Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAIFULLAH Ma'shum kini seperti tak berkutik. Harapan mantan Wakil Ketua Dewan Tanfidz Partai Kebangkitan Bangsa ini untuk menjadi anggota Komisi Pemilihan Umum mendadak kempis begitu palu Mahkamah Konstitusi beraksi, Rabu pekan lalu. Itulah keputusan yang membatalkan aturan bahwa orang-orang eks partai boleh menjadi anggota Komisi yang bertugas menggelar pilihan raya di negeri ini.
Pengorbanan yang telanjur dilakukan Saifullah guna mewujudkan niatnya itu tidaklah kecil. Dia, misalnya, sudah rela mundur dari Partai Kebangkitan Bangsa. Ini ia lakukan demi mematuhi ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu. Di sana disyaratkan anggota partai politik boleh ikut seleksi calon anggota KPU/Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) asal mundur dari keanggotaan partai saat mendaftar.
Partainya pun terlihat begitu antusias mendukung hasratnya itu. Surat pengunduran diri yang ia ajukan pada 20 Desember lalu langsung di-acc Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dua hari kemudian. Tapi malang tak dapat ditolak, Mahkamah Konstitusi mencabut aturan "mundur saat mendaftar" itu beberapa lama setelah ia mengirim berkas pendaftaran. Lembaga pengadil tersebut memutuskan orang partai boleh ikut seleksi setelah mundur dari partai sekurangnya lima tahun—dan bukan pada saat—ketika mendaftar.
Dash! Ini bagai pukulan telak bagi Saifullah untuk terus maju. Kini, dia tak tahu harus mengambil langkah apa. "Ya, (saya) sudah enggak bisa ngapa-ngapain lagi. Mau gimana lagi?" katanya kepada Tempo.
Keputusan Mahkamah bagai mengunci tidak saja langkah Saifullah, tapi juga koleganya dari partai-partai politik lain. Gembok itu terpasang setelah MK mengabulkan permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 yang diajukan sejumlah perorangan dan lembaga swadaya masyarakat (antara lain Indonesian Parliamentary Center, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, serta Center for Electoral Reform). Mahkamah menilai, untuk menciptakan pemilihan umum yang mandiri, para anggota KPU mesti bebas dari keanggotaan partai selama lima tahun. Dus, nasib mereka yang baru melepaskan keanggotaan dari partai begitu mendaftar jelas di ujung tanduk.
Korban memang mulai bertumbangan. Kepala Sekretariat Tim Seleksi Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu Endang Kusumadjadi mengatakan sekurangnya tiga calon anggota KPU dan Bawaslu dari partai politik telah dinyatakan gugur. "Kami mengetahui mereka anggota partai politik dari berkas pendaftaran. Kami juga mencari informasi melalui Internet," katanya kepada Afrilia Suryanis dari Tempo. Dia enggan menyebut nama-nama ketiga orang tersebut.
Tidak bisa disembunyikan, jauh sebelumnya ambisi partai-partai politik untuk menyelipkan kadernya di KPU dan Bawaslu amatlah besar. Saat rapat pembahasan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 setahun lalu, hampir semua partai di Komisi Pemerintahan DPR mendukung masuknya anggota partai ke KPU/Bawaslu, kecuali Partai Demokrat. Partai Amanat Nasional terlihat malu-malu dengan mengajukan usul agar masa lima tahun diperpendek menjadi tiga tahun.
Semangat mengirim kader ini bertentangan dengan aturan sebelumnya, yakni Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, yang akan diganti itu. Dalam aturan lama tersebut, anggota partai hanya boleh mendaftar setelah mengundurkan diri setidaknya selama lima tahun.
Anggota Dewan dari Partai Amanat Nasional, Abdul Hakam Naja, mengakui banyak kalangan partai politik menyiapkan anggota untuk ikut seleksi. "Hampir semua partai," katanya. Kader yang diminta ikut seleksi adalah mereka yang memiliki pengalaman di bidang pemerintahan dan kepemiluan tapi tidak terpilih menjadi anggota Dewan. Beberapa kader yang didorong itu adalah pemimpin partai di daerah, meski ada juga yang dari pengurus pusat.
Gayung bersambut. Para kader merespons positif. Meski jika ditanya motivasinya, mereka menepis hal itu karena permintaan partai. "Minat untuk menjadi anggota KPU didasari niat," ujar Saifullah.
Sementara itu, kader Partai Golkar, Ferry Mursyidan Baldan, yang sebelumnya juga berniat ikut seleksi, mengaku terdorong untuk memperbaiki pemilu. Anggota Komisi Pemerintahan DPR periode 2005-2009 ini merasa geram karena pemilihan umum sering kali menjadi sumber konflik. Ia menepis anggapan niatnya maju karena diminta Partai Golkar. "Justru tidak boleh kalau didorong oleh partai, karena nanti akan merasa ada titipan," katanya.
Kini, tentu saja ia mengurungkan niatnya itu setelah MK mengetuk palu. "Ya sudah, kita hormati," ujarnya. Ia sebelumnya memang menduga Mahkamah akan bersikap demikian. Karena itu, dia dan banyak anggota partai lain yang hendak mendaftar sengaja menunggu sampai keluar putusan MK.
Toh, beragam kekecewaan tak bisa disembunyikan orang-orang partai—salah satunya, pasti, Saifullah Ma'shum. Dia berpendapat menciptakan kemandirian KPU bukan dengan mensterilkannya dari orang-orang partai. "Tapi bagaimana mencari figur yang benar-benar punya integritas dan kredibilitas tinggi dengan menggali rekam jejaknya secara tuntas."
Hal serupa dikatakan beberapa petinggi partai lain, misalnya dari Partai Persatuan Pembangunan, Partai Golkar, dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Hanya Partai Demokrat yang terlihat mendukung keputusan MK itu. "Demokrat dari awal kan mendukung anggota KPU yang independen, bukan partisan," ujar Sekretaris Fraksi Partai Demokrat Saan Mustofa kepada Febriyan dari Tempo.
HAKAM Naja juga berpendapat keputusan Mahkamah berdampak positif, karena akan membuat proses lobi menjadi lebih terbuka. Artinya, setiap partai bisa mendorong calon dari mana pun untuk ikut seleksi. "Banyak pihak yang kita dorong, misalnya penggiat di bidang kepemiluan dan akademisi yang punya kompetensi serta integritas."
Nyatanya, proses lobi tidak didominasi partai terhadap para calon. Justru calon-calon anggota KPU dan Bawaslu juga melakukan pendekatan kepada partai-partai. Anggota Komisi Pemerintahan DPR dari PDI Perjuangan, Arif Wibowo, mengakui hal itu. Dan, "Saya yakin mereka melobi semua partai, tidak cuma PDI Perjuangan," katanya. Target para pelobi itu jelas. Mereka hendak mengais dukungan saat pemilihan di parlemen.
Menurut Naja, apa yang dilakukan beberapa calon saat ini baru sebatas membina hubungan.
"Saya bilang ke mereka, kalau mau pendekatan, bukan ke partai, tapi ke tim seleksi," ujarnya. Dia tidak menyebutkan siapa yang sudah melakukan pendekatan.
Sumber Tempo membisikkan, sudah ada dua calon, yakni Bambang Eka Cahya Widodo dan Nur Hidayat Sardini, yang memainkan jurus-jurus lobinya. Keduanya adalah ketua dan anggota Bawaslu periode ini.
Sardini ketika dihubungi Tempo menepis tudingan lobi itu. Menurut dia, yang dilakukannya hanya pendekatan biasa. "Yang punya suara kan mereka. Yang pasti saya tetap menjaga independensi." Bambang juga membantah. Ia mengaku tak pernah bertemu dengan politikus Senayan membicarakan pencalonannya. "Kalau ketemu dalam rangka kerja, ya pernah."
Kelak, setelah melalui seleksi administrasi, para calon akan mengikuti uji makalah personal dan kompetensi. Lalu ada tes kesehatan dan tes psikologi. Yang lolos akan masuk ke tahap wawancara dan tes psikologi tahap II. Naja mengatakan lobi biasanya mulai intensif setelah seleksi tahap akhir, karena saat itu tim seleksi mulai memilih 14 calon anggota KPU dan 10 calon anggota Bawaslu untuk diserahkan ke Presiden.
Masa pendaftaran calon anggota KPU dan Bawaslu sudah tutup pada Jumat pekan lalu. Sebagian khalayak mungkin masih ingat iklan berjudul "Mencari Calon Anggota KPU dan Bawaslu" yang tayang di layar-layar televisi sejak pertengahan Desember lalu.
Di sana tergambar tiga orang berseragam petugas pertahanan sipil berjalan beriringan menyusuri kampung padat. Seorang di tengah memukul-mukul kentungan, dua orang lain di sisinya membawa kertas karton putih bergambar sosok manusia setengah badan berwarna hitam.
Salah satu anggota tim seleksi, Imam Prasodjo, yang sempat pening karena mepetnya waktu pendaftaran, kini sudah lega karena jumlah peminat akhirnya cukup banyak. "Dari sudut jumlah (pendaftar), sudah keluar dari lubang jarumlah," kata Imam. Menurut Endang, hingga Jumat itu tercatat ada 513 pendaftar calon KPU dan 254 Bawaslu.
Memang tak jelas mereka ini tertarik mengadu nasib karena kepincut iklan tersebut ataukah karena sebab lain. Tapi, seperti harapan Imam Prasojo, seleksi kali ini kelak diharapkan mampu menghasilkan anggota KPU/Bawaslu yang mandiri dan mumpuni.
Kartika Candra, Pramono
Yang Lawas Enggan Berkemas
PENUH percaya diri I Gusti Putu Artha menyerahkan map biru ke staf Kementerian Dalam Negeri, Rabu pekan lalu. Mengenakan dasi biru bergaris putih, senada dengan kemeja lengan panjangnya, anggota Komisi Pemilihan Umum periode 2007-2012 itu menyerahkan berkas pencalonan dirinya agar terpilih lagi sebagai komisioner. "Saya masih bisa berkontribusi," katanya.
Putu tidak sendiri. Sejam sebelumnya, Saut Sirait, koleganya di KPU, juga menyerahkan berkas. Sehari kemudian, Sri Nuryanti ikut mendaftar. Sedangkan empat komisioner lain tak ikut nyalon. Tiga anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum tak mau ketinggalan. Ketua Badan Pengawas Bambang Eka Cahya serta dua anggota, Nur Hidayat Sardini dan Wahidah Suaib, juga mendaftar.
Sama seperti Putu Artha, anggota Badan Pengawas merasa mumpuni. "Sebagai pengawas, saya mengetahui persoalan pemilihan. Ini bisa saya terapkan di KPU," kata Nur Hidayat.
Sejumlah fraksi Dewan Perwakilan Rakyat berancang-ancang menjegal orang lama, terutama anggota KPU. Anggota Komisi Pemerintahan dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Arif Wibowo, misalnya, menyayangkan komisioner aktif mendaftar lagi. "Mereka sudah terbukti gagal," ujarnya.
Hubungan KPU dengan DPR selama ini memang tak harmonis. Sebagian besar fraksi menilai KPU tak becus memutakhirkan daftar pemilih. Menjelang purnatugas, Dewan periode lalu membentuk panitia angket daftar pemilih. Rekomendasinya: pemerintah harus memecat sebagian atau semua anggota KPU—terutama ketua dan anggota yang mengurus daftar pemilih. Sampai sekarang, rekomendasi tak berjalan.
Arif menuding KPU memihak pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Indikatornya, lembaga tersebut sempat membuat poster sosialisasi yang terkesan mendukung nomor urut milik pasangan itu. Terakhir, anggota KPU, Andi Nurpati, mundur dan bergabung dengan Partai Demokrat.
Anggota Komisi Pemerintahan dari Partai Kebangkitan Bangsa, Abdul Malik Haramain, berpendapat senada. Menurut Malik, hasil kerja para komisioner patut diacungi jempol terbalik. Pendapat serupa datang dari Mahkamah Konstitusi, Badan Pengawas Pemilu, dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Semua menuding Komisi Pemilihan Umum tak profesional menjalankan tugas.
Sri Nuryanti, yang mengurus daftar pemilih tetap Pemilu 2009, menyangkal tak netral. Ia menilai berbagai masalah selama pemilihan disebabkan oleh berbagai faktor di luar lembaganya. Misalnya daftar penduduk potensial pemilih yang diserahkan Departemen Dalam Negeri yang amburadul. Sri justru mengklaim kerjanya bagus. "Banyak negara memuji, kok."
Anggota panitia seleksi KPU dan Badan Pengawas Pemilu, Siti Zuhro, enggan berkomentar banyak. Ia menjanjikan panitia akan memilih yang terbaik dan tak ada perlakuan khusus bagi komisioner lama. "Kalau tesnya tak lolos, ya enggak lolos."
Pramono, Kartika Candra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo