Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mantan pejabat Mahkamah Agung mengaku berkomunikasi dengan hakim agung untuk mengatur vonis perkara pembunuhan.
Zarof Ricar sudah mengantongi uang suap untuk disebar kepada para hakim agung.
Bukti itu cukup bagi jaksa untuk membongkar makelar kasus di semua level pengadilan.
PENGAKUAN Zarof Ricar pernah berkomunikasi dengan seorang hakim agung yang menangani kasasi Gregorius Ronald Tannur menguatkan mafia peradilan di semua level pengadilan. Zarof, mantan pejabat eselon I Mahkamah Agung, menjadi tersangka makelar kasus yang membuat hakim Pengadilan Negeri Surabaya memvonis bebas Ronald Tannur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui Zarof, pengacara Ronald Tannur, Lisa Rachmat, menyuap tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya. Suap itu membuat hakim menyangkal bukti-bukti kuat jaksa tentang pembunuhan brutal Dini Afrianti oleh Ronald Tannur pada akhir tahun lalu. Lisa diduga menyuap ketiga hakim itu sebesar Rp 20 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komunikasi Zarof dengan hakim agung jelas bertujuan untuk mempengaruhi majelis kasasi agar mengukuhkan vonis bebas itu. Ia sudah mengantongi Rp 5 miliar dari Lisa Rachmat untuk menyuap tiga hakim agung tersebut. Uangnya belum tersebar sehingga hakim agung memvonis Ronald 5 tahun bui—jauh lebih rendah daripada tuntutan jaksa 12 tahun bui.
Vonis ringan itu rupanya berkat intervensi Zarof. Ia diduga mengontak Soesilo, salah satu hakim agung, yang menangani perkara itu. Soesilo pula yang menyatakan beda pendapat dengan vonis 5 tahun dua hakim agung lain, Sutarjo dan Ainal Mardhiah.
Sederet fakta itu seharusnya cukup bekal bagi jaksa untuk memeriksa dua hakim lain guna mengungkap makelar kasus di Mahkamah Agung. Mereka bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar mafia peradilan di lembaga hukum tertinggi itu yang sudah lama dan sering diungkap oleh media massa.
Sebab, berharap kepada Mahkamah Agung membersihkan mafia peradilan di rumah mereka sendiri selalu janji tinggal janji. Dari pengakuan Zarof terungkap bahwa para petinggi Mahkamah sebenarnya tahu komunikasinya dengan para hakim agung dalam banyak perkara. Pejabat Mahkamah selalu berdalih masih mengumpulkan bahan untuk bekal pemeriksaan.
Komisi Yudisial, sebagai lembaga pengawas martabat dan keluhuran hakim, juga baru akan membentuk tim khusus untuk menelusuri dugaan pelanggaran etik majelis hakim kasasi perkara Ronald Tannur. Sama seperti MA, tim Komisi Yudisial belum bergerak untuk memeriksa mereka yang diduga terlibat dalam makelar kasus.
Fakta bahwa ada dua saksi yang menyebut uang besel Rp 5 miliar sudah cukup untuk menyatakan ada permufakatan jahat membebaskan Ronald Tannur di tingkat pengadilan kasasi. Komunikasi Zarof dengan hakim agung menambah bukti kuat dugaan pidana suap dalam perkara ini.
Komunikasi dan suap itu jelas menodai independensi hakim yang seharusnya tak bisa diintervensi siapa pun dalam memutus sebuah perkara. Namun dalil mandiri dan bebas intervensi ini acap menjadi dalih eksklusivitas hakim untuk menghindari pemeriksaan. Akibatnya, mereka nyaman dalam perlindungan dalil itu untuk memainkan perkara sebagai cara menangguk keuntungan materi.
Para hakim juga tidak patut berlindung di balik Surat Edaran Ketua Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2002. Surat edaran yang menyatakan pejabat pengadilan tidak bisa diperiksa, toh, hanya imbauan. Karena itu, pemeriksaan terhadap majelis hakim kasasi perkara Ronald Tannur mutlak dilakukan sebagaimana diseminasi Komisi Yudisial atas vonis bebas Ronald Tannur sebelumnya.
Tim penyidik Kejaksaan Agung juga tak perlu melokalisasi dugaan suap dan permainan hukum ini hanya berhenti di Zarof Ricar. Kasus-kasus mafia peradilan selalu melibatkan pejabat tinggi Mahkamah Agung dan para hakim agung yang menangani perkara. Penangkapan dua Sekretaris Mahkamah Agung sebelumnya, Nurhadi Abdurrachman dan Hasbi Hasan, melibatkan dua hakim agung yang menangani kasasi perkara pailit koperasi di Semarang.
Para hakim kasasi perkara Ronald Tannur semestinya juga proaktif memeriksakan diri kepada jaksa. Hakim yang bersih tidak akan ikut tercoreng oleh perilaku hakim lain yang menjadi bagian dari makelar kasus.
Kini bola ada di tangan jaksa. Saatnya mereka menunjukkan diri sebagai aparatur hukum yang sebenarnya, yakni mengungkap kejahatan tanpa pandang bulu. Pengakuan Zarof Ricar, yang mengoleksi uang suap hampir Rp 1 triliun selama menjadi makelar kasus sejak 2012, menjadi bekal cukup untuk membongkar mafia peradilan di Mahkamah Agung.
Jika jaksa tidak tuntas mengusut suap dan permainan hukum ini, supremasi hukum dan kepercayaan publik kepada lembaga-lembaga hukum yang sudah lama runtuh tak akan pulih.