Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CUKUP sudah "pameran" harta kekayaan Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Kita sudah jenuh disuguhi kejutan berupa koleksi rumah dan aset bekas Kepala Korps Lalu Lintas itu—termasuk deretan istrinya. Ketika drama dugaan korupsi itu memasuki babak akhir, sekarang giliran jaksa membuktikan harta Djoko merupakan hasil korupsi.
Bukti-bukti sudah tersedia di tangan. Dalam sidang pekan lalu, jaksa membeberkan harta Djoko berupa rumah mewah, apartemen, dan pompa bensin. Semua aset itu atas nama orang dekat, mertua, dan istri-istrinya. Diduga pernikahan Djoko dengan dua istri muda merupakan salah satu modus "menyelimuti" harta. Soalnya, tersangka korupsi simulator kemudi dengan kerugian negara Rp 144,9 miliar itu memakai nama lain ketika menikah lagi. Pemalsuan identitas ini bisa menambah ancaman hukuman untuk Djoko.
Komisi Pemberantasan Korupsi menghitung aset Djoko tak kurang dari Rp 100 miliar. Kendati sejumlah banda disita, tidak otomatis harta itu menjadi milik negara. Selama jaksa tak mampu membuktikan itu hasil korupsi, harta tetap menjadi milik Djoko. Artinya, jika kelak Djoko masuk bui dan sekian tahun kemudian bebas merdeka, dia pasti jauh dari miskin—apalagi jatuh kere. Dia tetap saja seorang miliuner mentereng. Kenyataan itulah yang banyak terjadi pada narapidana korupsi kakap di republik ini.
Jaksa juga mesti cermat menyusun dakwaan. Djoko dibidik dengan pasal berlapis, korupsi sekaligus kejahatan pencucian uang. Jaksa beranggapan proyek simulator kemudi telah memperkaya Djoko sebesar Rp 32 miliar. Dakwaan ini bisa "menguntungkan" Djoko. Tim pengacaranya akan berdalih bahwa uang negara yang wajib dikembalikan "hanya" Rp 32 miliar. Dalih lain yang mungkin disorongkan, harta Djoko yang tak ada hubungannya dengan kasus simulator—alias tanpa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2011—tak bisa disita.
Kita berharap hakim benar-benar menggunakan kewenangannya membongkar kasus ini. Hakim tak boleh hanya berkonsentrasi pada kasus suap proyek simulator, tapi juga pada kasus korupsi lain. Hakim mesti maksimal menggunakan saksi-saksi dan bukti-bukti di pengadilan untuk mengusut kasus dugaan korupsi Djoko lainnya.
Asas pembalikan beban pembuktian, atau yang dikenal sebagai "pembuktian terbalik", bisa dipakai dalam kasus ini. Dengan pendapatan resmi terakhir sekitar Rp 28 juta per bulan, rasanya tak masuk akal pria dengan tiga istri itu memiliki harta bejibun. Besar kemungkinan Kepala Kepolisian Resor Bekasi pada 2001 ini sudah jauh-jauh hari menumpuk harta.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2011 pernah menggunakan asas pembalikan beban pembuktian dalam perkara korupsi Bahasyim Assifie. Bekas pejabat pajak ini memiliki harta senilai Rp 64 miliar. Meski Bahasyim berdalih uang itu hasil usaha, hakim menampik bukti yang disodorkannya. Hakim menjatuhkan vonis sepuluh tahun penjara dan menyita seluruh kekayaannya. Itulah pertama kalinya "pembuktian terbalik" diterapkan dalam kasus korupsi di negeri ini.
Hakim semestinya memakai asas pembalikan beban pembuktian dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang untuk menelisik kekayaan Djoko. Seandainya Djoko tak sanggup membuktikan hartanya diperoleh secara sah, atau jika keterangannya meragukan, hakim bisa memerintahkan penyitaan. Kita berharap hakim juga lebih trengginas mengembangkan keterangan para saksi. Dari pengakuan saksi, siapa tahu diperoleh keterangan kuat untuk memanggil petinggi polisi lain ke ruang sidang. Itu bisa menjadi dasar hukum komisi antirasuah mengusut pelaku baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo