BARANGKALI memang tak mudah menyulap Surabaya menjadi kota metropolitan yang gemerlap -- salah satu ide besar Gubernur Jawa Timur Soelarso, yang masa tugasnya berakhir beberapa bulan lagi. Ekonomi tumbuh meyakinkan, industri berkembang. Namun ide besar menjadi "pintu gerbang" di Indonesia Timur itu ada pula aralnya. Kasus pembebasan tanah Surabaya Sport Centre (SSC) adalah salah satunya. Dan kasus ini tampaknya menggaet sejumlah pejabat di lingkungan pemerintah daerah setempat. Sampai-sampai dua pekan lalu Gubernur Soelarso menindak 20 aparat Pemda Kota Madya Surabaya. Mereka diduga terlibat kasus pembebasan tanah ratusan hektare untuk membiayai pembangunan SSC dan pembebasan tanah untuk SSC sendiri. Ada yang sekadar dibebastugaskan, dan ada pula yang dimutasikan ke luar Surabaya, tergantung tingkat kesalahannya. Salah satu yang disebut-sebut ditindak itu adalah Munief Achmad, bekas Kepala Bagian Keuangan Pemda Kota Madya Surabaya, yang kini "disimpan" menjadi staf di Bappeda. Tindakan Soelarso ini merupakan kelanjutan kerja tim Harwin. Tim Harwin adalah julukan sebuah tim bentukan Soelarso. Tim yang dipimpin Wakil Gubernur Bidang Kesra Harwin Wasisto ini bertugas meneliti penyimpangan dalam kasus pembebasan tanah, antara lain seluas 100 hektare untuk SSC di Desa Keputih. Tim Harwin meneliti keterlibatan sejumlah aparat pemerintah setelah tim Bakorstanasda Jawa Timur memeriksa semua yang diduga terlibat. "Terutama untuk memilah-milah sanksi apa yang kiranya pas kepada mereka yang terlibat dan dianggap bersalah," kata Ketua Bakorstanasda, Mayjen R. Hartono, yang juga Pangdam Brawijaya. Harwin dalam laporannya kepada gubernur 30 November lalu menyebutkan, dari 20 orang aparat Pemda Kota Madya Surabaya yang diperiksa, 7 di antaranya tergolong salah berat. Namun, dalam penelitian lanjutan, Soelarso menganggap 9 orang salah berat. Selebihnya, 4 orang tergolong sedang-sedang dan 7 orang ringan. Sanksi yang sudah dijatuhkan, seperti diungkapkan sebelumnya oleh Kepala Direktorat Sospol Ja-Tim Soeryadi Setiawan, cuma mutasi, penundaan kenaikan pangkat, dan sejenisnya. Kesalahan mereka, untuk sementara, sebatas pada penyimpangan prosedur pembebasan tanah. Seharusnya dibentuk Panitia Pembebasan Tanah Untuk Negara (P2TUN). Mereka yang diperiksa itu ternyata cuma membentuk tim khusus. "Ini kesalahan mendasar," katanya. Sanksi administratif yang dijatuhkan Soelarso itu tampaknya cuma untuk keperluan intern pemerintah daerah. Sebab Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, yang menjadi bagian tim Bakorstanasda, juga terusik untuk mengusut aparat yang "nyeleweng" secara intensif dengan pasal pidana. Kini Kepala Kejaksaan Tinggi Murni Rauf tengah mengusut sejumlah pejabat. Seperti Chusen Chasbullah (Ketua Bappeda Kodya Surabaya), bekas Kepala Bagian Keuangan Kodya Munief Achmad, Alex Amirullah, Asisten II Sekwilda, dan Soenyoto, kini pembantu Bupati Situbondo di Besuki. Chusen diduga sebagai orang yang pertama kali memunculkan proyek SSC dan menawarkannya kepada sejumlah investor. Kepada TEMPO, Chusen mengakui sebagai orang yang paling tahu tentang proyek SSC. Sedangkan Munief disebut-sebut sebagai orang yang menerima uang setoran dari para investor ke dalam rekening pribadinya di Bank Summa dan Bank Asia Pasifik. Dan Alex dicurigai menerima uang untuk membebaskan tanah SSC dari PT Sac Nusantara senilai Rp 600 juta lebih. Bagaimana hasilnya? Sumber TEMPO di Kejaksaan Tinggi menyebutkan bahwa semua yang diperiksa masih membantah melakukan "tindakan merugikan negara". Munief Achmad, misalnya, mengatakan bahwa uang proyek itu tak ada yang digunakannya untuk kepentingan pribadi. "Lagi pula, penyimpanan ke dalam rekening pribadinya itu atas persetujuan Wali Kota Surabaya Poernomo Kasidi," kata sumber itu menirukan Munief. Tujuannya untuk memudahkan pencairan jika sewaktu-waktu diperlukan. Kendati demikian, kata sumber itu, pemeriksaan sudah mengarah pada pengumpulan bukti untuk memperkuat tuduhan tindak pidana korupsi. Sebenarnya tak cuma kasus tanah SSC yang menjadi gunjingan di Surabaya. Sebelumnya sejumlah persoalan ruwet soal tanah juga terjadi di jantung kota atau "segitiga emas" Surabaya di Jalan Urip Sumoharjo. Juga kasus pembebasan tanah pinggiran Kota Karang Pilang, Tandes, dan Tubanan. Kasus mafia tanah Sukolilo yang melibatkan terdakwa Kadjen -- yang dibebaskan 24 November lalu -- sempat pula mencuat. Malah kasus tanah di Cangkringmalang sempat pula "menggoyang" Bupati Pasuruan Sihabuddin. Kasus SSC sendiri muncul ke permukaan setelah rencana pembangunan stadion kelas internasional, yang mestinya sudah dimulai tahun 1991, terkatung-katung. Padahal stadion itu disiapkan untuk penyelenggaraan Pesta Olah Raga Nasional 1997. Penyebabnya, seperti diceritakan di atas, ya itu tadi, pembebasan tanah untuk biayanya dan tanah SSC sendiri macet. Seorang investor yang mengaku telah menanam dana Rp 2 milyar untuk pembebasan tanah konon cuap-cuap karena takut proyeknya kandas. Dari situlah rupanya "udara panas" Surabaya mulai mendidih. Isu ini bergulir kencang sampai-sampai Pemda setempat terpaksa minta bantuan Bakorstanasda untuk mengusutnya. Seperti diketahui, instansi yang memeriksa kasus itu menemukan bahwa proyek pembangunan SSC itu tak ditenderkan. Aparat pemda juga meminta "uang partisipasi" yang tak jelas penggunaannya. Tapi uang itu konon dimaksudkan untuk melancarkan pembebasan tanah SSC yang 100 hektare itu. Besarnya Rp 2 milyar. Karuan saja, temuan Bakorstanasda membuat sejumlah investor dan pejabat kelimpungan. "Saya sampai sulit tidur," kata Jacob Hendrawan, Presiden Direktur PT Unicomindo, dari grup Sac Nusantara, salah satu investor dari tiga investor yang akan membangun SSC. Ia mengaku tak tahan dihantam kiri dan kanan. Isu yang beredar menyebut "uang bancakan" (kenduri) yang diperebutkan oleh beberapa aparat Pemda Kota Madya Surabaya sekitar Rp 17 milyar. Namun seorang investor yang menyetorkan uang membantahnya. "Yang benar adalah Rp 2 milyar. Ya, itu sebagai uang partisipasi dari tiga investor untuk pembebasan tanah seluas 100 hektare untuk lokasi SSC itu," katanya sambil menolak disebut namanya. Ketiga investor itu masing-masing PT Sac Nusantara, PT Dharmala, dan PT Pakuwon Jati. Kenapa hal itu terjadi? Menurut seorang investor yang enggan disebut namanya, berdasarkan surat Wali Kota Surabaya kepada Kepala Kantor Badan Pertanahan Ja-Tim tanggal 2 Agustus 1990, ketiga investor telah mendapatkan izin pembebasan tanah seluas 3.200 hektare di kawasan Kecamatan Sukolilo dan kecamatan Rungkut. Surat Wali Kota Poernomokasidi itu menyebut areal tanah seluas itu sebagai peruntukan kawasan pariwisata, bisnis, dan hiburan Pantai Marina. "Dari sinilah ada sejumlah investor yang ingin ikut serta membangun," katanya. Akhirnya kelompok Dharmala mendapat jatah 1.600 hektare, kelompok Sac Nusantara memperoleh 1.000 hektare, dan grup Pakuwon Jati 590 hektare. Sebagian lahan seluas 3.200 hektare itu termasuk tanah konservasi. Namun para investor menjamin akan menggunakan semestinya. "Tanah-tanah itu sudah menjadi tambak-tambak dan ditempati penduduk," katanya. Bahkan areal tanah konservasi, yang mestinya dipayungi hutan bakau, pun kini sudah habis. Untuk membebaskan tanah SSC itu pihak Pemda mematok dana sebesar Rp 2 milyar. Ini berdasarkan perhitungan harga tanah waktu itu cuma Rp 2.000 per meter. Jadi untuk membebaskan tanah itu sebuah sumber yang mengetahui mengatakan bahwa tiga konsorsium itu yang harus menyediakan uang. Dana partisipasi tadi masing-masing disediakan Sac Nusantara Rp 630 juta, Pakuwon Jati Rp 370 juta, dan Dharmala Rp 1 milyar. Uang bancakan itulah yang kini jadi gunjingan masyarakat Jawa Timur. Kabarnya Sac Nusantara telah menyerahkan dana sebesar Rp 630 juta kepada Alex Amirullah, Asisten II Pemda Kodya Surbaya, September 1990. Sedangkan Dharmala kabarnya baru menyetor Rp 160 juta dan Pakuwon Jati Rp 50 juta. Persoalan merebak dan ramai setelah belakangan diketahui bahwa dana partisipasi dari tiga investor ini tak masuk ke kas Pemda. Namun pihak investor sendiri tampaknya tak begitu pusing di mana uang itu. Yang disoalkan, kenapa pembebasan tanah macet dan SSC pun tak bisa dibangun. Belakangan konon seorang pejabat Pemda Kodya Surabaya datang kepada seorang investor dan mengabarkan bahwa uang itu tak cukup. Cuma mampu membebaskan 18 hektare saja karena harga tanah melonjak. Makanya, sebagai investor, "Saya angkat tangan jika diminta dana untuk membebaskan tanah dengan harga Rp 200 ribu per meternya," kata sumber tersebut. "Yah, paling banter kami berani naikkan harganya menjadi Rp 7 ribu." Yang juga disoalkan, Pemda Kodya Surabaya rupanya mempercayakan pembangunan SSC kepada Jacob dari kelompok Sac Nusantara. Kenapa? "Ya, dasarnya saling percaya saja," katanya. Penyerahannya tak lewat tender karena Kodya Surabaya mengaku tak punya biaya untuk membangun SSC senilai Rp 150 milyar itu. Maka Pemda berniat pula menjual tanah negara. Yakni tanah ganjaran seluas 900 hektare dan tanah Hak Penguasaan Lahan (HPL) -- biasa disebut tanah hijau -- seluas 1.100 hektare. Tanah hijau adalah tanah negara yang boleh ditempati penduduk, seperti yang terlihat di sepanjang jalan antara Kertajaya dan Pucang Anom. Sedangkan tanah ganjaran adalah tanah bengkok yang dikuasai penduduk -- dengan bukti pemilikan Petok D. Repotnya, konon 600 hektare tanah ganjaran kini dikuasai sebuah real estate. Rumitnya, pembebasan tanah untuk pembiayaan pembangunan SSC itu tampaknya tak lepas dari permainan calo, dan kekeliruan panita khusus yang dikelola Pemda Kodya Surabaya. Lebih dari itu, kata Soelarso, ada sejumlah calo datang memberikan uang "pengikat" kepada penduduk. Maksudnya, bila sewaktu-waktu penduduk menjual tanahnya untuk proyek, ya, mesti sepengetahuan calo itu. Di samping, ia juga direpotkan beberapa praktek bantuan hukum yang seolah-olah membela rakyat. "Mereka sebetulnya ikut cari keuntungan dari situ," katanya. Misalnya kasus pembebasan tanah Tubanan. Karena proses pembebasannya tertunda-tunda, harga tanah pun kian menanjak (Lihat: Antara Pematang dan Coffee Morning). Namun semua ini agaknya merupakan ekses ambisi Surabaya menjadi basis Indonesia Timur. SSC, stadion tertutup yang komplet berkapasitas 150 ribu orang itu, cuma satu dari unsur-unsur pemoles wajah Surabaya Metropolitan yang diidamkan. Untuk itu Soelarso mencoba mendongkrak pendapatan asli daerah (PAD) Surabaya yang cuma Rp 48 milyar itu, atau sepersepuluh yang dikutip Jakarta. "Kami harus menggali potensi dan income daerah. Di antaranya dari tanah-tanah Pemda Kodya itu," kata Soelarso. Namun diakuinya, untuk menggalinya, Pemda tak punya dana untuk membebaskan tanahnya. Harganya keburu melambung. Inilah dilema tanah yang dihadapinya. Agus Bari (Jakarta), Zed Abidien, Jalil Hakim, Keliek M. Nugroho (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini