Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

9 Januari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Vonis Pemalsu Surat MK

BEKAS juru panggil Mahkamah Konstitusi, Masyhuri Hasan, divonis satu tahun penjara dalam sidang kasus surat palsu di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa pekan lalu. Majelis hakim yang dipimpin Herdi Agusten menilai Masyhuri terbukti bersalah karena membuat surat palsu yang digunakan Komisi Pemilihan Umum saat menetapkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih pada 2009.

"Terdakwa secara teknis terbukti membuat surat palsu yang merugikan orang lain," ujar Herdi. Surat palsu Mahkamah tertanggal 14 Agustus 2009 menambah perolehan suara Dewi Yasin Limpo, calon legislator dari Partai Hati Nurani Rakyat di daerah pemilihan Sulawesi Selatan I. Belakangan, surat itu diketahui tak asli dan Dewi batal dilantik. Ketua Mahkamah Mahfud Md. melaporkan kasus itu pada pertengahan 2011.

Pengacara Masyhuri, Edwin Partogi, menyatakan banding atas putusan itu. Edwin menilai putusan hakim tak menyentuh pejabat lain yang terlibat dalam pemalsuan, termasuk mantan anggota Komisi Pemilihan Umum, Andi Nurpati. "Ini kejahatan pemilu, bukan kesalahan teknis pembuatan surat," kata Edwin. Andi Nurpati dalam beberapa kesempatan mengaku tak terlibat.

Mereka yang Terseret

Selain Masyhuri Hasan, sejumlah nama disebut-sebut terlibat dalam pusaran kasus surat putusan palsu. Panitia Kerja Mafia Pemilu DPR dan Markas Besar Kepolisian RI telah memeriksa mereka.

Arsyad Sanusi
Bekas hakim Mahkamah Konstitusi) dan Neshawaty (putri Arsyad)

Masyhuri menyebut Arsyad sebagai pengonsep surat palsu. Dia juga mengaku didesak Neshawaty supaya segera mengirim surat Mahkamah yang menguntungkan Dewi. Neshawaty mengatakan tak pernah mendesak Masyhuri.

Andi Nurpati Baharuddin
bekas anggota KPU, Ketua Partai Demokrat

Masyhuri mengaku didesak Andi agar mengirim surat soal perselisihan pemilihan di Sulawesi Selatan I. Konsep jawaban surat yang dikirim Masyhuri ternyata palsu dan menguntungkan Dewi Yasin Limpo. Arsyad Sanusi, saat itu hakim Mahkamah, disebut-sebut sebagai orang yang membuat surat palsu ini. Sedangkan Matnur, bekas anggota staf KPU, mengaku disuruh Andi menyimpan surat asli Mahkamah yang tak menguntungkan Dewi Yasin, sehingga Komisi Pemilihan menggunakan surat palsu untuk menetapkan calon terpilih. Ario, bekas sopir Andi, juga bersaksi memberatkan bosnya.

Dewi Yasin Limpo

Mantan panitera Mahkamah Konstitusi, Zainal Arifin, mengaku diminta Dewi menambah perolehan suaranya agar lolos ke Senayan. Zainal juga mengaku pernah dicoba disuap oleh Dewi melalui ajudan Arsyad. Dewi membantah terlibat kasus surat palsu dan upaya penyuapan.


Enam Rekomendasi Mesuji

TIM Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji telah mengumumkan rekomendasi perihal temuan awal dugaan pelanggaran hak asasi manusia di perkebunan sawit Mesuji. Menurut Ketua Tim Gabungan Denny Indrayana, saat ini Tim terus bergerak mencari bukti-bukti tambahan. Masa tugas Tim Gabungan akan selesai pada Senin pekan depan. Menurut Denny, Tim akan kembali ke Mesuji untuk melengkapi keterangan dan dokumen tentang konflik yang terjadi di Register 45 dan Desa Sritanjung di Kabupaten Mesuji, Lampung, serta di Desa Sodong, Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatra Selatan. Konflik terjadi antara petani dan pemilik usaha perkebunan akibat saling klaim pemilikan tanah.

Dari temuan awal itu, enam rekomendasi yang dikeluarkan Tim adalah mendorong percepatan proses hukum bagi pelaku, memberi bantuan hukum bagi tersangka dan pelapor agar hukum berjalan adil, memberi pengobatan pada korban yang dirawat, mengantisipasi penyebaran tenda baru di wilayah yang bermasalah, menindak spekulan tanah, dan mengevaluasi penggunaan tenaga keamanan swasta oleh perusahaan.

Vonis Anak Pencuri Sandal

Pengadilan Negeri Palu memvonis bersalah tiga anak, yaitu AAL, 15 tahun, FD (14), dan MSH (16), dalam kasus pencurian sandal milik polisi. "Putusannya sama dengan tuntutan jaksa penuntut umum, yaitu dikembalikan kepada orang tua," kata Kepala Pusat Penerangan Kejaksaan Agung Noor Rachmad, Rabu pekan lalu.

Sidang dengan terdakwa tiga anak sekolah menengah kejuruan di Palu ini berlangsung tertutup dan diwarnai aksi pengumpulan sandal jepit di depan ruang sidang. Tim 1.000 Sandal untuk Bebaskan AAL ini mempermasalahkan penganiayaan yang dilakukan Briptu Rusdi dan Briptu Simson J. Sipayang terhadap AAL.

Dukungan atas pembebasan AAL terus mengalir. Hingga Rabu pekan lalu, Tim 1.000 Sandal yang bermarkas di Komisi Perlindungan Anak Indonesia ini telah mengumpulkan 1.200 pasang sandal jepit bekas, melebihi target 1.000 sandal. Rencananya, sandal itu akan dikirim ke Kepala Kepolisian Republik Indonesia.

Surat BIN ke Garuda Tak Ditemukan

KOMISI Informasi Pusat menyatakan Badan Intelijen Negara tak pernah mengirim surat ke Garuda Indonesia perihal penugasan Pollycarpus sebagai pelaksana aviation security dalam penerbangan bersama aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib. Dalam sidang yang dipimpin Ahmad Alamsyah Saragih, Rabu pekan lalu, Komisi menyatakan baik Badan Intelijen maupun Garuda mengaku tak memiliki surat penugasan itu.

"Jika di kemudian hari ditemukan bukti surat ini ada, silakan pemohon mengajukan gugatan kembali," kata Ahmad. Permohonan sengketa informasi ini diajukan Suciwati, istri Munir, melalui Komite Solidaritas untuk Munir. Mereka mengajukan permohonan dibukanya informasi perihal surat Badan Intelijen ke Garuda agar Pollycarpus menjadi pengawas penerbangan.

Dalam perjalanan menuju Belanda, September 2004, Munir tewas diracun arsenik. Pollycarpus Budihari Priyanto dinyatakan terlibat dalam pembunuhan itu dan divonis 20 tahun penjara. Koordinator Komite Solidaritas untuk Munir, Choirul Anam, menyayangkan putusan Komisi Informasi yang berdasarkan bantahan Badan Intelijen. Choirul akan mengajukan permohonan banding ke pengadilan tata usaha negara. Adapun Badan Intelijen menyatakan menerima putusan itu.

Nazaruddin Borong Saham Garuda

MUHAMMAD Nazaruddin terbelit perkara baru. Dalam pemeriksaan saksi kasus suap Wisma Atlet, terkuak cerita bahwa mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini pernah memborong saham PT Garuda Indonesia Tbk.

Komisi Pemberantasan Korupsi telah memeriksa Harry Maryanto Supomo, Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, pialang penjualan saham maskapai penerbangan nasional itu pada awal Oktober 2011.

Juru bicara Komisi, Johan Budi S.P., membenarkan soal pemeriksaan ini. Nazaruddin membeli 400 juta lembar saham perdana Garuda senilai Rp 300 miliar lewat lima perusahaan miliknya. Namun rencananya menangguk untung menjadi berantakan setelah harga saham Garuda turun dari Rp 750 menjadi Rp 600. Akibatnya, Nazaruddin, seperti yang tertulis dalam berita acara pemeriksaan, mengamuk dan minta uangnya dikembalikan. Dia berdalih uang tersebut adalah saweran dari kawan-kawannya. Mandiri Sekuritas menolak permintaan itu.

Pengacara Nazaruddin, Elza Syarief, membantah. "Yang membeli (saham) itu Anas Urbaningrum melalui Yulianis (anggota staf keuangan Grup Permai)," katanya. Anggota Dewan Pembina Partai Demokrat, Ahmad Mubarok, menyatakan partainya tidak pernah meminta Nazar membeli saham perdana Garuda.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus