Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Sebuah alternatif untuk mencari titik temu

Sebuah tawaran cara beragama yang lebih melihat ke dalam diri. ternyata gagasan nurcholish ini mendapat sambutan dari ulama-ulama agama lain. tapi ada yang menyerang, gagasan ini berupaya menafikan agama.

19 Desember 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KECENDERUNGAN sebagian pemeluk agama belakangan ini untuk "tidak cocok" dengan umat beragama yang lain, oleh beberapa tokoh agama, dinilai merupakan semacam "muntahan" yang selama ini tak tersalur. Nurcholish Madjid, misalnya, menilai gejala tersebut tiada lain merupakan salah satu dampak dari suatu perubahan sosial yang terjadi. Pengajar Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, dalam sebuah ceramah budaya di Taman Ismail Marzuki beberapa waktu lalu, menyatakan bahwa dalam suasana perubahan sosial yang menimbulkan krisis itu, orang misalnya mengalami apa yang disebut dislokasi, yaitu tidak lagi tahu posisinya dalam tatanan masyarakat yang tengah berubah. Dalam situasi seperti itu, orang bisa mengalami disorientasi, kehilangan orientasi. Hal itu karena runtuhnya struktur yang selama ini dianggap valid. "Perlu diingat bahwa perubahan sosial seperti ini tidak hanya terjadi di negeri berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di negeri yang maju seperti di Amerika," ujar Ketua Pengajian Paramadina itu yang biasa dipanggil Cak Nur ini. Dalam suasana seperti itu, menurut Cak Nur, orang cenderung mencari pegangan yang mudah dicerna, "makin sederhana makin baik, makin mudah dipegang." Apalagi kalau pegangan hidup itu "menjanjikan keselamatan yang tegas," lanjut Nurcholish. Inilah tampaknya awal dari lahirnya kelompok-kelompok radikal. Dan hal seperti ini, menurut Nurcholish pula, tak hanya terjadi dalam Islam. Maka, Cak Nur menawarkan cara beragama "yang baru". Yakni, seperti sudah disinggung dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki itu, "Cara beragama yang hanif" seperti Ibrahim. Dengan cara itu diharapkan "lebih mudah mencari kalimatun sawa titik temu dengan orang-orang penganut kitab suci terdahulu". Dan itulah tawaran yang disampaikan oleh Islam, kali ini melalui Nurcholish Madjid: beragama secara Ibrahim, hanifan musliman, yang dalam istilah hadis Rasulullah al-hanifiyyah as-samhah, yaitu "semangat pencarian kebenaran yang teguh tapi dengan dada yang lapang". Dalam sejarah perkembangan Islam, toleransi itu telah dipraktekkan. Banyak contoh bisa disebut. Salah satu yang sangat menonjol ialah Piagam Madinah yang disusun oleh Rasulullah sesaat setelah ia berhijrah dari Madinah ke Mekah, dan para pemimpin agama lain. Piagam Madinah itu semacam deklarasi damai antarumat beragama. Pada tahun 15 Hijriah, hal yang sama juga dilakukan oleh Khalifah Umar terhadap penduduk beragama Nasrani di Yerusalem, ketika kawasan itu dibebaskan. Dalam Perjanjian Umar itu antara lain disebutkan "jaminan keamanan untuk jiwa dan harta mereka, dan untuk gereja-gereja dan salib-salib mereka, serta yang dalam keadaan sakit ataupun sehat, dan untuk agama mereka secara keseluruhan". Konsep Islam mengenai kerukunan umat beragama itu disepakati belaka oleh beberapa tokoh Islam. Quraish Shihab, misalnya, melihat bahwa selama ini sudah ada kesamaan pandangan di antara para ulama dari berbagai agama. "Kalaupun ada hal-hal yang tidak diinginkan, yang mungkin menimbulkan kesalahpahaman, ditimbulkan oleh sebagian kecil masyarakat kita yang kurang mengerti. Bisa jadi juga disebabkan oleh ulah pihak ketiga," kata Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta ini. Menurut Mgr. M.D. Situmorang, Sekjen Konperensi Waligereja Indonesia, konsep yang ditawarkan Nurcholish dalam agama Katolik kurang lebih ada juga. Sesungguhnya "apa yang datang dari Allah itu baik," kata Situmorang yang juga uskup Padang ini. Maka, cara beragama yang sebaik-baiknya menurut Katolik adalah "penyerahan diri yang total". Itulah cara mencapai keimanan. Bila belum begitu, "ya namanya belum beriman," kata Mgr. Situmorang. Perlunya "penyerahan diri" tersebut, karena nilai-nilai beragama, kata Uskup Padang ini, "tak seluruhnya tercakup dalam dogma." Justru mereka yang mengutamakan dogma, "akan jadi kaku." Bahayanya, orang yang beragama berpegang hanya pada dogma, tak lagi "menghayati agama"-nya. Orang yang demikian ini, menurut Sekjen Konperensi Wali gereja Indonesia itu, akan memahami hierarki dan lembaga gereja bukan dari sudut spiritualitasnya. "Ini pandangan yang menghambat," mudah menjadikan hierarki dan lembaga gereja menjadi "dewa baru". Th. Sumartana, seorang teolog Protestan, pun mengatakan bahwa di kalangan teolog Protestan pemikiran semacam Nurcholish ada juga. "Orang beriman pada Allah sendiri itu adalah sesuatu yang lebih esensial," katanya. "Jadi, bukan afisiliasi agamanya itu sendiri." Atau dalam kalimat lain, kata Th. Sumartana, cara beragama seperti itu "mementingkan kualitas, dan bukannya kuantitas." Pendapat itu disokong oleh Pendeta Sularso Sopater, ketua umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia. "Soal keagamaan titik beratnya adalah kebenaran yang diyakini pribadi perorangan," katanya. "Pada hakikatnya keyakinan itu terbatas pada subjek." Sularso pun menegaskan bahwa "suatu keyakinan tak bisa direkayasa". Ada suara keberatan, datang dari Ridwan Saidi, bekas anggota DPR. Kalau masalahnya adalah soal kerukunan hidup beragama, katanya, jawabnya mestinya sesuai dengan kadar persoalannya. Menurut Ridwan, masalah kerukunan beragama di Indonesia lebih berkadar sosial-politik. "Saya mengerti ada seorang teman yang mencari jawab persoalan ini dari segi teologi," katanya. "Kalau mencari jawab dengan teologi, larinya akan ke pandangan-pandangan filosofi." Agaknya, yang dimakusd "teman" oleh Ridwan adalah Nurcholish. Tapi apa salahnya pandangan filosofis? Menurut Ridwan, pandangan teologi yang ditawarkan oleh Nurcholis mendekati pandangan teosofi. Dalam pandangan teosofi, "agama adalah kebatinan," kata Ridwan. Lebih jelas daripada Ridwan adalah pandangan majalah Media Dakwah, edisi Desember 1992. Dalam laporan utamanya tentang Nurcholish, majalah itu menyamakan pandangan Nurcholish dengan teosofi dari Annie Bessant. Kelompok penganut teosofinya Bessant itu oleh majalah tersebut disebut sebagai jaringan "kaum Yahudi." Yang penting, gerakan itu "selalu menafikan agama". Benarkah tawaran Nurcholish Madjid sebagaimana yang ditafsirkan oleh Ridwan dan Media Dakwah, yang akhirnya bersasaran menafikan agama? Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, dan kemudian diulanginya dalam wawancaranya dengan majalah Matra, Desember 1992, tegas Nurcholish menolak jargon spirituality yes, religion no. Baginya, semboyan itu tak punya pijakan kuat. Nurcholish lebih setuju pada almarhum Sudjatmoko, yang mengatakan bahwa abad mendatang adalah abad spiritualitas lewat agama-agama. Kepada TEMPO, pun Cak Nur pun mengatakan bahwa salat, misalnya, tetap penting. Dalam hal ini, mungkin penjelasan Quraish Shihab lebih mudah diterima. Beragama dengan cara lapang, penuh penyerahan diri pada Tuhan, "itu sangat betul tapi ada tambahannya," kata Quraish. Lalu ia mencoba melihatnya dari sisi yang lain. "Seandainya orang tak salat, tak puasa, tapi tulus menyerahkan diri pada Tuhan, apakah orang itu Islam?" tanyanya. Quraish lalu menjawab pertanyaannya sendiri itu: "Prangko itu substansinya untuk biaya pengiriman surat. Kalau ada orang tak mau pakai prangko, tapi dia taruh saja surat dalam amplop, lalu dimasukkan ke bus surat, apakah surat itu akan sampai?" Yang jelas, Nurcholish tidak sedang menawarkan spirituality yes, religion no. Justru ia menolak semboyan ini. Yang ditawarkannya adalah merenungkan kembali cara beragama kita masing-masing untuk menemukan kalimatun sawa, menemukan titik temu berbagai agama. Dan ini bukannya untuk menyamakan agama-agama, melainkan untuk bekal saling memahami. Bila diasumsikan pemahaman semacam ini bisa lebih kukuh menciptakan kerukuan beragama, karena yang ditawarkan Nurcholish adalah pemahaman dengan cara berangkat dari dalam diri kita sendiri. Mungkin ini tidak mudah, tapi ini adalah sebuah alternatif. Budiman S. Hartoyo, Siti Nurbaiti, Sri Indrayati, Wahyu Muryadi, BB

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus