Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah jabatan Gubernur, Ali Sadikin jadi orang swasta. Kritik sangat dihargainya. Tidak erat dengan pemerintah pusat karena dapat mengatasi persoalan sendiri. Tetap pejuang biarpun sudah swasta. (nas)

18 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERIKUT ini adalah wawancara khusus tim wartawan TEMPO dengan Pj. Gubernur Ali Sadikin, berlangsung di ruang tamu gubernur di Balaikota, 31 Mei lalu: Tanya: Apa rencana Bang Ali setelah tidak lagi jadi Gubernur? Jawab: Rencana saya antara lain terserah pada Pemerintah. Umur saya 50 tahun. Saya perwira tinggi. Jadi, menurut peraturan, saya masih bisa duduk dalam kedinasan ABRI, meskipun menurut peraturan, saya juga bisa minta di-MPPkan. Di Angkatan Laut ada peraturan, kalau satu tahun tidak mendapatkan tugas, tunggu MPP saja. Tapi bagaimana nanti saya, saya anggap masih terlalu prematur untuk memastikannya sekarang. Kadang-kadan dalam hati saya masih kepingin juga jadi pejabat, kadang-kadang tidak, ingin mencoba menjadi orang swasta. Saya sudah lama berada dalam pemerintahan, mungkin dengan menjadi orang swasta saya dapat mengetahui apa betul keluhan masyarakat selama ini tentang ruwetnya birokrasi dan lain-lainnya. T: Apakah ada tawaran, atau keinginan, untuk jabatan lain, yang lebih tinggi? J: Saya tidak punya ambisi. Saya tak ada ilusi. Saya serahkan pada kemauan takdir dan nasib saya di tangan Tuhan. Menjadi Gubernur saja sudah semacarn tekanan bagi keluarga dan anak-anak saya. Anak saya, Benny, malah pernah bertanya, sampai saya kaget: "Kapan bapak berhenti jadi Gubernur?". Mereka tidak bangga bapaknya jadi Gubernur, tidak mau membanggakan diri. Mereka malah tidak betul-betul bebas: tidak boleh ngebut dan lain-lain seperti anak-anak lain .... T: Selama jadi Gubernur, kritik macam manakah yang bapak terima dan mana yang tidak? J: Saya menganggap tidak fair kritik yang membabi-buta, yang dilontarkan oleh orang yang tidk mengetahui persoalannya. Saya menghargai kritik yang dikemukakan oleh mereka yang tahu persoalan - dan saya sering memperbaiki pelaksanaan policy saya karena kritik yang seperti itu. T: Hubungan antara pemerintah DKI selama bapak pegang dengan pemerintahan pusat suka dinilai kurang mesra Mungkin orang bawahan perlu juga sesekali-sekali sowan, misalnya .... J: Saya beranggapan selama saya dapat mengerjakannya sendiri, selama saya bisa menguasai keadaan, saya selesaikan sendiri tugas saya. Saya tidak mau mengadukan soal-soal saya kepada atasan saya, untuk minta petunjuk, minta restu .... Itu 'kan cuma mengganggu atasan. Itu juga feodal. Soal kecil saja minta doa restu. Tetek bengek minta restu. Itu feodalisme. Mungkin juga ini pengaruh pendidikan orang tua saya. Bapak saya anak wedana. Tapi dia tidak mau jadi pamongpraja. Waktu di Mosvia (pendidikan pamongpraja untuk pribumi red.) dulu bapak saya suka berkelahi dengan anak aom-aom (bangsawan Sunda Red.). Bapak saya kemudian jadi adjunct landbourconsulen. Beliau juga tidak senang orang nyembah-nyembah tidak senang disowan-sowani. Itu saya lihat kalau ikut beliau turne. Beliau juga juga keras. Pernah suatu ketika seorang anggota perwakilan rakyat diuber-uber oleh dia mau dipukul. Sampai dia dipanggil bupati. Mungkin sifat ini menurun pada saya. T: Namun ada kritik, bahwa perbedaan dengan Pusat sebaiknya dibicarakan tidak secara terbuka . . . J. Biasanya sudah ada usaha untuk membicarakan sebelumnya. Saya tidak berkonfrontasi. Kalau saya berkonfrontasi, itu seperti anak kecil katanya. Kita 'kan sama-sama pejoang. Saya tidak ada perasaan apa-apa kalau sedang bicara terbuka kepada mereka. Dan buktinya saya tidak disalahkan, tidak pernah diganggu oleh Menteri atau oleh Presiden. Saya hanya hendak menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh atasan, tidak selamanya mutlak benar. Dengan cetusan-cetusan saya ini saya mau mendidik masyarakat. Barankali berhasil mendidik, pendidikan demokrasi, pendidikan politik. Apa sih wujudnya pendidikan politik kalau segalanya tidak boleh, Apa segalanya harus ditutup. Salah satu cara pendidikan politik sudah pemilu, tapi memangnya hanya itu saja? T: Bagaimana pendapat bapak tentang soal korupsi? J: Saya menilai ada dua cara korupsi. Ada korupsi yang betul-betul korupsi, artinya menggoerogoti uang negara. Dan yang lain dengan cara minta komisi, dengan akibat kwalitas (proyek pembangunan - Red.) menurun, ini komersialisasi jabatan. Dalam hal yang pertama, pemerintah dirugikan. Yang kedua, tidak merugikan pemerintah, tapi masyarakat dirugikan, Moril dirugikan. Martabat pemerintahan hancur. Maka saya berusaha kedua-duanya tidak terjadi. Yang pasti, korupsi yang menggergoti uang negara di pemerintah itu minim. Mudah-mudahan saya betul, sebab ada sistem pengawasan. Tentang komersialiasi jabatan, saya sulit menindak, kalu dari masyrakat sendiri tidak (ada yang) melaporkan. Dan saya tidak ragu-ragu memecat, kalau ada laporan yang benar, laporan apa saja saya terima. Surat kalengpun tidak saya buang begitu saja. Ada kalanya benar itu surat kaleng.... T: Apa harapan bapak terhadap orang yang mengantikan bapak nanti? J: Terutama saya minta supaya hati-hati, dalam mengatur rumah tangga pemerintahan DKI. Untuk pengganti saya sudah suya siapkan segala seuatunya yang mungkin dalam waktu dulu mungkin sudah dapat dia pelajari. Saya dulu membutuhkan delapan bulan. Saya masuk dengan tidak membawa orang baru banyak-banyak. 90% persen pegawal DKI berasal dari pemerintahan Pak Marno (Gubernur dr. Sumarnoù Red.) dulu, masanya kalau ada pejabat baru datang dia bawa orang-orangnya sendiri. Saya tidak berbuat demikian. Saya tidak menimbulkan aparat pemerintah DKI. Kalau itu terjadi bisa hancur. Pegawai sipil ini 'kan juga punya karir, juga punya hak. Saya anggap banyak pegawai DKI itu first class. Dan juga toh saya sudah diusahakan adanya satu sistem. Ada rank list, ada urutan kepangkatan. Jika ada pejabat yang mati otomatis yang menggantinya salah satu dari orang yang di urutan berikutnya. Saya tidak akan mengambil orang luar. Saya tidak mau memperkosa sistem yang suduh ada. Pemerintah daerah adalah pemerintahan sipil. T: Sekiranya bapak nanti jadi orang swasta, apakah bapak masih akan tetap memberikan sumbangan pikiran, misalnya dalam seminar, diskusi dan lain-lain? J: Saya tidak akan melepaskan diri sebagai pejuang. Orang jangan lupa, sebelum jadi ABRI 'kan (status) ABRI-nya, jadi kalau saya nanti jadi pengusaha, saya masih tetap tidak akan pasif terhadap keadaan lingkungan. Sebagai pejuang kita tidak ada pensiun. Seperti kata pak Djatikusumo. Pensiunnya nanti, kalau sudah masuk kubur. T: Pertanyaan terakhir, pak. Kenapa PPP sampai bisa menang di Jakarta? J: Wah itu belum boleh saya katakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus