalui pengalaman kontemplatif dan mistik. Kalau Islam tidak pertama-tama dimengerti sebagai agama tertentu, yakni agama Islam, melainkan sebagai ketundukan kepada Allah, sikap pasrah kepada kebenaran, dan sikap semacam itu terdapat juga di luar agama Islam, tanpa label Islam, maka ada semacam gambaran "Islam anonim". Kalau saya penganut Kristen (Katolik), atau Hindu, atau Buddha, atau juga kalau saya tidak beragama, dan saya mempunyai sikap tunduk kepada Allah, sikap pasrah kepada kebenaran, maka saya adalah "Islam". "Islam anonim" memang, karena tanpa nama Islam. Atau, bisa juga disebut "iman anonim", sikap keimanan yang tidak mempunyai label agama. Visi ini sungguh membuka kehidupan "Islam" lebar-lebar. Pemahaman "iman anonim" tidaklah menolak eksistensi agama, karena agama dapat berfungsi sebagai "pesan", karena agama memang menyampaikan ajaran-ajaran yang mengartikan kenyataan maupun yang mengarahkan kehidupan. Membaca pengertian "Islam", sebagaimana dikemukakan oleh Nurcholish Madjid ini, saya teringat akan visi teologis yang dikemukakan oleh Karl Rahner (almarhum), seorang teolog Kristen Katolik. Dia menggunakan istilah "Kristen anonim". Banyak diskusi mengenai hal ini, di antaranya juga pemahaman yang meleset dari maksud pencetusnya. Pemahaman yang keliru terpaku pada oposisi kata "anonim" (tanpa nama) dengan "Kristen" (ada namanya, jadi bukan anonim). Sebenarnya visi dan maksud Karl Rahner adalah untuk membuka jendela kekristenan lebar-lebar, untuk menghirup udara segar yang berada di luar "tembok-tembok Gereja", sehingga kekristenan dapat lebih menemukan kebenaran, kebaikan, dan keindahan yang berada di luar kekristenan. Visi ini sekaligus menegaskan kenyataan keselamatan manusia yang tidak dibatasi oleh tembok-tembok dengan label Kristen. Dengan kata lain visi ini membuka lebar-lebar iman Kristen terhadap iman lain. Tesis mengenai "Islam" dan "agama" yang sangat terbuka dan terlibat tersebut digelar dengan contoh-contoh penyimpangan dalam tradisi kristiani. Barangkali hal ini dapat menimbulkan kesan sikap apologetis. Seandainya demikian, maka kiranya juga apologia dalam artian positif, yakni secara rasional mempertanggungjawabkan pengakuan iman yang dianut. Apologia yang kritis dan terbuka diperlukan oleh iman dan agama mana pun. Kalau tidak, maka yang terjadi hanyalah apologia sempit atau penipuan intern, yang sekali lagi membawa kepalsuan, memperkuat ketertutupan, dan menyebabkan pemiskinan agama itu sendiri. Visi mengenai pembebasan, misalnya, juga sangat sejalan dengan visi Injili. Teologi pembebasan Islami berpangkal pada menerima Allah sebagai satu-satunya Yang Ditaati dan karena itu bebas dari kepercayaan palsu. Sejalan dengan itu tidak ada ciptaan Allah mana pun di dunia ini yang dapat disembah dan ditaati seperti itu. Konsekuensi logis ialah menolak segala macam klaim absolut yang selalu mengandung bahaya menindas dan membelenggu. Sikap cinta kepada kebenaran, sikap Islam, adalah sekaligus cinta kepada sesama manusia. Jadi, pembebasan rohani dari lingkungannya sekaligus juga bebas untuk dan bersama sesama manusia. Kalau demikian, kiranya dapat diharapkan berkembangnya komunitas pembebasan yang sejati. Permenungan Nurcholish Madjid dapat disebut sebagai refleksi pasca-modern yang menerima pluralisme dan mencari landasan spiritual yang kokoh untuk reorientasi kehidupan bersama yang lebih merdeka, lebih adil, lebih manusiawi. Dialog kehidupan dan dialog aksi yang sudah ada di antara umat beriman merupakan kekayaan yang harus terus-menerus dikembangkan. Kalau bermacam-macam medan dialog dimanfaatkan, mudah-mudahan akan semakin berkembang juga dialog spiritual. Inilah barangkali yang dimaksud gerak dari inter-religious dialogue menuju ke intra-religious dialogue. Dialog yang sejati menerima keunikan, menerima pluralisme, menerima keterbatasan manusiawi dan keterbatasan institusional. Hanya dengan penerimaan keterbatasan-keterbatasan ini akan menjadi nyata keterbukaan untuk diperkaya, kesanggupan untuk berubah, dan transformasi intern. Untuk mengakhiri mentalitas isolatif dan eksklusif, usaha-usaha yang konkret perlu ditempuh. Kecuali dialog kehidupan dan aksi yang sudah berjalan dan perlu terus dikembangkan, kiranya dapat dikembangkan juga suatu permenungan teologis lintas agama. Barangkali orientasi semacam itu pula yang digambarkan oleh Wilfred Cantwell Smith dengan gagasannya Towards a World Theology Faith and the Comparative History of Religion. Bukan mereduksikan agama-agama menjadi satu agama, bukan pula menolak keunikan dan pluralisme. Seandainya demikian, yang terjadi hanyalah pemiskinan spiritual pada semua pihak. Setiap agama memang memiliki momen-momen gelap dalam sejarahnya dan dapat banyak belajar dari sejarah. *) Dosen teologi pada IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus