Membaca perkembangan tanggapan dan pendapat yang muncul, baik di TEMPO (24 Juni 1989, Laporan Utama) maupun di media massa lainnya, saya menilai bahwa ulasan dan pembicaraan serta komentar tentang RUU PA menjurus ke masalah religious politic. Situasi ini jika dibiarkan akan berkembang dan merangsang masalah sensitif dan berakibat SARA. Saya mengimbau agar semua pihak mau berpikir realistis dan logis serta jangan emosional. Saya yakin umat Islam tidak akan mempersoalkan, apakah masalah yang berkaitan dengan hukum Islam, terutama yang bersifat sakral seperti perkawinan, warisan, wasiat, wakaf dilaksanakan peradilannya di pengadilan agama (PA) atau pengadilan umum (PU). Yang utama dilihat adalah siapa yang mengadili. Jika yang mengadili orang yang tak menghayati falsafah dan hikmah hukum tersebut, tentu, rasa keadilannya tak akan dapat diterima. Bahkan, mungkin, putusannya nanti akan mengundang bencana, tidak hanya untuk kelompok yang berperkara, tetapi juga dapat berakibat lebih luas. Untuk menarik peradilan agama lepas dari peradilan agama dan pindah ke pengadilan umum, berpikirlah secara lebih dewasa. Sudahkah saatnya hal itu dilakukan? Sementara itu, masalah perumahan dan perburuhan saja belum dapat ditarik ke pengadilan umum. Demikian pula halnya peradilan miriter. Agama merupakan masalah sensitif. Pemahaman agama pun masih merupakan sentuhan emosional. Karena itu, jika menyangkut persoalan agama salah mengungkapkan dapat menimbulkan pancingan timbulnya SARA. Mungkin perlu berpikir realistis, bahwa PA telah ada sejak aman Belanda. Kini, peradilan militer pun masih susah dijadikan satu atap dengan peradilan sipil.DR. H. Z. JUSUF, S.H. Jalan Kebon Baru IV/ 17 Tebet, Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini