Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Berbagai upaya mencegah retak

Sudah sejak awal orde baru usaha mencegah keretakan hidup beragama dan menciptakan kerukunan beragama dilakukan. dari yang berupa dialog antarpemuka agama sampai dialog antariman.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CERITA ini bermula dari peristiwa Meulaboh, Aceh Barat. Di tengah perkampungan muslim yang tidak ada pemeluk Kristennya itu, dibangun sebuah gereja. Majelis Ulama dan masyarakat setempat tidak setuju, mereka minta Pemerintah Daerah untuk menutup dan menghentikan pembangunannya. Soalnya, menurut ulama-ulama itu, pembangunan gereja di daerah itu jelas tidak sesuai dengan kondisi psikologis dan sosial masyarakat di situ. Lalu berkembanglah isu dahsyat: gereja dibakar masyarakat. Meskipun Kolonel Hasbi Wahidi, pejabat Gubernur Aceh waktu itu, membantah bahwa peristiwa itu "penundaan pembukaannya saja", telah sempat berkembang luas secara nasional, karena diberitakan secara besar-besar oleh pers Ibu Kota. Itu terjadi pada pertengahan tahun 1967. Konflik tersebut terus berlanjut ke DPR, yang ketika itu bernama DPRGR (Gotong Royong). J.C.T. Simorangkir, salah satu anggota DPRGR dari kalangan Kristen, bangkit mengajukan interpelasi (minta penjelasan) kepada Pemerintah. Di situ Simorangkir menyatakan tindakan masyarakat Meulaboh itu meragukan kemurnian pelaksanaan sila pertama dari Pancasila. Interpelasi Simorangkir dan kawan-kawannya itu dibahas pada Sidang Paripurna DPRGR, 14 Juli 1967. Setelah itu muncul interpelasi Lukman Harun, anggota DPRGR dari kalangan Muhammadiyah. Dalam interpelasi yang dibacakannya di DPRGR pada 27 Juli 1967 itu, Lukman meminta keterangan kepada Pemerintah tentang bantuan luar negeri kepada agama-agama atau badan-badan keagamaan di Indonesia. Soalnya, Lukman melihat betapa hebatnya perkembangan dan ekspansi agama Kristen ketika itu. Semua itu, menurut Lukman, tak lepas dari bantuan luar negeri. Interpelasi Lukman itu ditolak oleh Pemerintah lewat Menteri Agama K.H.M. Dachlan setahun kemudian. Kata Menteri, Pemerintah melihat agama bersifat universal: tidak mengenal perbedaan bangsa, warna kulit, golongan, dan sebagainya. Beberapa bulan kemudian, perusakan gereja terjadi lagi, kali ini di Indonesia Timur. Itu dibenarkan oleh Pangdam XIII Hasanudin yang ketika itu dijabat oleh Solihin G.P. Dua peristiwa di atas itulah yang mendorong diadakannya Musyawarah Antaragama oleh Pemerintah pada 30 November 1967 di Gedung Dewan Pertimbangan Agung, Jakarta. Hadir di situ, tokoh-tokoh Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Pihak Pemerintah mengusulkan, di samping perlunya dibentuk Badan Kontak Antaragama, juga perlu ditandatangani bersama satu piagam yang isinya "menerima anjuran Presiden agar tidak menjadikan umat yang sudah beragama sebagai sasaran penyebaran agama lain." Itu tergambar pada pidato sambutan Pejabat Presiden Soeharto, "Pemerintah wajib merasa prihatin bila penyebaran agama itu semata-mata ditujukan untuk memperbanyak pengikut, lebih-lebih bila cara penyebarannya dapat menimbulkan kesan bagi masyarakat pemeluk agama yang lain, seolah-olah ditujukan kepada orang-orang yang telah memeluk agama tersebut." Tapi musyawarah itu hanya menerima pembentukan Badan Kontak Antaragama, sedangkan untuk soal piagam tidak diperoleh kata sepakat. Tampaknya ada "sesuatu" yang mengganjal pada pihak Kristen untuk menandatangani piagam tersebut. Itu tergambar dari ucapan almarhum Dr. Tambunan, salah seorang tokoh Kristen pada pertemuan itu, bahwa bagi orang Kristen menyebarkan Injil kepada orang yang belum Kristen adalah titah Ilahi, yang wajib dijunjung tinggi. Tambunan berpegang pada, "Dan kamu akan menjadi saksi bagiku, baik di Yerusalem, baik di seluruh tanah Yudea atau di Samaria, sehingga sampai di ujung bumi."(Kisah Rasul-Rasul 1:8). Ayat lain menyebutkan, "pergilah ke seluruh dunia dan maklumkanlah Injil ke seluruh makhluk." (Markus 16:15). Kedua ayat itu ditafsirkan oleh umat Kristen sebagai "kewajiban berdakwah". Meskipun musyawarah antaragama itu dinilai gagal oleh sebagian orang karena rencana piagam tidak jadi ditandatangani, setidaknya sudah terjadi pertemuan, dan sudah ada pembicaraan. Pihak Kristen, terutama Letjen. (Purn.) Simatupang dan Dr. Tambunan, menganjurkan agar pertemuan seperti itu diadakan lagi. Waktu itu Hamka, seorang ulama Islam terkemuka, menilai musyawarah itu membawa hasil positif bagi golongan Kristen. Sebab, katanya, sejak Indonesia merdeka sampai musyawarah itu berlangsung, barulah dalam musyawarah itu umat Kristen dapat mengatakan terus terang di hadapan para pemimpin, pemuka Islam, dan ulama, bahwa mengkristenkan seluruh umat Islam adalah tugas suci mereka. Di sisi lain, Hamka pun menilai musyawarah itu juga berhasil dari sudut pandangan orang Islam. Menurut Hamka, musyawarah itu membuat orang Islam yang imannya di tingkat ilmu yaqin, kini menjadi ainul yaqin, bahkan haqqul yaqin, pada Surat Al Baqarah ayat 20: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani sekali-kali tidak merasa rela atau senang kepadamu sebelum kamu mengikuti agama mereka." Berhasil atau tak berhasil, musyawarah itu belum meletakkan dasar bagi satu kerukunan beragama. Barulah pada tahun 1971, ketika Prof. Dr. Mukti Ali yang ahli ilmu perbandingan agama itu menjadi menteri agama, sebuah upaya baru untuk terciptanya kerukunan beragama diadakan lagi. Ketika itu Mukti Ali melontarkan gagasan dialog antarpemuka agama, sebagai upaya untuk mempertemukan tokoh-tokoh berbagai agama dalam satu percakapan bebas dan terus terang. Maksudnya, di forum itu masing-masing pihak bebas saling mengemukakan pendapatnya tentang masalah-masalah kemasyarakatan yang menjadi kepenting bersama, selain yang menyangkut perbedaan-perbedaan dalam bidang teologis. Harap maklum, gagasan itu tercetus karena pada waktu itu hubungan antaragama semakin runcing, terutama yang berkaitan dengan sangat santernya isu Kristenisasi pada akhir tahun 1960-an. Sejak itu Departemen Agama memprogramkan dialog antarpemuka agama lewat Proyek Kerukunan Hidup Beragama. Dari tahun 1972 sampai tahun 1977, proyek tersebut telah menyelenggarakan 23 kali dialog di 21 kota. Dari 23 pertemuan itu topik-topik yang didiskusikan, antara lain, tentang kerukunan dan toleransi umat beragama, kode etik pergaulan dan penyebaran agama, wadah kerja sama antarumat beragama. Untuk mengukur keberhasilan program dialog itu memang sulit. Itu diakui Djohan Effendi, orang Departemen Agama yang pernah ikut menangani proyek tersebut. Tapi, menurut Djohan, kalau dilihat dari sikap terhadap program itu dan topik-topik yang dibahas, program dialog itu bisa dianggap mengalami kemajuan. Sebab, pada mulanya program dialog itu diterima dengan keraguan, ternyata setelah berjalan beberapa kali mendapat tanggapan yang positif. Bahkan, hampir semua buku laporan dialog mencantumkan saran agar program dialog diteruskan dan ditingkatkan, yakni dari dialog kata ke dialog karya. Di samping itu, menurut Djohan, terdapat juga hasil nyata walau tidak kentara, yakni terbinanya saling mengenal di antara pemuka berbagai agama. Itu merupakan sikap kunci untuk saling menghormati, dan akhirnya diharapkan menimbulkan saling mempercayai satu sama lain. Bukankah ada kata pepatah, tak kenal maka tak sayang. Sayangnya, program dialog ini tak kedengaran lagi setelah Mukti Ali tak lagi menjadi menteri agama, dalam kabinet tahun 1978. Selain keberhasilan yang dikemukakan Djohan di atas, memang tidak terlihat bentuk lain dari keberhasilan program dialog itu. Maka bisa diasumsikan, ketegangan sosial di antara umat beragama, terutama antara Islam dan Kristen, masih tetap potensial di beberapa tempat. Memang, mengharapkan ketegangan sosial antaragama musnah sama sekali rasanya tak mungkin. Yang bisa diharapkan, adalah berkurangnya kemungkinan potensi ketegangan meledak jadi konflik fisik. Dan tampaknya, itu pun belum terjadi setelah 23 kali terjadi dialog antaragama itu. Ada yang mencoba menjelaskan mengapa hasil yang diharapkan belum juga terwujud. Kata Abdurrahman Wahid, Ketua PB NU itu: "Itu karena tekanan kerukunan hidup beragama pada sikap saling menghormati. Padahal mestinya tekanan itu pada munculnya rasa saling memiliki sebagai sesama warga bangsa Indonesia." Abdurrahman mengutip almarhum Kiai Ahmad Siddiq, yang dulu menjabat rais am NU, tentang konsep ukhuwah wathoniyah, atau persaudaraan (karena) kebangsaan. "Konsep saudara sebangsa ini yang belum dikembangkan jauh," katanya. Ada yang mencoba menembus kebekuan jalan menuju kerukunan hidup beragama dengan konsep lain lagi. Beberapa pemikir agama berkumpul di Yogyakarta, awal Agustus lalu, dan membentuk yang disebut Dialog Antar-Iman, dipendekkan jadi Dian. Di lembaga kecil yang dimotori antara lain oleh Th. Sumartana, teolog Protestan, dan Djohan Effendi, seorang pemikir Islam itu, mereka mencoba mengadakan dialog yang tak berhenti pada pemahaman keagamaan, tapi "berbagi pengalaman". Itu sebabnya lembaga ini bernama dialog iman, bukan dialog antaragama. Menurut Th. Sumartana, iman itu ada pada tingkat yang lebih pribadi. Jadi, lebih bebas. Sedangkan agama, katanya, lebih mengacu kepada institusi, hierarki, dan organisasi. Jadi, lebih formal. Dalam usianya yang baru empat bulan, mungkin terlalu pagi untuk melihat apa yang sudah dibuahkan oleh Dian. Malah, menurut Th. Sumartana pekan lalu, hasil dialog sejauh ini belum menyentuh kebanyakan orang awam, termasuk juga para ujung tombak pada masing-masing agama yang sudah mencoba datang di kantor Dian, dan bertemu dengan berbagai pemeluk agama. Bahkan pernah suatu hari dialog yang diadakan macet, karena seorang peserta sulit sekali menerima pendapat pihak lain, sedangkan ia sendiri memaksakan pendapatnya agar diterima oleh semua. Tapi langkah-langkah inovatif seperti itu rasanya masih sangat terbatas. Yang banyak adalah upaya klasik, yakni menyelenggarakan dialog antaragama yang sasarannya hanya sampai pada saling memahami. Salah satu cara untuk itu adalah menyelenggarakan seminar antaragama. Dalam dua tahun terakhir ini terasa sekali kegiatan seminar itu. Misalnya, Seminar Internasional Tentang Agama-Agama dan Perkembangan Kontemporer di Yogyakarta, September lalu Seminar Agama dan Masyarakat di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, bulan lalu. Dari semua upaya itu, kemudian terasa bahwa yang ditawarkan oleh Nurcholish Madjid memang memberikan dimensi baru, meskipun materi pemikirannya sudah implisit dalam ajaran Islam. Ada yang bilang, pemikiran Nurcholish bisa disejajarkan dengan pemikiran Muhammad Iqbal, pemikir Islam terkemuka dari Pakistan, ketika ia melontarkan "membangun kembali pemikiran Islam" di tahun 1930-an: sebuah upaya membangkitkan kembali intelektualisme Islam. Julizar Kasiri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus