Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

<font face=verdana size=1>Amir Sjarifoeddin</font><br />Amir, Tokoh Tragis Tepian Sejarah

Mantan perdana menteri dan Menteri Pertahanan itu dieksekusi di desa sepi. Kusut sengkarut masa awal Republik.

15 Desember 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUJUH lembaga swadaya masyarakat akan menggelar peringatan kematian Amir Sjarifoeddin lewat diskusi sejarah, Jumat pekan ini. Artinya, enam puluh tahun setelah ”eksekusi” atas perdana menteri dan Menteri Pertahanan Republik Indonesia pada masa awal kemerdekaan itu.

Amir, selama ini, berada di sisi marginal dari pusat perhatian sejarah nasional. Pemikiran tokoh Kongres Pemuda II 1928 ini belum banyak tergali. ”Stigmatisasi dirinya karena bagian dari Partai Komunis Indonesia membuat pemikirannya terlupakan,” kata ketua panitia, Wilson.

l l l

MENJELANG tengah malam, 19 Desember 1948, Amir dan sepuluh tokoh Partai Komunis Indonesia menunggu liang lahad mereka digali. Tentara mengerahkan dua puluh penduduk untuk menggali lubang sedalam 170 sentimeter di Desa Ngalihan, Karanganyar, Jawa Tengah.

Sebelas orang ini divonis mati tanpa pengadilan. Seorang letnan hanya mengatakan ada surat perintah eksekusi dari Gubernur Militer Jawa Tengah Kolonel Gatot Soebroto.

Amir tewas diterjang sebutir peluru yang ditembakkan ke tengkorak kepala bagian belakang. Kesebelas orang itu: Amir, Maroeto Daroesman, Soeripno, Harjono, Oei Gee Hwat, Djoko Soejono, Katamhadi, Ronomarsono, Soekarno, D. Mangku, dan Sardjono, dikuburkan di satu lubang.

Kematian Amir dan sepuluh kawannya merupakan bagian dari kisah tragis Peristiwa Madiun, September 1948. Peristiwa yang konon menewaskan ratusan manusia dari kelompok komunis dan nonkomunis itu kemudian dikenal sebagai pemberontakan PKI.

Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, tak menganggap peristiwa Madiun sebagai pemberontakan, karena ruang lingkup yang sempit. Konspirasi penumpasan komunis oleh pemerintah, saat itu, kata Asvi, lebih masuk akal.

Ketika itu pemerintah dalam situasi genting menghadapi aksi agresi militer Belanda. ”Pemerintah butuh dukungan Amerika Serikat, sehingga berusaha menunjukkan konsistensi menumpas komunis,” kata Asvi.

l l l

SEMASA melawan penjajahan Jepang, Amir membangun gerakan bawah tanah lewat bantuan 25 ribu gulden dari Charles van der Plas. Pada 1942, jaringan Amir tertangkap, dan Jepang menjatuhinya hukuman mati.

Dalam buku karya Soe Hok Gie, Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan, Bung Karno dan Bung Hatta membebaskan Amir dari hukuman mati. Mereka menyatakan popularitas Amir akan membuat suasana sosial tak kondusif bila dia dikenai hukuman mati. Amir masuk penjara Jepang pada 1943-1945.

Setelah kemerdekaan, Amir menduduki beberapa jabatan strategis: Menteri Penerangan, Menteri Pertahanan, dan perdana menteri menggantikan Soetan Sjahrir. Bersama Sjahrir, Amir mendirikan Partai Sosialis.

Belakangan Amir membentuk Front Demokrasi Rakyat untuk menggalang beberapa organisasi sayap kiri, di antaranya Partai Sosialis, Partai Buruh, dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo). Dia mengaku menjadi pengikut PKI sejak 1935, setelah Musso tiba di Tanah Air pada Agustus 1948.

Menurut Ken Conboy dalam buku Menguak Tabir Dunia Intelijen, pada masa awal jabatan Menteri Pertahanan, Amir membentuk badan intelijen yang dikenal sebagai Badan Pertahanan B. Dengan persetujuan Presiden Soekarno, semua badan intelijen berada di bawah naungan kementerian Amir.

Badan intelijen berganti nama menjadi Badan V, dan dipimpin mantan taruna Angkatan Laut bernama Abdulrahman, yang satu aliran politik dengan Amir. Namun, kurang dari setahun, badan ini dibubarkan setelah Perundingan Renville, 17 Januari 1948.

Masih sebagai Menteri Pertahanan, Amir memperkenalkan Tentara Nasional Indonesia (TNI)-Masyarakat. TNI-Masyarakat menampung para anggota laskar di bawah struktur kementerian pertahanan. ”Tentara konvensional tak diandalkan, pertahanan bersandar pada kekuatan rakyat,” kata mantan Menteri Penerangan, Setiadi Reksoprodjo, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Posisi Amir di puncak kebijakan pertahanan membuatnya mudah menempatkan kelompok pro-sayap kiri di posisi strategis. Menurut Gie, kelompok Front Demokrasi Rakyat menguasai tentara sekitar 35 persen.

Kekuasaan Amir di pemerintahan berakhir setelah penandatanganan Perjanjian Renville. Posisi Amir sebagai perdana menteri diisi Hatta. Kelompok sayap kiri tak bergabung dalam kabinet Hatta.

Hatta menyiapkan program rekonstruksi dan rasionalisasi Angkatan Perang—dikenal sebagai ”Rera”. Program ini memangkas kebijakan pertahanan yang telah disusun Amir.

Ketika itu jumlah tentara mencapai 463 ribu, dan pemerintah menganggap tak mampu membiayai. Pada Juni 1948, 60 ribu tentara dipangkas, kemudian menyusul 40 ribu lagi.

Konsep TNI-Masyarakat buatan Amir pun dibubarkan. Divisi IV Senopati Solo, Jawa Tengah, yang terdiri atas 5.000 orang, adalah kelompok yang paling keberatan dengan kebijakan itu. Hampir setengah anggotanya berasal dari laskar Pesindo.

Kebijakan Hatta dianggap sebagai bagian dari skenario menumpas kekuatan komunis. Hatta dianggap membuat kesepakatan dengan Amerika Serikat dalam pertemuan di Sarangan, Jawa Timur, Juli 1948.

Pertemuan yang dihadiri oleh utusan Amerika, Gerald Hopkins dan Merle Cochran, dengan lima perwakilan Indonesia ini menghasilkan usul penumpasan kelompok kiri. Perwakilan Indonesia disebutkan terdiri dari Hatta, Natsir, Sukiman, Sukamto, dan Muhammad Roem.

Informasi ini memang patut dipertanyakan. Itu ditemukan dalam catatan seorang penulis, Roger Vailland. Padahal, ”Vailland dikenal sebagai penulis fiksi, bukan sejarah,” kata Asvi Warman Adam.

Muncul pula kabar, Menteri Luar Negeri Belanda, Stikker, membuat daftar 80 tokoh komunis yang harus dihabisi. ”Termasuk Amir Sjarifoeddin,” kata Soemarsono, pelaku Peristiwa Madiun.

Meski skenario penumpasan komunis itu masih diragukan, kebijakan pemangkasan tentara ala Hatta membuat kekuasaan sayap kiri terpukul. Penolakan atas program ini menguat di Solo.

Di bawah pimpinan Divisi IV Senopati Solo, Kolonel Sutarto, program ini ditolak. Pergolakan semakin runcing setelah Kolonel Sutarto ditembak mati oleh pihak tak dikenal pada Juli 1948.

Pasukan Divisi Siliwangi Jawa Barat menjadi pihak yang berhadapan langsung dengan Divisi Senopati. Divisi Siliwangi hijrah ke Jawa Tengah dari Jawa Barat, sebagai akibat Perjanjian Renville.

Menurut Letnan Jenderal (Purnawirawan) Kharis Suhud, ketika itu korban berjatuhan dari kedua pihak. ”Kami diperintahkan menumpas komunis,” kata Kharis, 83 tahun, yang saat itu anggota Divisi Siliwangi, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

l l l

KERUSUHAN di Solo membuat Soemarsono menyatakan pembentukan Front Nasional Negara Madiun pada 18 September 1948. Pembentukan Front Nasional ini mengikuti ide Musso, yang diumumkan pada Agustus 1948, sesaat setelah ia tiba di Tanah Air.

Ketika itu Amir dan Musso sedang mengunjungi beberapa kota untuk mensosialisasi program partai. Mereka tak mengetahui sama sekali perkembangan di Madiun.

Soemarsono mengatakan pengumuman Front Nasional Negara Madiun semata upaya membela diri dari penyerbuan yang dilakukan pemerintah. ”Itu bukan pemberontakan,” kata Soemarsono, 87 tahun, ketika dihubungi Tempo beberapa waktu lalu.

Pengumuman Soemarsono ini membuat Soekarno marah. Sehari setelah pengumuman itu, Bung Karno berpidato di radio, meminta rakyat memilih Soekarno-Hatta atau Musso. Divisi Siliwangi, dengan kekuatan sepuluh batalion, dengan mudah menumpas sisa Divisi Senopati, yang hanya empat batalion.

Tokoh-tokoh PKI melarikan diri. Soemarsono lolos menuju Klambu, garis demarkasi Belanda. Musso ditembak mati di Ponorogo, Jawa Timur. Dan Amir, dengan sepuluh kawannya, dieksekusi di Ngalihan.

Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus