Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Wasangka Halo-halo

TANPA klarifikasi yang memadai, perkara bocoran percakapan antara Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno dan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir akan menjadi rumor diselimuti syak wasangka.

6 Mei 2018 | 00.00 WIB

Wasangka Halo-halo
Perbesar
Wasangka Halo-halo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TANPA klarifikasi yang memadai, perkara bocoran percakapan antara Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno dan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara Sofyan Basir akan menjadi rumor diselimuti syak wasangka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Presiden Joko Widodo hendaknya mengambil alih perkara ini: memanggil kedua pejabat dan menjernihkannya untuk masyarakat luas. Sungguh tak bijaksana jika pemerintah mendiamkan perkara ini seraya berharap publik pelan-pelan melupakannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Awalnya, kabar itu muncul di media sosial, seperti Twitter dan Instagram, serta beredar di grup-grup WhatsApp. Percakapan telepon tanpa konteks waktu dan peristiwa itu menyebut pembangunan terminal penerimaan gas alam cair (LNG) di Bojonegara, Serang, Banten. Ada soal persentase-yang lalu ditafsirkan sebagai bagi-bagi fee. Percakapan itu juga menyebut nama kakak Rini, Ari Soemarno, dan PT Bumi Sarana Migas, perusahaan keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla. Dalam sebuah video yang beredar di media sosial, percakapan itu disebut-sebut merupakan skenario menjadikan badan usaha milik negara sebagai bancakan orang-orang yang berkuasa.

Rini membantah tudingan itu. Dia membenarkan percakapan tersebut, tapi dikatakannya telah dipotong hingga menghilangkan konteks. Percakapan sebenarnya, kata Rini, adalah tentang porsi kepemilikan saham PLN dalam proyek yang dibicarakan. Dalam percakapan itu, Sofyan Basir ingin memastikan PLN mendapat jatah saham yang signifikan. Ia mengaku tidak meminta bagian saham untuk kepentingan pribadi ataupun keluarganya. Rini telah meminta polisi menelisik pelaku penyebaran pembicaraan itu.

Perkara yang dibahas adalah pembangunan terminal penampungan LNG. Proyek yang dirintis pada 2014 itu menghadapi banyak kendala, termasuk biaya yang besar, yakni sekitar US$ 600 juta. Rencananya, terminal itu dapat menampung hingga 500 juta kaki kubik atau setara dengan 4 juta ton LNG. Kalla Group sempat mencari investor dari Jepang dan menggandeng Ari Soemarno sebagai konsultan. Perusahaan milik keluarga Wakil Presiden itu bernegosiasi dengan Pertamina dan PLN agar menerima porsi saham sebesar 15 persen. Nilai saham inilah yang dikatakan Sofyan Basir dalam percakapan yang bocor itu sebagai nilai yang terlalu kecil.

Polisi hendaknya bertindak cepat. Lebih dari sekadar mencari tahu siapa yang menyebarkan percakapan telepon itu, aparat seyogianya menelusuri benarkah ada akalbusyukus dalam proyek tersebut. Pembangunan terminal penampungan LNG itu hingga kini belum terwujud. Seandainya pun kerugian negara belum ada, pejabat yang coba-coba main api dalam proyek ini hendaknya ditindak tegas.

Perihal siapa si penyadap dan penyebar percakapan, kita hanya bisa menduga-duga. Selain oleh kedua orang yang bercakap-cakap, penyadapan bisa dilakukan oleh lembaga yang punya kemampuan merekam percakapan. Di Indonesia, lembaga itu adalah Komisi Pemberantasan Korupsi, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, Badan Intelijen Strategis, Badan Narkotika Nasional, dan Kejaksaan Agung. Kemungkinan lain: oknum yang bekerja pada operator perusahaan telekomunikasi. Di luar itu, tidak tertutup kemungkinan penyadapan dilakukan oleh badan swasta atau pribadi.

Siapa pun pelakunya, penyalahgunaan kekuasaan telah terjadi. Sesuai dengan aturan, penyadapan oleh penegak hukum hanya dilakukan dalam proses penyelidikan dan penyidikan suatu kasus. Penyadapan oleh lembaga intelijen dilakukan untuk mencari bahan analisis yang kemudian dipakai dalam menentukan suatu kebijakan. Materi penyadapan oleh lembaga resmi tak selayaknya disebarkan ke publik. Penyadapan oleh pribadi atau lembaga swasta yang tak berwenang tentulah merupakan wujud pelanggaran hukum.

Jika tak ditemukan pelanggaran dalam proyek pengadaan terminal LNG, patut diduga motif penyebaran percakapan adalah mendiskreditkan Rini dan Sofyan. Rini Soemarno telah lama menjadi sorotan. Menjadi Menteri BUMN sejak awal pemerintahan Jokowi, ia duduk di kursi panas. Menguasai 115 perusahaan negara-di luar anak perusahaan-posisinya jadi rebutan.

Telah berulang kali Rini diminta diganti. Pada Desember 2015, dia dicecar Panitia Khusus DPR untuk perkara PT Pelabuhan Indonesia II. Saat itu, Panitia Khusus mempertanyakan keputusan Rini menerbitkan surat persetujuan kontrak pengelolaan terminal peti kemas Jakarta International Container Terminal antara Pelindo II dan Hutchison Port Holdings. Panitia Khusus merekomendasikan Presiden Jokowi memberhentikan Rini. Dalam perkara percakapannya dengan Sofyan Basir, DPR berencana pula membentuk panitia khusus. Telah lama jadi omongan: hubungannya dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan tak harmonis.

Kini semuanya kembali kepada Jokowi dan polisi. Presiden selayaknya mengambil langkah klarifikasi. Polisi mempercepat penelusuran hukum agar kasus ini tak menjadi bola liar.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus