Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dari sawah ke coffee morning

Gubernur soelarso menuduh calo mendongkrak harga tanah di surabaya. gubernur penggantinya harus mengerti ekonomi.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOMI Jawa Timur tumbuh 7,5%, lebih tinggi dari rata-rata nasional. Gubernur Soelarso sejak memangku jabatannya, 1988, memang meletakkan industrialisasi sebagai prioritas utama. Konon ada ambisi untuk menjadikan Ja-Tim sebagai pintu gerbang lalu lintas bisnis Indonesia Bagian Timur. Dia pun ngebut memacu pengusaha. Maka, ada saja suara sumbang yang bilang Gubernur Soelarso terlampau "dekat" dengan kaum usahawan. Toh bekas Pangdam Brawijaya kelahiran Semarang berusia 63 tahun ini punya jawaban, "Lho...Pak Harto kan juga dekat dengan pengusaha," kata alumnus Breda yang punya hobi menggenjot sepeda ini. Jalan memang tak selalu mulus. Kasus tanah Surabaya Sport Centre (SSC) yang menyeret sejumlah pejabat teras Surabaya adalah salah satu contohnya. Ia dengan blak-blakan bicara soal konsep pembangunan di Ja-Tim, penyelewengan SSC, manipulasi tanah, dan lain-lain dalam wawancara khusus dengan tim TEMPO dari Biro Surabaya Oktober lalu. Berikut petikannya: Di Surabaya dan Jawa Timur ramai mencuat kasus-kasus tanah. Kasus Surabaya Sport Centre, contohnya. Bagaimana duduk soalnya? SSC adalah suatu proyek yang dipersiapkan untuk Pekan Olah Raga Nasional (PON) ke-14 tahun 1997. Kami harus membangun sarana olah raga, tapi tak punya dana. Sedangkan Pemda Surabaya punya tanah-tanah ganjaran. Yaitu, tanah bengkok yang berubah menjadi tanah negara. Tanah ganjaran ini bisa dialihkan untuk membiayai SSC. Jika kemudian muncul persoalan, itu kasus saja. Untuk ukuran Jawa Timur, proyek ini cukup besar. Sampai sekarang proyek ini jalan terus. Bahkan Pemda Kodya Surabaya sudah membebaskan 17 hektare dari rencana 100 hektare. Tentang kasusnya...yang salah ditindak, yang tidak salah, ya, terus. Bagaimana kasus tanah lainnya di Jawa Timur? Penduduk Jawa Timur sekarang ini sudah 32,5 juta. Tingkat pertumbuhannya 1,08%. Ini memusingkan. Tahun 2000 nanti Jawa Timur berpenduduk 37 juta, tahun 2020 menjadi 42 juta. Setelah itu diharapkan pertumbuhannya zero. Bayangkan, 42 juta penduduk berjejal dalam tanah seluas 48 ribu kilometer persegi. Dan sebagian besar penduduk masih mengandalkan hidupnya dari pertanian. Karena itu nilai tanah sangat tinggi dan persoalan tanah menjadi peka dan dilematis. Belum lagi urusan calo. Saya beri contoh. Kalau dia tahu ada suatu proyek, calo-calo itu langsung masuk. Dia tak membeli tanah, tapi pemilik tanah langsung diberi duit. Setelah itu para calo itu bilang, kalau nanti tanah akan dibebaskan, kamu harus minta harga sekian. Kalau begini, mana kita bisa membangun. Bagaimana soal tanah di Jalan Urip Sumoharjo yang strategis itu? Tanah itu jelas milik negara. Kalau dibiarkan seperti sekarang jelas tak sesuai dengan tata kota. Dan penduduk tetap tinggal di perkampungan kumuh. Lagi pula, jika dibiarkan menjadi perkampungan, tak akan menghasilkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang sesuai dengan status tanah yang nilainya sangat strategis. Padahal, pertumbuhan Kota Surabaya ini memerlukan pendapatan asli daerah yang terus meningkat. Bandingkan, pendapatan DKI itu Rp 500 milyar, Surabaya hanya Rp 48 milyar atau sekitar 10% saja. Padahal beban Kota Surabaya dan Jakarta hampir sama. Maksudnya? Kita tahu Surabaya beberapa kali mendapatkan penghargaan nasional (Pada 1992 Adipura Kencana), dan internasional (Oktober lalu Wali Kota Surabaya, Poernomo Kasidi, menerima "Habitat Award" di PBB). Penghargaan ini diberikan untuk prestasi perbaikan kampung kumuh di Surabaya. Jakarta dan Surabaya sama-sama menghadapi urbanisasi. Saya ada gagasan untuk meniru Singapura. Di sana pembebasan tanah dilakukan oleh pemerintah. Lalu rakyatnya ditampung pada rumah-rumah yang lebih baik. Karenanya, kota di sana bisa teratur dan bagus. Apa kendalanya di sini? Saya kasih contoh tentang proyek Inpres pelebaran jalan. Ini sulitnya setengah mati. Jalan itu kan milik Pemerintah. Tapi jika ada bangunan penduduk terkena pelebaran, mereka minta ganti. Juga mereka yang tinggal di pinggir kali. Tapi ganti rugi terlalu rendah.... Terkadang penduduk tak punya bukti surat kepemilikan tanah. Tapi kita juga tak bisa mengusir paksa. Kami menawarkan jalan keluar, misalnya pindah ke tempat lain. Tapi umumnya penduduk bertahan, bahkan minta ganti rugi yang berlimpah. Ini juga dihadapi Jakarta. Apakah Pemda Ja-Tim tak mengantisipasi kemungkinan kesulitan tanah ini? Yang membikin sulit itu sebenarnya calo atau lembaga bantuan hukum yang seolah-olah menjadi pahlawan. Misalnya kasus Tubanan. Warga tak punya surat-surat. Dan sudah meneken dan menerima pembayaran ganti rugi. Salahnya, mereka tak langsung dipindahkan. Urusan menjadi bertele-tele. Dalam perkembangannya, melihat harga tanah terus naik, mereka minta tambahan ganti rugi. Jika diselesaikan di pengadilan, penduduk jelas akan kalah. Investor, salahnya, juga tak langsung memindahkan penduduk dulu. Tapi yang kami amati di lapangan, penduduk merasa tertipu karena tanah negara itu ternyata untuk perumahan mewah swasta. Itulah, mereka lantas menuntut tambahan ganti rugi.... Itu tak benar. Ketika Tubanan dibebaskan, 1973, belum ada peraturan seperti sekarang ini yang harus dijalankan sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri -- yakni pembebasan tanah harus melalui musyawarah atau tawar-menawar antara pemilik dan pembeli. Tanah di Tubanan, yang membebaskan memang P2TUN (Panitia Pembebasan Tanah untuk Negara). Dulu peraturannya begitu, yang membebaskan Pemerintah. Sekarang kan tidak, investor harus berunding dengan pemilik tanah. Ada kabar oknum Pemda juga ikut "main" dalam jual beli tanah? Itu bukan pola. Kalau penyelewengan itu di mana-mana ada. Pernah ada konsep menjadikan Surabaya kota indarmadi (industri, perdagangan, maritim, dan pendidikan). Bagaimana realisasinya? Industri manufaktur akan tumbuh di suatu daerah yang mempunyai sarana yang lengkap. Misalnya, dekat dengan pelabuhan, angkutan mudah, dan ada fasilitas perbankan. Umumnya fasilitas itu tersedia di Kota Surabaya dan kota-kota lain di sekitarnya yang disebut Gerbang Kertasusila (Gresik, Bangkalan, Mojokerto, Sidoarjo, dan Lamongan). Konsep Gerbang Kertasusila ini adalah konsep terpadu untuk membangun Surabaya dan daerah di sekitarnya. Kota Surabaya akan berkembang terus. Tapi dalam perkembangannya tak perlu mencaplok daerah Gresik, Sidoarjo, dan lainnya. Malah daerah lain bisa memanfaatkan luberan Surabaya. Terminal baru Bungurasih, contohnya, dinikmati Surabaya dan Sidoarjo. Areal industri di Surabaya sudah tak cocok. Jadi harus pindah ke daerah lain. Surabaya berkembang ke barat dan timur. Sudah ada tiga investor (Sac Nusantara, Pakuwon Jati, Dharmala Land) yang siap menyulap daerah pantai menjadi areal bisnis, hiburan, dan permukiman. Bukankah itu tanah konservasi? Anda jangan terpengaruh pemberitaan soal Pantai Indah Kapuk di Jakarta. Pembangunan tanah Kapuk di Jakarta jangan dilihat negatifnya. Kota Jurong di Malaysia dulu juga seperti itu. Bandara Changhi, Singapura, juga dikritik. Tapi lalu ditata. Pembangunan harus diperhitungkan sesuai dengan amdalnya. Pembangunan Surabaya kawasan Timur itu konsultannya dari Amerika, Paul Rudolph. Pembangunan kawasan itu belum bisa berjalan karena tight-money policy. Siapa yang bisa investasi dengan bunga yang begitu tinggi. Bagaimana soal status tanah konservasi tadi? Tidak benar. Itu bukan tanah konservasi. Itu kan tanah tambak. Kalau tanah konservasi kan milik Departemen Kehutanan. Di situ tanah tambak rakyat. Lain dengan Pantai Indah Kapuk yang memang tanahnya Departemen Kehutanan. Memang ada daerah-daerah yang harus dikonservasikan. Ekonomi Jawa Timur tumbuh di atas 7%. Bagaimana konsep pembangunan di Ja-Tim? Soal Ja-Tim, data yang saya terima dari Bapenas, peningkatan PDRB Jawa Timur memang cukup tinggi. Meski tahun ini investasi turun, tapi yang menggembirakan ekspor naik terus. Ekspor tahun ini diramalkan sampai US$ 2 milyar. Ini bukan karena kebetulan. Saya kira ini modal untuk ekspansi dan pengembangan. Saya ke luar negeri ini ada tujuannya. Saya membina hubungan dengan Osaka, Australia, dan kemarin ke Amerika. Itu adalah untuk mencari peluang-peluang pasar. Nyatanya produk-produk kami sudah bisa diterima di Amerika. Waktu saya di Amerika, saya menandatangani perjanjian ekspor udang yang langsung ke Amerika. Dulu kalau ekspor ke Amerika kan harus lewat Jepang atau Taiwan. Kalau titik berat diletakkan pada industrialisasi, mengapa perlu ada proyek mercu suar seperti Jembatan Madura dan Surabaya Sport Centre? Jembatan Madura bukan proyek prestisius. Jembatan Madura itu paling-paling investasinya Rp 300 milyar. Ini kan tak seberapa. Sekarang kan banyak proyek-proyek yang didanai lebih dari itu. Dan guna Jembatan Madura untuk mengantisipasi jangka panjang. Ide Anda tampaknya menyangkut proyek-proyek besar. Bagaimana bisa terlaksana? Jembatan Madura macet... Saya kira bisa. Ini kan makan waktu (Jembatan Madura menurut rencana dibangun tahun 1993, tapi hingga sekarang belum ada investor yang sanggup mendanainya. Summa Group dulu berniat menggarap proyek ini, tapi kemudian mundur, Red.). Karena semuanya kan bukan dana Pemerintah. Jembatan Madura didanai swasta. Proyek air bersih Umbulan, Pasuruan, juga akan dibangun swasta dengan sistem BOT (build operation transfer) dan kini masih mencari investor. Tahun depan masa jabatan Anda selesai. Kalau tak terpilih lagi, bagaimana gagasan-gagasan besar ini diwujudkan? Saya memang tak mengharapkan...karena faktor usia dan lain sebagainya. Menurut saya, Gubernur Ja-Tim yang akan datang harus mempunyai wawasan dan latar belakang yang cukup dalam kaitan pembangunan ini. Jika gubernurnya tak mengerti ekonomi, ya, repot. Nanti bisa diapusi (dibohongi) stafnya saja. Ada yang bilang Anda terlalu dekat dengan kalangan bisnis, lupa turun ke bawah? Mereka melihat dari kulitnya saja. Dan dia kan tak tahu bahwa prioritas saya adalah pertama mencapai laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan kedua pemerataan. Untuk laju pertumbuhan ekonomi ini, sesuai dengan sistem ekonomi pasar kita, sektor swasta harus dipacu. Nyatanya sudah berhasil. Tinggal pemerataannya. Untuk mencapai pemerataan ini banyak caranya, apakah itu harus lewat semacam KIK (Kredit Investasi Kecil) atau industri kecil di pedesaan. Semua itu harus dikembangkan. Ada suara sumbang yang menuduh Anda terlalu dekat dengan pengusaha tadi? Lha, wong Presiden juga dekat dengan pengusaha. Nyatanya investasi kita meningkat terus. Dan itu penting. Lha, kalau saya tiap hari "turut galengan" (menyusuri pematang sawah) mana ada investor yang tergaet. Tapi bukan berarti saya melalaikan yang lain. Buktinya, produksi pertanian naik terus. Tahun ini produksi beras Jawa Timur naik 5,7%. Tertinggi, sehingga bisa ekspor 300 ribu ton. Dekatnya saya dengan kalangan bisnis, itu untuk memberikan pengarahan dan pembinaan. Bukan dekat untuk minta duit. Saya memang sering menghadiri coffe morning dengan kalangan bisnis. Pertemuan ini penting untuk menjaga kontak. Bukan berarti saya memanjakan pengusaha.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus