Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HUKUMAN 20 tahun untuk jaksa Urip Tri Gunawan yang diputuskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pekan lalu sangat pantas. Penyelenggara negara yang ”menjual” jabatan—juga kehormatannya—dengan menerima suap, sudah seharusnya mendapat ganjaran hukuman maksimal. Sekali lagi, pengadilan khusus antikorupsi itu harus dipuji karena konsisten menghukum koruptor seberat mungkin. Ada ironi di sini. Akhir tahun depan pengadilan khusus itu harus bubar, apabila undang-undang khusus yang mengaturnya tidak diselesaikan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah.
Urip dihukum berat karena terbukti melakukan kongkalikong dengan Artalyta Suryani, makelar yang bekerja untuk Sjamsul Nursalim, bekas pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia. Dengan imbalan Rp 6 miliar, atas order Artalyta, jaksa Urip diduga memberikan informasi tentang penyelidikan kasus Sjamsul Nursalim. Tindakan yang berakibat Sjamsul bebas dari jerat hukum itu merupakan pelanggaran berat. Apalagi dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ini Sjamsul diduga membuat tekor uang negara sekitar Rp 10 triliun.
Pengakuan berbelit-belit Urip pasti menjadi salah satu pertimbangan hakim menghukumnya lebih berat. Urip bukan saja terus menjalin hubungan dengan Artalyta—bahkan ketika keduanya berada dalam tahanan—melainkan juga menciptakan skenario ”baru” tentang barang bukti uang suap. Tingkah laku tercela seperti itu jelas menjadi pertimbangan hakim memutuskan hukuman lima tahun lebih berat daripada tuntutan jaksa.
Sayang sekali, Artalyta tidak mendapat ganjaran seberat Urip. Pasal penyuapan yang didakwakan kepadanya memang mengandung hukuman maksimal lima tahun—seperti vonis untuk Artalyta. Pasal yang membedakan hukuman antara yang disuap dan penyuap ini perlu segera diamendemen. Tindak pidana suap hanya terjadi bila dua pihak bersetuju melakukannya, karena itu hukuman untuk keduanya harus seimbang.
Walau Urip dan Artalyta sudah dihukum, kasus ini belum boleh dianggap tutup buku. Tak mungkin rasanya Urip ”bermain” sendiri. Ia boleh berkali-kali menyebut tidak ada jaksa lain yang terlibat, tapi Jaksa Agung Hendarman Supandji tak boleh menelan pengakuan ini begitu saja. Jaksa Agung wajib terus menginvestigasi kasus ini, sesuai dengan janjinya untuk memeriksa Artalyta setelah pengadilan selesai.
Artalyta merupakan ”kartu as” dalam skandal suap ini. Persidangan sudah mengungkap kehebatan ”ratu lobi” itu. Rekaman telepon pembicaraannya dengan para petinggi Kejaksaan Agung, termasuk Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus saat itu, Kemas Yahya Rahman, membuktikan betapa luas jaringan lobinya. Sulit untuk percaya bahwa penghentian kasus Sjamsul Nursalim terjadi tanpa campur tangan si jago lobi. Jika Artalyta tak mau bicara tentang siapa saja jaksa yang terlibat, pengadilan banding disarankan memperberat hukumannya. Dasar tambahan hukuman: Artalyta dianggap melakukan konspirasi untuk melindungi pelaku tindak pidana.
Untuk membongkar kelanjutan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, Jaksa Agung bisa bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan. Lembaga ini bisa diminta menyelisik rekening semua jaksa yang terlibat pemeriksaan Bantuan Likuiditas. Mereka yang dicurigai perlu diusut habis.
Ketimbang kejaksaan terus-menerus menanggung malu karena kelakuan sejumlah anggota yang lancung, inilah kesempatan baik bagi Jaksa Agung Hendarman untuk ”bersih-bersih kantor”. Soalnya: adakah ia mau dan berani melakukannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo